16|Tabur Tuai

Mulai dari awal
                                    

Kedua kelopak mata Raline terbuka lebar seketika, baru sadar dengan makna dari kalimat tersirat itu. Raline mengambil kertas itu kembali dari Rafathan, memeriksanya sendiri.

"Radian?" Beo Rafathan bingung.

Raline tersentak sadar, menoleh pada Rafathan dan menggeleng. "Makasih kak, udah bantuin gue buat tau arti dari tulisan ini."

"Ada yang usik lo ya?"

Raline berdeham, bertanya balik. Rafathan mengedikkan dagunya menunjuk kertas itu. Raline terkekeh kecil.

"Mungkin cuma orang iseng." Raline mengedikkan bahunya seakan tidak begitu memikirkan perihal itu.

"Kalau isengnya udah kelewat batas, lo bisa kasih tau ke gue aja. Siapa tau gue bisa bantu lo. Jangan maksain diri nyelesaiin masalah yang lo rasa nggak bisa diatasin sendiri." Ketua osis itu tersenyum ramah.

"Kadang, kalau seseorang udah nggak sanggup lagi menampung semua bebannya sendirian, mereka memilih untuk menyudahi rasa sakitnya dengan hal-hal nekat yang dipikirkan sekilas. " Rafathan menoleh pada Raline. "Seperti bunuh diri."

Raline hanya menatapnya sembari mendengarkan. Rafathan terkekeh pelan saat sadar ia terlalu banyak bicara. "Sorry, gue cuma mengantisipasi insiden bunuh diri semester lalu keulang lagi."

"Jadi, kalau misalnya lo perlu sesuatu, jangan sungkan datang ke gue. Gue bakal usahain bantu." Rafathan tersenyum, menatapnya dalam.

Raline balas menatapnya, kemudian menganggukkan kepala. Raline memalingkan kepala setelah itu. Pelan-pelan menarik sudut bibirnya sembari bersemu.

[.]

Radian berdiri di tepi atap, mengukir beton di hadapannya dengan jangka. Kemudian menatap benda itu, benda yang ia ambil setelah insiden penyerangan wajah oleh Tara ke Alezian tempo lalu.

"Lo masih suka ngambilin benda tajam."

Radian menoleh, seketika merasakan tranformasi bayangan masa lalu yang sekelebat menguasai ingatannya.

Dilihatnya Radheya yang berjalan perlahan mendatanginya dengan senyum mengembang. Sebelum kemudian berdiri di sebelahnya di tepi atap, menoleh melihatnya.

Radheya mengedikkan dagunya, menunjuk jangka di tangan Radian. "Itu jangka gue."

Radian tidak merespon apapun, hanya diam seakan tengah fokus menatap pemandangan di bawah gedung.

"Bertahun-tahun udah lewat, Radian, tapi lo masih sama kayak dulu. Masih nggak bisa percaya sama siapapun."

Radian menoleh ke arahnya tanpa membuka mulutnya sama sekali. Hanya menatap gadis itu datar.

Radheya terkekeh kecil. "Pemikiran lo itu harus diubah, Radian. Salah satunya—" Radheya melirik jangkanya lagi, "hilangin obsesi lo itu sama benda tajam."

"Lo nggak ada niatan buat lukain orang kan? Atau— lo malahan berniat ngelukain diri lo sendiri?" tuding Radheya asal.

Radian hanya terkekeh sinis sekilas, memalingkan wajahnya. Berdiam sesaat sebelum kemudian bersuara, "So do you. Stop being obsessed to be popular, Aya."

Radheya melunturkan senyumnya. Menatap Radian yang juga tengah menatapnya. Sebelum kemudian tersenyum semringah.

"You finally talk to me."

"Radian!"

Lamunannya dibuyarkan seketika oleh suara yang baru saja mengejutkannya itu. Dilihatnya Raline yang tengah berjalan mendekatinya, Radian memilih tak begitu peduli dan kembali mengukir beton lagi dengan jangka.

"Lo tau sesuatu kan?" tukas Raline spontan.

Raline menunjukkan kertas yang sedari tadi ia bawa kemana-mana. "Pelakunya R. Gue baru bisa bacanya setelah digeser tiga langkah, seperti kata lo sebelumnya. Gimana bisa lo tau?"

Raline berdiam sesaat, sebelum kemudian membulatkan bola matanya. "Jangan-jangan— selama ini lo pelakunya? Lo yang neror gue?"

Radian tertawa sinis tanpa suara. "You did that again, Raline."

Kening Raline mengkerut bingung. Tidak mengerti dengan maksud dari Radian.

"Terlalu gegabah," timpal Radian lagi.

Raline memutar bola matanya, menggusah napasny frustasi. "Lo nggak bakalan pernah ngerti jadi gue, Radian. Lo nggak pernah ngerasain gimana rasanya diteror sama orang yang bahkan lo nggak tau siapa, nyawa lo seakan nggak aman, lo nggak tau!"

"Lo juga nggak tau gimana rasanya dituduh ngelakuin hal yang nggak pernah lo lakuin, Raline," balas Radian membalikkan kata-kata gadis itu.

Raline tidak bisa berkata-kata beberapa saat. Ia sendiri juga sangat bingung. Berada di posisinya saat ini bukanlah sesuatu yang  ia inginkan. Tidak ada orang yang ingin hidupnya diusik. Apalagi dengan orang yang bahkan tidak diketahui siapa itu.

"Terus, gimana bisa lo tau soal sandi ini?"

Radian mengedikkan bahu. "Dia ngelakuin cara yang sama."

Raline menaikkan alisnya. "Maksud lo? Dia siapa?"

Radian tidak meresponnya lagi. Membuat Raline menarik napasnya dalam-dalam berusaha sabar dengannya. Baru saja membuka mulut untuk bersuara lagi, Radian lebih dulu membuka suaranya.

"Apa yang lo tabur, itu yang lo tuai." Radian menoleh. "Mungkin lo harus pikirin itu dulu sebelum cari tau jawabannya."

Radian tersenyum singkat, menaruh kedua tangannya di saku celana sebelum kemudian berlalu melewatinya. Pergi meninggalkan Raline begitu saja.

[.]

Dapat sesuatu dari bab ini?

Maap telat updatenya lagi sibuk soalnya mwehe

Tadinya sih berniat habis update bab kemarin langsung update lagi besoknya... tapi "besoknya" itu malah jadi seminggu😂

Rencana mau double update deh atau enggak updatenya besok gitu,tapi liat dulu deh

Bantu tembusin komentarnya jadi 1000 dulu aja deh🤣 ntar w update lagi oks!

Spam next disini yuk!

Terimakasih sudah membaca😊

Hipokrit ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang