20. Traitor's Neighbor

233 39 199
                                    

Membanting pintu kuat-kuat yang membuahkan dentuman keras menggema ke seluruh ruangan, lantas terburu-buru melempar tas dan jaket ke sembarang arah. Entah apa yang Leira ingin lakukan selanjutnya, yang jelas ia sudah berdiri di depan Jung dengan napas memburu.

Masih diam. Tidak ada satu kata yang mereka ucapkan. Leira yang dasarannya pendek, hanya mampu menengadahkan kepalanya untuk menatap lamat-lamat si Jung tanpa berkedip sekali pun.

Membiarkan netra hazel itu memerah karena saking lamanya ia tidak berkedip. "Ah ...." desahan pasrah yang keluar dari mulutnya mampu untuk membuatnya berjongkok dan menarik rambut frustrasi.

Jung masih enggan mengeluarkan sepatah kata. Lebih memilih membungkam mulut dan menyeruput hot chocolate yang dipegangnya ketimbang memancing keributan dengan Leira. Sebelum Leira bertanya, Jung tidak akan buka suara.

Jadi, bisa ralat tidak? 15 menit berlalu tapi masih tidak ada yang memulai percakapan. Leira masih berdiam diri dengan posisi berjongkok. Sedangkan Jung menunduk ke bawah untuk menunggu berdirinya Leira.

Ya, terpaksa Jung akan memulainya. "Ingin berdebat?"

Leira menggelengkan kepalanya.

"Ingin memakiku?"

Leira kembali menggelengkan kepalanya.

"Kalau ingin berdebat, memaki, dan mengataiku, silahkan. Aku akan mendengarkan unek-unekmu yang belum bisa dibicarakan secara baik-baik denganku."

Leira menghela napas. "Diam, Jung! Aku tidak ingin berdebat denganmu, tidak ada gunanya."

Jung menaruh mug di meja. Menyugar rambutnya yang basah terkena air saat ia mandi tadi. "Lebih baik duduk di sofa daripada berjongkok seperti ini. Lebih empuk soalnya."

"Huh ...." Kini giliran Jung mendesah pasrah atas sikap Leira yang masih mengabaikannya. Terpaksa ia menggendong tubuh Leira untuk direbahkan ke sofa. Tumben sekali Leira tidak meminta untuk dilepaskan atau memberontak. Mungkin saat ini Leira sedang irit bicara plus tenaga.

Jung juga terheran sendiri kenapa tiba-tiba Leira berubah menjadi pendiam. Padahal beberapa menit lalu sudah tercetak jelas di wajahnya kalau dia sedang marah. Tadi saja sampai membanting pintu. Biasanya kalau Leira sudah habis kesabaran, dia pasti sudah mengoceh dari tadi, paling parah sampai menampar Jung. Dia sama sekali tidak segan untuk melakukan itu.

Tapi kali ini berbeda, lebih memilih meredam amarahnya ketimbang masuk ke dalam lubang perdebatan. Rasanya Leira sudah kehabisan akal untuk melawan sejuta kelicikan yang Jung perbuat. Sebab, IQ nya tidak sebanding IQ milik Jung. Anggap saja wanita kurang asupan taktik.

"Masih ingin diam seperti ini? Biasanya kau langsung marah padaku. Mana tamparan hari ini? Aku rindu telapak tangan mulusmu untuk menyentuh pipiku, ya ... walaupun itu tamparan yang melayang."

Tatapan horor Leira layangkan kepada Jung. Pasalnya suaminya itu dari tadi tidak bisa diam. Sudah tau Leira tidak mood untuk bertengkar, malah Jung memancing keributan.

"Mau kutampar beneran, hah?" sungut Leira, mencoba mengontrol emosi yang berhasil dipancing Jung.

"Silahkan. Pipi yang mana saja juga boleh."

"Sini!"

"Ke mana, sayang?"

"Maju mendekat!"

Jung menggeser bokongnya untuk mendekat ke Leira. Detik itu juga Leira menampar sangat keras pipi Jung hingga 5 jari tangannya tercetak jelas di pipi mulusnya. Merah sekali. Dan Jung hanya mampu meringis kesakitan.

He's DangerousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang