Bagian 05

2 0 0
                                    

Setelah melewati serangkaian protokol kesehatan, Troposfer dan Thermal pun diizinkan untuk memasuki perusahaan minuman kaleng itu dan digiring kedalam ruang tunggu. Ruangan itu sederhana dengan interior bernuansa kayu tua, begitupun dengan tempat duduknya yang di design seperti kayu yang lapuk. Ada beberapa rak buku yang terbuat dari ranting pohon, kursi dan meja bergradasi cokelat.

Mata Thermal mengarah pada jejeran buku yang tertata rapih, beberapa jenis novel dan komik menarik perhatian Thermal. Tetapi jangan salah sangka, gadis itu bukanlah tipe orang suka membaca, namun ia sangat senang melihat-lihat cover dan gambar yang ada didalam sebuah buku.

"Ih, Thermal, gak boleh asal megang. Coronces tau!" Pekik Troposfer kaget, sembari menghampiri Thermal yang sudah menyentuh salah satu buku didalam rak buku tersebut. Ia menarik tangan sahabatnya itu dan menyemprotkan cairan disinfektan keseluruh telapak tangan Thermal.

Pipi gadis itu menggembung seraya meniup-niupkan poninya; jengah. "Yes, mom." Ejek Thermal dengan sengaja, karena Troposfer kembali menjadi ibu-ibu yang overprotektif terhadap anaknya.

Troposfer hanya berdecak pelan. Dan meninggalkan Thermal untuk menghampiri Ayahnya yang secara kebetulan baru saja keluar dari ruang pertemuan.

"Lho, tukang pijat Abi kok datang tanpa diundang? Tapi gak papa deng, bahu Abi emang rada meriang alias merindukan pijitan. " Ujar Tora Diatmosfer—Ayah; Abi dari Thermosfer dan Troposfer mendahului anaknya itu. Kemudian, paruh baya itu menegur Thermal dengan hangat, melalui senyuman dan gerakan tangan.

"Jaka sembung makan ubi, gak nyambung Abi." Nyinyir Troposfer dengan raut kesalnya, "Yang ada, dimana mana, ya meriang itu merindukan kasih sayang. Bukan merindukan pijitan."

"Ya, suka suka Abilah! Mulut juga mulut Abi. Memangnya masalah buat Pak RT?" Canda Tora, seraya merangkul pundak Troposfer. Kedua Ayah dan Anak itu berjalan memasuki ruang bertuliskan 'direktur' bersama-sama. Sebelum pergi, Troposfer berpesan dengan bahasa isyarat agar Thermal tidak kemana-mana.

Gadis itu secara refleks membalas dengan mengangkat telapak tangan kanannya; hendak memberi hormat, tak lupa juga memamerkan deretan giginya—pertanda bahwa ia menyetujui perintah Troposfer.

Lalu, Thermal memilih duduk pada salah satu sofa didekat jendela setelah kepergian Troposfer, ia menatap toples keripik pisang yang tak pernah lepas dari dekapannya itu dengan nanar. "Enak ya, ples, jadi Popo. Abinya Popo sayang anak-sayang anak sekali. Gak kayak Papinya Thermal, nelpon aja jarang."

Sedetik kemudian, Thermal menggeleng cepat; berusaha menolak pemikiran yang sebelumnya, sembari mengusap wajah menggunakan sebelah tangan. "Astapirullah, kata Pak Ustadz, Thermal gak boleh ngiri. Dosa. Papi Thermal sayang kok sama Thermal. Ya, cuma caranya berbeda." Ujarnya menyemangati diri.

Semudah itu merubah suasana hati Thermal. Kini, gadis itu tengah bersenandung ria sembari mengunyah potongan keripik pisang. Bola matanya berpindah; kesana kemari mengikuti sibuknya aktivitas diluar perusahaan dari jendela yang tembus pandang.

Sampai ODGJ; Orang dengan gangguan jiwa—yang sedang mengais makanan dipinggirkan tong sampah itu menyita konsentrasi Thermal. Pikiran gadis itu berkenala, merenungkan hal-hal yang patut ia syukuri. Karena banyak orang diluaran sana yang tidak seberuntung dirinya.

"Apa Thermal kasih aja ya cintanya Thermal ini?" Ucap Thermal bermonolog. Rasanya tak tega melihat ibu tua itu mencari makanan ditempat pembuangan seperti itu. "Tapi Thermal rasa, ini masih kurang deh. Si Ibu pasti gak kenyang cuman makan keripik."

Pandangannya berpindah keseberang jalan. Disana, terdapat rumah makan nasi padangan serba delapan ribu. Dengan segera Thermal membuka resleting kantong celananya, berharap ia memiliki uang yang cukup untuk membeli sebungkus nasi disana. Namun, yang didapati hanya tiga lembar uang seribu dan selembar uang dua ribu—itu pun hampir robek, karena ikut tercuci didalam mesin cuci. Gadis itu menghela napas pelan. "Yah, cuma lima ribu. Kurang tiga ribu lagi nih. Gak asyik."

