"Maaf ...!" Gadis ini kembali menunduk. Debaran tidak disukai tiba-tiba menyerang. Ia semakin merasa bersalah. Sementara itu, tiga orang disekitarnya masih setia melihat kepadanya.

"Assalamualaikum, Omah, Nimas!"
Suara berat mengintrupsi keempat orang di meja makan. Sementara itu, Dimas diam mematung saat mengetahui bahwa Adnan dan Widia juga ada di sana.

Nimas langsung mengangkat kepala kala mendengar suara familiar tersebut. Senyum hangat sang gadis terbit, ia tidak mau pemuda itu melihatnya dalam keadaan tidak baik-baik saja.

"Waalaikumsalam," sahut Adnan, Widia, Nimas dan Fatma bersamaan. Sang kepala keluarga yang sudah setengah mengangkat bokong dari kursi langsung kembali duduk.

"Masuk, Cu. Kita makan malam bareng!"

Tidak hanya nada bicara dibuat sebaik mungkin. Tetapi, sebisanya keempat orang itu memposisikan mimik muka seperti tidak terjadi apa-apa sebelumnya.

Dimas tersenyum kikuk. Merutuki kelakuan bodohnya, berteriak bak orang gila di rumah orang. Sebenarnya hal itu sudah biasa dia lakukan, tetapi lain pasalnya saat ada Adnan dan Widia di rumah. Dimas masih kurang akrab dengan pasangan tersebut.

Fatma langsung memanggil salah satu ART untuk mengambilkan piring untuk Dimas. Sang pemuda masih memasang ekspresi kikuk berjalan perlahan kepada ART yang dipanggil Fatma. Ia lantas menyerahkan kantong kresek hitam berisi buah-buahan yang sempat dibelinya saat perjalanan kemari.

Setelahnya, pemuda itu duduk disamping Nimas dan bersiap mengambil nasi serta lauk-pauk.

Acara makan malam kembali berlanjut.

"Dimas, kamu dapat nilai berapa waktu ulangan harian biologi kemarin?"

Dimas langsung beralih kepada Adnan yang duduk tepat menghadap empat orang lainnya." Seratus, Om. Seperti biasanya."

"Dimas, kamu ini kebiasaan deh. Ingat, panggil kami Papa dan Mama. Mau bagaimanapun kamu anak kami juga."

Kepala Dimas berputar menuju Widia. Dia sedikit menarik tuas bibir, lantas tubuhnya agak merosot ke sandaran kursi. Lalu, ekor matanya menjelajah ke sembarang arah.

"Papa bangga sama kamu. Jika begini terus, Papa yakin kamu akan lulus dengan nilai tertinggi dan tidak ada universitas yang akan menolak kamu."

Perhatian Dimas tersedot lagi kepada Adnan. Pemuda cerdik ini masih menarik tuas bibir, bedanya sekarang jauh lebih tampak bersahabat.

"Pasti."

"Nimas, kamu harus contoh Dimas. Nak, nanti bantuin Nimas belajar, yah. Dia hari ini dapat nilai rendah diulangan harian Biologi."

Nada bicara pasangan suami-istri ini kentara berbeda dengan beberapa waktu lalu. Tak jarang saat berbincang dengan Dimas, sepasang manik mereka berpendar cerah. Kalimat pujian dan penyemangat agar selalu terdepan adalah andalan keduanya. Dimas sudah sering. tidak, setiap bertemu dengan pasangan itu. Pembahasan tidak akan pernah jauh-jauh dari prestasinya di sekolah.

Tangan Dimas meraba punggung tangan Nimas, di sana ia mendapati tangan gadis itu mengepal dan terasa dingin. Perlahan, sang pemuda meraup tangan yang lebih kecil itu. Merasa ada gerakkan, Nimas sontak melirik kearah Dimas. Sementara orang yang menjadi objek malah sibuk menyuap makanan. Tetapi di bawah sana Dimas seakan menyalurkan kehangatan. Ia semakin erat mengait tangan Nimas

Setelah melihat perilaku Nimas yang selau menunduk dan terkesan acuh tak acuh. Dimas mengerti yang terjadi sebelumnya. Merasa responnya dibalas. Tangan dua remaja itu bertautan. Dimas bermaksud menguatkan gadis yang duduk disebelahnya.

Setelah dirasa gadis itu kembali tenang. Perlahan sang pemuda melepas tautan. Ada rasa kecewa yang menggerayang dibenak Nimas. Tetapi, ia juga sadar mereka sedang menghadapi hidangan. Mengikuti jejak Dimas, Nimas mulai memyuap makanan kembali.

Dimas: From Zero To Villain.[Selesai, Belum Revisi.] Where stories live. Discover now