19. Tentang Aska

95 23 0
                                    

HAPPY READING

•••••

Cukup lama mereka saling berpandangan. Matteo dapat melihat dengan jelas Ayana yang menangis di tempatnya. Perlahan, Matteo bangun dari duduk untuk menghampiri Ayana. Hingga laki-laki itu, sudah berdiri tepat di hadapan pacarnya.

"Kok nangis, kenapa? Hm?" tanya Matteo mengusap pipi Ayana yang basah.

"Gue kecewa sama lo," gumam Ayana menatap Matteo nanar.

"Maaf ... maaf," kata Matteo menarik Ayana untuk membawanya ke dalam pelukan. "Maaf, Ay."

Malvin yang melihat itu menghebuskan napasnya. "Di dalem aja, jangan di sini. Yang ada jadi tontonan nanti."

"Gue keluar dulu," lanjutnya menepuk bahu Matteo pelan sebelum berlalu.

Matteo melepaskan pelukannya, menarik tangan Ayana, membawa pacarnya itu masuk. "Lo kenapa sih tawuran lagi. Kan udah janji sama gue, Matt." Ayana menatap Matteo, menuntut penjelasan.

"Gue nggak tawuran, cuma berantem sama Angkasa."

"Ya sama aja."

"Beda, Ay. Kalo ini by one." Matteo sedikit bercanda, melihat Ayana yang hanya menatapnya datar tanpa ekspresi membuatnya bergidik ngeri.

"Sama. Intinya berantem."

"Iya ... iya, maaf." Matteo menunduk, kali ini dirinya tidak berani menatap Ayana.

Ayana menghembuskan napasnya lelah. Menatap Matteo dari kepala hingga kaki. Ada beberapa perban di tubuh laki-laki itu, lalu lebam di wajahnya. "Lo apa nggak kapok sih, berantem mulu berantem lagi sampe babak belur kayak gini, Matt?"

"Angkasa nyenggol gue duluan. Dan dia sama abangnya itu memang harus dikasih pelajaran. Mereka nggak pantes buat hidup." Matteo menatap Ayana serius.

Jika begini, Matteo memang sudah tidak bisa jika diberi tahu. Dan memang harus Ayana lah yang menceritakan masa lalunya, kenapa dirinya sangat membenci saat melihat Matteo melakukan hal berbahaya. Ayana menatap Matteo dengan mata sendunya, mengangguk. "Lo tau apa yang ngebuat gue marah banget saat liat lo tawuran?"

"Gue trauma. Gue cuma takut dan nggak mau sejarah terulang lagi." Ayana menarik napasnya dalam, ia sudah memantapkan hatinya untuk membuka luka di masa lalu. "Gue punya Abang, namanya Aska. Dia juga sekolah di SMA Satu. Dia kayak lo, hobi banget tawuran, balap liar nggak jelas. Gue paham, Abang gue tipikal cowok yang kalo disenggol duluan nggak terima, solidaritasnya tinggi banget kalo sama temen-temennya. Sampe suatu hari, Abang gue tawuran lagi, sama musuh bebuyutan sekolah kita. Dan itu hari terakhir gue ketemu dia ...." Ayana terisak, sudah tidak bisa lagi untuk menceritakan semuanya. Baginya, membuka luka lama terasa menyesakkan dan menyakitkan.

Matteo yang mendengarkan itu terdiam, saking terkejutnya mendengar cerita Ayana. Otaknya memutar ingatan memori yang terjadi beberapa tahun lalu. Seorang laki-laki yang sudah Matteo anggap sebagai Abangnya.

"Kalo berani nggak usah keroyokan sama adek gue." Seorang laki-laki dengan seragamnya yang sudah acak-acakan datang.

Matteo yang saat itu masih duduk di bangku kelas 2, hanya menatap laki-laki itu dengan pandangan tidak terbaca. Laki-laki yang entah siapa namanya itu terlihat sangat menantang dan penuh keberanian.

"Adek lo nih rese. Hobi banget cari gara-gara." Angkasa, laki-laki yang sudah menjadi musuh Matteo sejak Sekolah Dasar.

Matteo baru saja akan membuka suara, tapi laki-laki yang tidak diketahui namanya itu sudah terlebih dulu membuka suara. "Adek gue nggak bakal rese duluan kalo nggak disenggol dulu," katanya dengan suara mengintimidasi. "Gue juga tau, lo adeknya Arkan, kan? Lo juga sama kayak abang lo, hobi nyenggol duluan, sekalinya nggak terima mainnya keroyokan," lanjutnya terkekeh mengejek.