"Tapi gak papa deh, ini aja. Mudah-mudahan bisa mengganjal perut si Ibu." Ucap Thermal berubah pikirkan, ia berdiri hendak meninggalkan ruang tunggu itu—melupakan janjinya pada Troposfer. Namun, tiba-tiba langkahnya terhenti. Gadis itu mengingat sesuatu yang penting.

"Kalau cuma dikasih makan gak kasih minum, nanti tersedak dong." Thermal bergidik ngeri, membayangkan bahwa ia berniat menolong seseorang tetapi malah membahayakan orang tersebut. Gadis itu menggeleng cepat, dan segera mencari cara untuk mendapatkan minuman.

Pandangannya mengedar keseluruh ruangan. Dibawah meja; dekat dengan lampu hias itu, berjejer puluhan dus minuman kaleng berbagai rasa. "Pucuk dicinta ulam pun tiba, i'm coming air kaleng." Pekik Thermal amat bahagia.

Kaki mungilnya melangkah gesit kearah tujuan, mengambil acak salah satu dari antar dua puluh empat kaleng dalam satu dus. Setelah itu meletakkan uang seribu diatas plastik penutup dus itu. "Thermal mah gak mau kayak Popo, pake jalur haram alias nyolong diam-diam." Ujarnya berbangga diri. Thermal berpikir ia sudah memilih jalan yang halal. Karena prinsip gadis itu, ia tak ingin mengambil barang yang bukan haknya.

Sesudah itu, Thermal berjalan dengan riang meninggalkan ruangan tunggu itu dan seseorang yang berada dibalik pintu penghubung yang lain--yang sedari tadi mengamati setiap tindakan dan monolog Thermal. Lelaki itu terkekeh pelan lalu menggeleng kecil. "Dasar keledai."

"Tolong ya Abi, jangan ada dusta apalagi sianida diantara kita!" Todong Troposfer, saat lelaki itu mengingat kembali maksud kedatangannya ke perusahaan itu

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Tolong ya Abi, jangan ada dusta apalagi sianida diantara kita!" Todong Troposfer, saat lelaki itu mengingat kembali maksud kedatangannya ke perusahaan itu.

"Dusta itu bukannya sodaranya panu yang bikin gatal-gatal itu ya, Po?" Ucap Tora, seraya menepuk-nepuk pundaknya; suatu bentuk isyarat agar tangan Troposfer berpindah, tidak memijat didaerah leher saja.

"Ih, Abi mah suka mengada-ngada. Kalau yang itu namanya Primata sodaranya Abi."

Pangkal hidung Tora mengerucut seketika, raut wajahnya memancarkan kejengkelan. "Bercandanya jelek."

"Lagian sih, Popo nanya ke Abi tadi udah seserius perasaanku padanya, eh, Abi malah nyahut sebercanda perasaannya padaku." Keluh Troposfer dengan ekspresi kesal yang dibuat-buat.

"Sa ae kaleng kong guan isi rengginang." Cibir Tora, sembari menaruh berkas-berkasnya kembali keatas meja. "Jadi sebenarnya, ada bisnis apa antara Abi sama Kamu, sehingga melibatkan perasaanmu dan perasaannya?"

"Jadi begini ya, Abi kesayangannya My Majesty. Tolong dijelaskan secara seksama dan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, kenapa itu Bang Thermosfer anak emasnya My Majesty, gak ada El nino gak ada La Nina tiba-tiba ngajar di sekolah?"

"IH MASA?" Tanya Tora penuh kaget, lantas memutar kursi kantornya kearah belakang. Menatap anak bungsunya itu penuh penasaran. Percakapan yang cukup mempersatukan bangsa. Tampaknya, jika sudah berhubungan dengan Thermosfer, Ayah dan anak ini cukup kompak.

"ABI GAK TAU?" Tanya Troposfer, semakin kebingungan.

"YA JELAS LAH! KEMARIN 'KAN ABI YANG NAWARIN KE DIA UNTUK NGURUS SEKOLAH, EH DIANYA GAK MAU. MAUNYA KERJA DI PERUSAHAAN." Tubuh lelaki paruh baya itu bergidik pelan, seraya mencemooh. "UDAH KAYA AIR DIDAUN BAYEM AJA TU BOCAH!"

"DAUN TALAS ABIIII!"

"NAH ITU MAKSUD ABI TADI!" Ujar Tora penuh semangat, setelah itu bergerak hendak bangkit. "HAYUK LAH KITA KEROYOK!"

Detik selanjutnya, Tora kembali duduk pada kursi kantornya dan membuka kembali beberapa berkas yang belum sempat ia baca. Ternyata, lelaki tua itu berubah pikiran. "Eh, dipending dulu deng sesi baku hantamnya. Abi lupa ada janji sama client. Hehe."


TBC.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jul 17, 2022 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Ther-MalikaWhere stories live. Discover now