2. Pemotretan untuk Katalog Why High

Start from the beginning
                                    

Hello…

Seorang laki-laki menginterupsi obrolanku dengan Mbak Lia. Kuperhatikan dia sekilas, nice. Tanpa diberi tahu, aku yakin kalau laki-laki ini adalah model cowoknya. Wajahnya sama dengan foto yang pernah ditunjukkan Imey padaku beberapa hari lalu. Atletis, wajah bulenya seksi dengan jambang, dan kulitnya agak kecokelatan. Pantas saja Imey senang tak karuan!

Hello Jay, meet your partner, Yuva. Yuva, he’s Jared, you can call him Jay.” Mbak Lia segera mengenalkanku dengan Jay.

Aku mengamati Jay sekali lagi. Well, sepertinya dia humble dan bisa diajak kerja sama, terbukti dari sifatnya yang menyapa kami terlebih dahulu. Biasanya model senior pantang untuk menyapa amatiran sepertiku, bukan levelnya!

Nice to meet you, Yuva. Saya harap kita dapat berkerja sama dengan baik.” Jared tersenyum padaku, tapi bukan itu membuatku terkejut. Bahasa Indonesia yang ia ucapkan lah penyebabnya. Untuk ukuran bule –yang  sempat diceritakan Imey kalau dia adalah blasteran Jerman-Amerika –bahasa  Indonesianya termasuk dalam kategori fasih.

Nice to meet you too, Jay. Wow, you can speak in Indonesian… fluently.” Niatku ingin membuat nada bicara terdengar normal, tapi tetap saja terdengar kagum dan sukses membuat laki-laki di depanku ini terkekeh kecil.

“Saya pernah tinggal di Indonesia selama empat tahun waktu high school.” Penjelasan singkat Jay cukup menghilangkan rasa penasaranku.

Obrolanku dengan Jay tak berlangsung lama karena aku harus di-make up.

***

Pemotretan diadakan di dalam studio yang juga milik Klik Management. Agensi tempatku bernaung memang besar, selain beberapa modelnya sudah menjadi super model, agensi ini juga memiliki studio foto yang luar biasa.

Kali ini aku diharuskan berpose mesra dengan Jay karena catalog mengusung tema valentine day. Jay terlihat sangat luwes dan benar-benar menghayati aktingnya, sedangkan aku? Beberapa, aku harus bernapas panjang untuk mengenyahkan rasa gugup yang tiba-tiba datang –efek pemotretan untuk brand fashion terkenal –

Good!

Perfect!

Nice!

Serentetan kata-kata pujian terlontar dari mulut Billy –fotografer yang memotretku dan Jay – . Ia terlihat puas dengan hasil bidikan kameranya, dan Jay sepertinya juga begitu. Laki-laki itu sesekali melihat ke arahku dan tersenyum. Ah, betapa menyenangkannya kalau pemotretan bisa selancar ini, jadi tak perlu mendengar nada omelan atau mengulang-ngulang gaya yang membuat pegal.

Aku dan Jay sudah berganti baju sebanyak lima kali, itu berarti ini adalah sesi terakhir. Oh thanks God, ini lebih cepat dari yang kuduga. Kalau aku melakukan pemotretan dengan Yoga, paling tidak aku akan selesai dua jam lagi. Tapi sedetik kemudian aku segera menggeleng-gelengkan kepala. Astaga, kenapa aku selalu membawa-bawa nama Yoga dalam setiap pemikiranku? Oh ini tidak benar! Meskipun aku menyukainya, tapi ini tidak boleh! Yoga sudah dengan April, dan aku? Pilihanku hanya mendoakan mereka supaya cepat putus atau merelakan Yoga untuk April dan mencoba untuk move on.

Okay, enough for today! Thanks, guys!” Seru Billy setelah mengambil gambar terakhirku dengan Jay. Ia mengacungkan jempolnya pada kami sebelum kembali berkutat dengan kameranya.

You’re the best, Yuva,” Jay mengulas senyum padaku.

“Aku rasa ini karena kamu, Jay.” Aku membalas pujian Jay. Benar bukan yang kukatakan? Jay memang tadi banyak membantuku saat pemotretan. Dan kalau aku sudah tak waras, pasti aku akan menambahkan kalimat ‘karena bukan Yoga yang memotret, aku bisa berpose dengan baik.’

***

Lagu fall for you dari Secondhand Serenade terdengar di sela kegiatanku membersihkan sisa make up. Dengan tangan kanan masih memegang kapas yang menempel di wajah, kualihkan pandanganku ke tas dan menggunakan tangan kiri untuk merogoh ponsel. Hal pertama yang kulakukan saat mendapati nama “mama” di layar ponsel adalah mencari tempat yang agak sepi.