Laki-laki bernama Angkasa itu terlihat tidak terima dan menahan marah. "Nggak usah bawa-bawa kakak gue, lo!"

"Kanapa nggak suka? Nggak terima? Sini berantem."

Tanpa banyak bicara, Angkasa memberi kode kepada teman-temannya untuk pergi saja. Setelah kepergian Angkasa dan teman-temannya, laki-laki yang tidak diketahui namanya itu berbalik, menatap Matteo. "Gue Aska, lo siapa?" tanyanya dengan ramah.

Matteo menatap uluran tangan itu, membalasnya dengan ragu. "Gue Matteo, Bang."

Dari sanalah, kedekatan Matteo dan Aska berasal. "Bang Aska, dia abang lo?" tanya Matteo merespon.

Ayana mengangguk pelan, lalu dengan cepat menatap Matteo. "Lo kenal dia?"

"Namanya Aska Sanjaya, kan?" tanya Matteo memastikan membuat Ayana dengan cepat mengangguk.

"Dia orang yang udah gue anggep sebagai Abang sendiri. Dia orang paling ngertiin gue setelah Mama." Matteo menangis, air mata laki-laki itu menetes. Matteo sudah tidak bisa membendung kesedihannya. Dan fakta mengejutkan jika Ayana adalah adik Aska benar-benar membuatnya tidak habis pikir.

"Dunia sempit banget ya, gue kehilangan Aska, eh malah dipertemukan samalo yang notabenya adek dia," gumam Matteo terkekeh. Mengusap pipinya yang basah.

"Tapi, kok pas Bang Aska nggak ada, gue nggak liat lo?" tanya Ayana, sedetik kemudian menjentikkan jarinya karena teringat sesuatu. "Gue inget banget, pas masuk rumah sakit, Bang Aska sering nanyain cowok namanya Matteo. Dan ternyata itu lo, kenapa gue nggak kepikiran sama sekali, sih."

"Waktu Bang Aska masuk rumah sakit, gue emang sengaja nggak dateng. Gue terlalu takut, gue kecewa sama diri sendiri. Kenapa pas Bang Aska tawuran dan butuhin gue, gue nggak ada di sana. Tapi malem sebelum dia nggak ada, akhirnya gue mutusin dateng ke rumah sakit. Pas itu temen-temen Bang Aska yang dapet giliran jagain dia." Matteo mulai bercerita, "Dan Puji Tuhan. Tuhan masih kasih kesempatan gue buat ketemu Bang Aska meskipun untuk yang terkahir kali."

"Terus, pas Bang Aska nggak ada. Gue emang sengaja nggak dateng ke rumah dia. Gue langsung ke makam, nungguin dari jauh," lanjut Matteo. "Dia itu udah gue anggep sebagai Abang gue sendiri. Gue sangat-sangat menghormati dia."

"Dan Abang lo juga tau, alasan kenapa gue sebrandal ini sekarang."

"Apa?" tanya Ayana menaikkan sebelah alisnya.

"Gue butuh pelarian. Di saat Mama sama Papa sukanya berantem setiap hari," kata Matteo. "Gue masih bocah, masih butuh perhatian, masa-masa masih nyari jati diri dan butuh dukungan orangtua. Tapi apa? Gue nggak dapet apa-apa. Kasih sayang, dukungan, gue nggak dapetin itu dari mereka."

"Berulang kali Mama selalu minta cerai. Tapi Papa nggak mau, dia ngancem Mama. Dan yang bisa gue lakuin cuma ngelindungin Mama dengan cara seperti ini."

"Tapi, Matt, lo tawuran terus kayak gini emang nggak bikin Mama lo khawatir? Pasti khawatir banget lah," kata Ayana. "Terus kalo sampe lo kayak Bang Aska. Siapa yang jagain Mama lo?"

Kalimat terkahir Ayana membuat Matteo diam, tertohok mendegarnya.

"Lo bener. Tapi gue masih nggak terima apa yang udah diperbuat kakaknya Angkasa sama Bang Aska."

Ayana meraih kedua tangan Matteo, mengusapnya pelan. Lalu menatap Matteo hangat. "Kalo Bang Aska ada di sini, dia juga nggak bakal mau liat lo kayak gini. Karena, kalo sampe Angkasa atau kakaknya kenapa-napa, lo sama aja dan nggak ada bedanya sama mereka."

MATTEO ✔ [Completed]Where stories live. Discover now