Chapter 18

1.5K 263 17
                                    

Atsumu POV.

Sudah hampir seminggu sejak kata-kata terakhir Osamu keluar dari mulutnya dan sukses membuatku overthinking di tiap malam.

"Lepaskan gw.."

Apa yang harus dilepaskannya? Apa aku terlalu mengekang dirinya hingga saudara kembarku harus membuka suara agar aku berhenti mengekangnya.

Tapi pertanyaannya, apa aku memang mengekangnya? Aku mencoba berpikir beribu-ribu kali, dari sisi mana aku mengekangnya.

Terhitung sudah dua bulan sempurna Osamu terbaring di rumah sakit dengan selimut hijau tua yang menutupi sebagian tubuhnya tiap kali aku datang kesana. Itu sedikit membuat ku muak.

Rambutnya bahkan berkurang lebih banyak seiring berjalannya waktu, akibat kemoterapi yang dijalani nya.

Tapi hal yang paling ku benci tiap kesana adalah wajahnya yang justru menunjukkan senyuman. Aku kerap bertengkar disana hanya karena senyuman Osamu yang menyebalkan.

Aku dianggap apa oleh dirinya sampai-sampai dia seperti itu? Aku juga bukan musuhnya.

I'm his twin

Malam ini sama seperti sebelumnya, aku tidur di kasur tingkat di bagian atas, namun aku tidak terbaring. Aku menatap keluar jendela, "Semesta sedang menguji gw? Atau menghukum gw?" Pikirku.

Rasanya sepi, aku yang tiap kali melihat kebawah terdapat Osamu yang lelap disana kini tidak ada. Hanya ada bantal, guling dan selimut yang terlipat rapi diatas bantal.

"Atsumu? Kenapa belum tidur?" Ah aku baru sadar, bunda ada di rumah untuk menemaniku dan berganti shift dengan Suna dan aku.

"Mager, lagi ngitung domba." Ujarku berbohong. Bunda hanya menatapku dengan sayu lalu menutup pintu kamar dan aku kembali pada lamunanku.

*-*-*-*-*

Osamu POV

Rasanya sakit. Bertambah hari, rasanya makin menyakitkan. Mungkin aku bisa mengatakan jika napasku seperti semakin hari semakin pendek.

Ingin sekali saja aku berteriak karena rasa sakit ini, tapi aku tidak akan melakukannya karena itu akan membuat Atsumu khawatir.

Salah satu sifat Atsumu yang membuat ku jengkel hanya satu, kekhawatiran nya yang berlebihan padaku.

"Gw gapapa!" Aku menepis tangan nya, namun Atsumu malah membelakangi ku dan berjongkok, "Naik.. cepet!" Ketusnya.

Aku masih ingat, kala itu kaki ku terluka dan Atsumu adalah yang paling panik padahal itu salahku sendiri tidak hati-hati. Dia terus memaksaku agar dirinya menggendongku.

Dan itu terjadi berkali-kali. Hingga apa yang kualami datang, aku mendengarnya ketika SMP kelas 2. Bunda mengatakan jika aku divonis mengidap Glioma Cerebri dan itu membuat ku terpukul.

Namun bunda juga mengatakan sisi yang bisa dibilang baik, aku tidak menyadari itu diawal aku divonis. Jadi bunda bisa menangani dengan cepat tanpa aku yang terus bertanya lebih jauh.

Aku hanya sekedar tau jika aku sakit.

"Tolong.. jangan bilang Atsumu.." keputusan ku sudah bulat. Aku tidak akan memberitahu Atsumu soal ini, aku akan membiarkan nya tau sendiri walaupun resikonya aku akan dibenci dirinya.

"Sorry.. Tsumu.." gumamku ditengah keheningan malam, tetesan air mata jatuh dan membasahi selimut yang kupakai.

Aku tau Atsumu menginginkan aku kembali sembuh, tapi aku tak yakin soal itu. Aku merasakan hal aneh setelah kemoterapi kedua berjalan seperti.. diluar efek.

DandelionsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang