Dia sontak berkata, "Aku telah menunggumu."
Hyun-sik hanya tersenyum samar.
"Apa kabarmu? Sudah lama kita tidak bertemu."Lanjutnya. "Apakah kau tersesat? Jalannya sangat mudah kan?"
Hyun-sik terus membiarkannya bertanya. Bahkan bahasa koreanya masih lancar dengan logatnya. Hyun-sik hanya memperhatikannya, rasa rindu semakin menguasainya. Jika diizinkan, ia ingin memeluknya setidaknya sekali.
"Bagaimana kabar anak-anak? Sekolah mereka bagaimana, semuanya lancar?"
Detik itu juga Hyun-sik melemah dan segera tersadar dari lamunannya, setelah mendengar kalimat 'anak-anak' keluar dari bibir wanita itu. Tiba-tiba saja semua perasaan bahagianya runtuh dan hancur seketika. Mendadak ia merasa jika wanita itu tidak pantas menanyakan tentang perkara anak-anak mereka. Setelah disadari ia hanya menanyakan semua ini untuk menghilangkan perasaan canggung dan tidak enak di dalam hatinya. Hyun-sik yakin wanita dihadapannya ini juga merasakan sesuatu hal yang aneh seperti yang dia rasakan sekarang.
"Mengapa kita bertemu disini?" Hyun-sik bertanya cepat, berusaha mengalihkan pembicaraan.
Wanita itu menunjuk ke arah sebuah batu berwarna silver yang terpajang di dinding sebelah kiri pintu, sebuah papan nama yang terus menerus ditatapnya dan sempat mengalihkan perhatian Hyun-sik, "Bacalah."
Hyun-sik membaca tulisan berwarna kuning yang terukir disana,
DANS CETTE MAISON
VINCENT VAN GOGH
A VECU
CHEZ SON FRERE THEO
DE 1886 A 1888
"Iya benar." Ujar wanita itu cepat. "Ini adalah tempat tinggal Van Gogh. Dulu kau pernah berjanji jika ingin membawaku kemari karna melihatku menyukai lukisan karya Van Gogh. Tetapi sekarang malah aku yang membawamu kemari." Sindirnya dengan muka masam.
Hyun-sik tertawa sejenak, "Haha, kau pasti sering kemari. Sekarang kita sudah berada disini. Bukankah itu yang terpenting?"
Dia kembali tersenyum, "Baiklah, baiklah Hyun-sik Hoejangnim. Aku tidak akan pernah menang jika melawanmu."
Sesaat Hyun-sik merasa jika dirinya telah dikuasai oleh firasat bahwa cintanya kepadanya mendadak berkobar dengan menyakitkan. Semua yang pernah wanita itu katakan kepada Hyun-sik mengenai cinta abadi kembali teringat dibenaknya, ribuan nasihat dan godaan yang lembut, begitu juga dengan janji-janji saklar untuk tidak pernah meninggalkannya dalam suka maupun duka, semakin meremas hatinya. Hyun-sik membencinya tetapi juga merindukannya di saat yang bersamaan. Sekarang bukanlah saat yang tepat untuk menjadi sentimental, Hyun-sik segera ingin mengungkapkan penyebab kunjungan dirinya kemari.
"Cho--"
"Sebentar." Dia memotong cepat. "Jangan memanggil ku dengan nama itu lagi. Panggil aku Renee."
Hyun-sik menghela nafas panjang, "Madame Renee, aku kehausan."
"Ikutlah denganku, aku akan mengajakmu kesuatu tempat."
Hyun-sik hanya menuruti perintahnya tanpa bertanya. Mereka hanya terus berjalan sembari melihat-lihat ke sekeliling kota. Hyun-sik merasakan sebuah keganjalan ketika harus menyebut namanya sebagai Renee, padahal bagi Hyun-sik nama Cho Ryeon yang memiliki filosofi spiritual terasa lebih cantik dan sesuai dengan sifat dan karakternya. Dia bagaikan sebuah bunga teratai yang hidup penuh keindahan dan kebersihan tanpa dipengaruhi oleh lingkungannya yang kotor. Keanggunannya tetap terjaga dengan baik bahkan menambah keindahan pula bagi lingkungan di sekitarnya. Tidak berbeda dengan manusia, manusia adalah makhluk paling sempurna yang diciptakan oleh Tuhan. Kesempurnaan itu membuat manusia memiliki hasrat dan keinginan untuk terus berkembang menjadi lebih baik demi mencapai sebuah tujuan.
YOU ARE READING
We're Learn
FanfictionTerungkapnya satu-persatu kepahitan masa lalu, pertemuan sadis yang tidak pernah diinginkan, perjuangan menggapai dan mempertahankan mimpi yang melambung tinggi, mempererat indahnya keharmonisan, hingga ketulusan pengorbanan yang terluapkan. 🌏 W•U ...
Chapter 7 : Violet
Start from the beginning