“Iya, Ma?”

“Yuvaaa... Kamu kenapa nggak pernah hubungi Mama? Lupa ya kalau punya orang tua yang khawatir di sini?” Sepertinya Mama sudah menyiapkan serentetan kalimat untukku sebelum menelepon. It’s Okay, face it.

“Siapa yang lupa sih, Ma? Yuva ingat kok kalau masih punya Mama yang cantik.” Rasa bersalah terhadap Mama dan Papa menyerang. Kesibukanku memang telah menyita waktu dan perhatianku untuk mereka, bahkan aku kalau tidak salah, aku hanya menghubungi mereka saat sedang ada perlu.

“Kamu sedang apa?” tanya Mama yang sudah tak sehisteris tadi.

“Ini baru beres-beres, abis pemotretan.” Seketika aku langsung meggigit lidahku. Great, aku salah bicara!

Kamu nggak kuliah? Yuva, Mama ngirim kamu ke Jakarta itu untuk kuliah, bukan untuk kegiatan modelling kamu itu.” Mama terdengar menghela napas sebelum kembali memberiku hujanan nasihat. “Mama nggak larang kamu untuk ikut modelling, tapi jangan sampai kamu lupa tugas utama kamu. Mama juga nggak mau kamu terlalu capek, Yuva.”

Aku mengerti kekhawatiran Mama. Menurutku tidaklah berlebihan karena aku adalah anak gadis yang  tinggal jauh dari orang tua. Masalahnya adalah, aku tak bisa meyakinkan Mama kalau aku tak akan kenapa-napa dengan menjalani kegiatan modelling di sela-sela waktu kuliah.

“Iya, Ma, Yuva nggak kecapekan kok. Ini tadi Yuva hanya menggantikan model yang sedang sakit saja.”

“Ya sudah kalau begitu. Kamu jaga diri ya, Nak, ini Mama mau beberes dulu karena nanti sore ada arisan di rumah.” Pamit Mama.

“Iya, Ma. Mama sama Papa juga jaga kesehatan, ya.”

Setelah menutup telepon, aku jadi berpikir untuk mengatur jadwal menghubungi orang tua. Kalau seperti ini aku malah merasa jadi anak durhaka. Cuma menghubungi ketika butuh suntikan dana, dan itu berarti hanya setiap awal bulan.

“Lho Yuva, lo nggak kuliah?”

Sapaan April yang nyaring berhasil menyentak lamunanku. Ia memperhatikanku dengan tatapan bingung dan mulut ternganga. Duh, April berlebihan deh! Dan, sejak kapan dia ada di sini? Kenapa akhir-akhir ini dia selalu gampang ditemui sih?

“Tanyakan saja pada Mbak Lia dan modelnya.” Kembali kubersihkan wajah dari make up, tak mempedulikan ekspresi April lagi.

Wait… wait… Modelnya Mbak Lia? Maksud lo Imey?”

“Menurut lo siapa lagi?” Aku melangkah ke meja rias untuk mengambil kapas dan pembersih lagi. Kutuang beberapa tetes pembersih untuk di usapkan di wajah, namun gara-gara kaget karena teriakan April, pembersih yang kupegang tumpah dan membasahi tanganku.

“Yuvaaaa…. Ini gila! Berarti lo foto untuk katalog Why High?”

You got it.” Kini aku menyeringai kepada April karena aku tahu dia sudah lama mengincar Why High untuk menjadikannya sebagai salah satu model di sana.

“Astaga… Lo beruntung banget Yuva!”

Aku hanya mengangguk, sangat menyetujui pernyataan April.

Why High adalah brand fashion dari Indonesia yang sudah terkenal se-Asia, bahkan kini sudah mulai merambah pasar Amerika dan Eropa. Sedangkan model yang biasa mengisi catalog Why High adalah supermodel yang sudah sering melalang buana di duni permodelan, seperti Jay dan Imey. Maka dari itu tadi aku sempat ragu untuk menggantikan posisi Imey. Bayangkan saja, jam terbangku tak bisa dikatakan tinggi, aku masih terbilang baru di dunia modelling dan tiba-tiba ditawari untuk jadi modelnya. Well, tak cukup percaya diri memang.

“Sudah, sudah, jangan galau, siapa tahu Why High mengadakan kerja sama dengan agensi kita lagi. Sana lo siap-siap, bukannya habis ini lo juga ada pemotretan kan?” kutepuk pelan bahu April untuk menghiburnya.

To Be With You (Slow Update)Where stories live. Discover now