Chapter 16

1.6K 260 39
                                    

"Osamu.." Atsumu membuka pintu kamar dengan napas terengah-engah setelah berlari karena mendengar panggilan dari rumah sakit.

Atsumu mematung sejenak, matanya membulat melihat kanan kiri ranjang penuh dengan alat-alat rumah sakit, entah itu pendeteksi detak jantung ataupun selang napas yang terpasang di hidung Osamu dan juga tambahan infus.

"..atsumu.. lu disini?" Atsumu langsung mendekati Osamu, meraih tangan penuh infus nya dan menyatukan dengan tangannya.

"Hei.. gw disini kok.." balas Atsumu sembari mengusap air matanya yang sudah melewati pipinya. Mungkin Atsumu melihat Osamu hanya terbaring didepan nya namun mata Atsumu tidak melihat demikian, ia melihat Osamu seakan kebingungan ia harus kembali pada Atsumu atau pergi.

"Gw ga kemanapun.. gw ada disamping lu.." ujar Atsumu sambil mengelus rambut surai kelabu Osamu namun mendapati beberapa rontok karena efek kemoterapi yang dijalani nya.

Mata Osamu terbuka sempurna, melihat ke arah Atsumu sambil melambaikan tangannya dan tersenyum seolah menyambut Atsumu seperti biasa walaupun napas nya sedikit lebih kecil.

"Gausa nangisin gw.. lu ga punya hak buat nangis.." ujar Osamu sambil tertawa kecil. Di kondisinya yang seperti ini Atsumu bahkan tidak berpikir jika Osamu masih bisa tersenyum bahkan merespon dirinya.

"Gimana gw ga nangis, gw takut.." Atsumu benar-benar bersikap seperti waktu kecil, menangis dan hanya mengadu pada Osamu.

"ツム あほやな.." Ujar Osamu menatap sayu pada Atsumu.

"Atsumu.." Suna membuka pintu kamar dan masuk dengan surat dokter ditangan nya, lalu memberikannya pada Atsumu.

Surat itu datang lagi, rasanya seperti keputusan kehidupan Osamu, itu membuat Atsumu harus mengumpulkan nyali membukanya.

"Thanks.." Atsumu kemudian mengambil surat itu dari tangan Suna, kemudian membuka nya perlahan kemudian membacanya.

Kondisi pasien setelah kemoterapi ketiga bisa dikatakan sebagai tanda penolakan terhadap obat yang diberikan.

Atsumu bahkan tidak mengira jika Osamu sudah melewati kemoterapi ketiga, sudah berapa lama Osamu disini? Entahlah Atsumu tidak menghitungnya. Ia hanya datang, menemani lalu sekolah dan kembali ke tempat ini lagi.

Mungkin satu bulan? Setengah bulan? Atau satu setengah bulan?

Namun disisi lain, ada kemungkinan kemoterapi cukup bekerja. Untuk mengurangi efek sampingnya, saya akan mengatur ulang jadwal kemoterapi kedepannya.

Atsumu melipat kembali surat itu lalu memasukkan ke saku baju nya.

"Mau makan dulu?" Atsumu meletakkan kantong plastik itu di paha nya, membukanya sedikit lebar kemudian mengambil satu puding favorit kembaran nya.

Osamu mengangguk, menerima nya.

Atsumu lalu membuka segel puding itu dan sendok yang melekat disana kemudian menyuapi Osamu perlahan, "Enak.." ujar Osamu sambil mengunyah puding itu.

"..tsumu, gw ngebebanin lu ya?" Atsumu menghentikan aktifitasnya, "Kenapa mikir gitu?"

"Entahlah.. kepikiran aja.." Atsumu tak menjawab apapun, ia menyodorkan sesendok puding itu dan tetap dilahap Osamu.

"Ngga.. sama sekali, sejak kapan lu ngebebanin gw? Ngga pernah satu kali pun.." ujar Atsumu kembali membuka suara.

"Suna, abis ini gantiin gw disini ya?" Suna menoleh kearah Atsumu, mengangguk paham dan Atsumu kembali menyuapi Osamu hingga puding yang dibawanya habis tak tersisa.

Rasa manis ternyata masih melekat di lidahnya, pikir Atsumu setelah menyuapi Osamu hingga puding itu habis dan melihat perbandingan dengan makanan yang ada di rumah sakit.

Atau.. sebenarnya tidak?

Entahlah, Atsumu mencoba berpositif thinking selalu. "Gw tinggal bentar ya.. abis ini gw balik.." Atsumu berdiri dengan sampah bekas puding itu ditangannya.

Saat hendak berdiri, Atsumu merasa seseorang menarik baju nya, "Kenapa?" Tanya Atsumu melihat tangan Osamu menarik ujung baju nya.

"Bawain lagi ya?" Singkat, namun cukup berarti untuk Atsumu. "Boleh.." balasnya.

"Jagain yang bener, jangan numpang AC doang lu.." Osamu melepaskan tarikan nya, membiarkan Atsumu pergi dari sana. "Iya iya, kek nyokap gw aja lu.." ujar Suna sambil menarik kursi di dekat ranjang dan duduk disana, dengan handphone nya yang selalu digenggamnya.

"Bagus," dan Atsumu kemudian pergi.

"Suna.." panggil Osamu sambil mengarahkan ke atas nakas di sisi kirinya, menunjuk ke arah kertas putih dengan satu pen, "Bantuin gw.." ujarnya.

Suna menurunkan tangan nya dan melihat ke arah yang ditunjukkan Osamu, "Untuk?"

"Menuliskan jawaban dari pertanyaan Atsumu.."

*-*-*-*-*

"Setidaknya kata 'kemungkinan' sedikit buat gw lega.." gumam Atsumu sambil melaju kencang dengan motor miliknya.

Senyuman kecil tersirat di wajahnya, surat itu seakan membuat Atsumu diberi harapan untuk Osamu bisa selamat.

"Tapi itu resisten—"

"Bukan berarti ga selamat kan? Gw juga berharap Osamu bakal selamat.. jadi percaya.. oke?"

Kata-kata itu terlintas di benak Atsumu, "Mungkin omongan Suna benar.. gw yakin Samu bakal sembuh.." batin Atsumu.

"Lu ga punya hak buat nangis.."

"Gw terima kata-kata lu.." gumam Atsumu teringat ucapan Osamu.

*-*-*-*-*

"Simpenin buat gw ya?" Suna meletakkan kembali pen itu dan melipat kertas dengan catatan berisi jawaban Osamu soal pertanyaan Atsumu.

"Kenapa ga lu aj—"

"Gw ga akan bertahan lama.." mulut Suna terbungkam, sorot matanya langsung tertuju pada senyuman Osamu yang menyebalkan, menutupi segalanya.

"Lu bakal sembuh!" Tegas Suna. Lagi-lagi senyuman itu tersirat, "Gw..ga yakin.." ucapnya membuat Suna yang awalnya berdiri langsung membanting dirinya di kursi, matanya terfokus pada kata terakhir pada surat itu.

DandelionsWhere stories live. Discover now