18. Restoran Romantis

72 10 0
                                    

Aku menarik tangan Lena yang bertaut di atas meja. Lena memutar-mutar jari telunjuknya dan kadang mengetuk-ngetuk meja pelan. Ia seperti sedang berpikir akan sesuatu yang rumit.

Aku memasang senyuman semanis mungkin lalu menggenggam kedua tangan Lena untuk menenangkan wanita di depanku ini dari pikiran beratnya.

"Len, apapun keputusanmu, aku akan mendukungmu. Jika pekerjaan di kantor memberatkan bagimu, keputusanmu adalah yang terbaik." Aku menanggapi ucapan Lena sebelumnya.

"Tapi dengan begitu, aku tidak akan memiliki pekerjaan lagi, Restu. Mencari pekerjaan akan sangat sulit," kata Lena menimang kembali jalan yang ia ambil.

"Memang benar, Lena. Tapi kamu tidak bisa memaksakan dirimu untuk berada dalam lingkungan yang bisa memberatkan pikiranmu. Memang sulit mencari pekerjaan baru, tapi aku yakin kalau kamu pasti bisa melihat apa-apa yang sudah kamu capai selama ini. Kamu adalah wanita berbakat dan berpendidikan juga berprestasi, aku rasa tidak akan ada pimpinan perusahaan yang bodoh hingga akan menolakmu jika melamar kerja di kantor mereka." Penjelasanku berhasil membuat Lena menyunggingkan senyum sedikit.

"Terimakasih untuk semangat darimu, Restu," kata Lena dan aku hanya mengangguk sembari melepaskan genggaman tanganku padanya ketika hidangan telah datang.

Aku dan Lena pun menikmati hidangan yang disajikan oleh restoran, mengisi perut dengan sedikit nasi dan daging bakar berbumbu kecap. Begitu juga Lena, ia menikmati hidangannya yang merupakan menu yang sama seperti pesananku.

Begitu makanan kami telah habis, kami menenggak minuman secukupnya. Selanjutnya, masih ada makanan penutup. Sepotong kue empuk dengan krim putih bercampur dengan potongan strawberry kecil sebagai hiasan. Dari tampilan sangat terlihat bahwa kue itu terasa manis dan menggiurkan.

"Kuenya cantik. Jadi sayang kalau dimakan." Lena berkomentar membuatku sedikit terkekeh.

"Masih lebih cantik Lena, kok," balasku dan ia berdecih pelan.

"Apaan sih, Restu. Gombal terus bisanya," sanggahnya.

"Memang cantik, kok. Bukan gombalan," balasku dan Lena hanya menunduk dengan wajah bersemu malu.

Aku kegemasan sendiri melihat tingkah Lena yang malu-malu setiap kali dipuji. Setidaknya ekspresi seperti ini yang selalu kuinginkan terlihat dari wajah Lena. Bukan ekspresi murung seperti tadi.

"Jangan dipandangi terus," kataku pada Lena yang masih enggan untuk menyendok kue dihadapannya.

"Iya," balasnya yang mulai mengambil sendok kecil khusus untuk kue tersebut.

Belum Lena menyendok kuenya, tiba-tiba lampu restoran padam membuat dirinya panik untuk sesaat.

"Ada apa?" Lena bertanya-tanya sendiri sembari menatap ke sekeliling.

Tak ada jawaban.

Semuanya sunyi dengan lampu penerangan yang hanya empat buah lilin di masing-masing pojok restoran.

Tetapi kegelapan itu hanya berlangsung sebentar karena setelahnya ada sebuah cahaya dari lampu yang langsung menyorot lebar ke meja tempat kami makan.

Lena bertambah kebingungan dengan pencahayaan yang tiba-tiba berubah. Tempat lain gelap sementara meja tempat ia makan adalah satu-satunya tempat yang terang.

Bak pertunjukan di panggung di mana si penampil mendapat lampu sorotan.

"Tenang saja, Len. Enggak usah bingung. Sengaja agar lebih terlihat romantis," kataku dengan tawa kecil.

"Jadi ini rencana Restu, ya?" Lena menebak dan memang iya.

"Nikmati saja makananmu sampai habis," balasku.

"Dasar Restu!" umpatnya lalu menyendok kue yang ada di mejanya.

Lena menyendok kue tersebut dan memakannya. Begitu kue telah masuk ke dalam mulutnya, Lena terkejut hingga matanya melebar sedikit.

Ekspresi Lena tampak sedikit aneh tapi aku yang mengerti itu karena hal apa hanya tersenyum tak sabar menunggu reaksi Lena berikutnya.

.
.
.
To Be Continued

Lama kutinggalkan cerita ini 😔 Dan aku tersadar kalau aku punya tanggung jawab untuk menulisnya sampai tamat.

Apalagi udah tinggal dikit lagi buat tamat..

Sweet As Chocolate [END]Where stories live. Discover now