2 - SAKSI PERTAMA

Start from the beginning
                                    

Betha mengembungkan pipinya yang memerah karena tersorot teriknya sang surya, tanda kalau dirinya sedang pura-pura ngambek.

"Pak Zeta aja nggak apa-apa. Ya 'kan, Pak?" Betha beralih, bertanya ke sopir Alva yang duduk di kursi kemudi.

Alva terkekeh melihat tingkahnya. "Ayo masuk. Nggak baik cewek cantik kepanasan," ujarnya santai.

Betha mendecak mendengar godaan yang baru saja dilontarkan Alva kemudian membuka pintu dan duduk di samping Alva.

"Kita mau kemana?" tanya Betha tanpa basa-basi setelah duduk di samping Alva di kursi belakang.

"Mengawali kisah baru," jawab Alva yang lagi-lagi membuat Betha mendecak kesal.

****

"Tha..." Alva mengelus pundak Betha perlahan. Perjalanan cukup jauh membuat Betha akhirnya tertidur setelah setengah perjalanan mereka lalui.

Betha mengerjapkan matanya berkali-kali kemudian menatap sekelilingnya. "Lo bawa gue kemana, sih? Jauh banget," protes Betha setelah kesadarannya terkumpul. Suaranya masih serak saat tangannya bergerak untuk mengucek matanya.

Alva monyodorkan sebuah botol air mineral sembari terkekeh mendengar suara bangun tidur Betha. Ia kemudian beralih pada Pak Zeta di kursi kemudi. "Pak, nanti dikabarin lagi, ya, jemput jam berapanya," ujarnya sopan disambut anggukan dari Pak Zeta.

"Turun sekarang?" tanya Betha polos dengan kesadaran yang masih setengah.

Alva mengacak puncak kepala Betha lalu tanpa banyak kata dirinya mengisyaratkan agar mereka segera turun dengan gerakan kepalanya.

Setelah Pak Zeta dan mobilnya berlalu, Betha baru melihat dengan jelas bahwa mereka sedang berada tak jauh dari kedai es krim sederhana. Betha celingak-celinguk karena baru pertama kali mengetahui tempat ini setelah sepanjang umurnya hidup di Jakarta.

Alva mengangkat satu tangannya ke udara dan menyodorkannya ke hadapan Betha, membuat gadis itu menautkan kedua alisnya menatap tangan Alva di hadapannya.

"Apaan?"

"Pengangan, mau nyeberang 'kan," titahnya santai walaupun diiringi senyum jahil.

Betha senyum tersipu lalu mengangkat tangannya dan meletakkannya di atas telapak tangan Alva. Tanpa banyak kata mereka berjalan beriringan untuk menyebrangi jalan dan sampai di kedai es krim tadi.

Hal yang pertama kali ditangkap oleh penglihatan Betha adalah warna es krim yang dominan pastel berjajar rapi beserta topping yang tak kalah menarik. Selain itu, dekorasi kedai minimalis ini juga sangat unik. Dapat Betha tebak jika pemilik kedai ini pasti pecinta warna pastel. Dinding kedai dominan warna putih dengan sedikit sentuhan kuning pastel memberikan kesan pertama yang hangat. Pada langit-langit kedai yang didesain bagai langit cerah bergantungan hiasan berbentuk benda-benda langit. Lantainya terkesan sederhana nan elegan dengan keramik besar berwarna putih bersih. Kedai ini tambah menarik dengan hanya memiliki tujuh meja dengan warna pelangi yang diubah pastel berjajar rapi serta kursi-kursi yang senada.

"Suka sama tempatnya?" tanya Alva setelah mengamati binar wajah ceria Betha.

Betha mengangguk dengan semangat, membuat beberapa poninya jatuh ke area wajah. Sesuatu yang selalu menggemaskan untuk Alva lihat. Membuat lelaki itu tidak dapat menahan untuk tidak mengacak puncak kepala Betha.

"Kalau sama yang ajak kesini?"

Binar ceria di mata Betha mendadak berganti dengan ekspresi terkejut. Tentu saja tetap menggemaskan untuk Alva. Betha pastikan pipinya sudah merah sekarang karena ia dapat merasakan perubahan suhunya.

ALVABETHWhere stories live. Discover now