1

44 0 0
                                    

Pada hari sabtu pagi yang cerah, tiga orang remaja tanggung yang bernama Aden, Acen, dan Adul berniat untuk berjalan-jalan santai menikmati segarnya udara pagi di sebuah taman kota.

"Geng Tripel A beraksi lagi!" seru Acen bersemangat ketika mereka telah tiba di depan gerbang taman.

Aden melihat ke wajah Acen. "Seneng banget kayaknya nih, ces?"

"Maklumin napa, crut," sela Adul. "Acen kan baru aja turun gunung, abis semedi."

"Ho' oh, gak lucu!" timpal Acen. "Maksudnya kan kita gak sering-sering ngumpul ... maklum banyak bisnis."

Aden mengamati sekeliling taman. "Sepi ya?" Dia membuka tutup botol air mineralnya dan meneguk isi botol tersebut hingga sepertiganya. "Bulan kemarin kita kesini rame."

"Au ..." Adul mengikuti Aden mengamati sekeliling taman. "Acen belum mandi, kali?"

"Yah, ngaruh apa?" protes Acen.

Aden dan Adul menoleh curiga ke arah Acen.

"Berarti kamu emang belum mandi?" tanya Adul.

"Lah, lagian tadi ditelpon suruh buruan."

Aden melihat ke arah kolam ikan di tengah taman. "Nah, tuh ada kolam!"

"Apaan?" Acen mengernyitkan dahi dengan curiga. "Suruh aku mandi di situ?"

"Kagak," bantah Aden. "Keingetan mancing doang."

Adul menunjuk ke arah pinggiran kolam. "Baru lihat dah, aku itu."

Aden dan Acen memincingkan matanya ke arah yang ditunjuk Adul. Mereka berdua melihat sebuah plakat emas dengan tulisan di permukaannya.

"Baru dapet penghargaan kolam op-de-bes, kali?" Aden berasumsi.

Adul menghampiri plakat emas itu dan membaca tulisannya. "Buka pikiran anda maka anda akan membuka gerbang menuju dunia baru?"

Aden dan Acen menghampiri Adul.

"Artinya apa, coy?" tanya Adul.

"Buka pikiran itu maksudnya jujur," sahut Aden.

"Kalau dunia baru?" Acen juga mulai tertarik.

"Pengalaman baru kayaknya."

BLUBUG BLUBUGG ... tiba-tiba dari dasar kolam tersebut muncul gelembung-gelembung udara.

"Weh, ada ikannya, ges!" seru Adul.

"Mancing, gih!" celetuk Aden.

"Jangan," sergah Acen. "Itu kan properti umum."

Tetapi kemudian gelembung udara di kolam tersebut semakin bertambah besar.

"Uh, ges ..." Adul mulai cemas. "Kayaknya ada yang aneh."

"Kita laporin aja yuk ke dinas perikanan?" sahut Acen. "Eh, dinas pertamanan."

Selanjutnya tanpa diduga gelembung udara di kolam tersebut memuntahkan cahaya putih menyilaukan ke sekeliling mereka bertiga.

BYAAR!

***

Aden, Acen, dan Adul membuka matanya dan melihat mereka bertiga sudah tidak lagi berada di tempat mereka berada sebelumnya. Mereka bertiga terbangun di dalam sebuah sangkar burung raksasa yang terbuat dari jeruji besi lima meter dari atas lantai. Sangkar burung raksasa tersebut berada di sebuah ruangan dari bangunan berdinding batu dengan cat warna-warni.

Bukan! Bukan cat warna-warni yang mereka lihat, tetapi adalah dinding terbuat dari kembang gula yang berwarna-warni.

Acen pun panik. "A--ada d--di mana kita ini, ges?"

"G--gak tahu," jawab Aden. Dia melihat berkeliling juga dengan kebingungan.

Adul mengguncang-guncang pintu jeruji besi sangkar burung raksasa itu mencoba untuk membukanya. Tetapi usahanya sia-sia, karena pintu jeruji besi itu terkunci dan terlalu kokoh untuk di dobrak. "G--gimana ini, ces? S--serem!"

"Tenanglah!" tiba-tiba seseorang berseru dari bawah.

Aden, Acen, dan Adul melihat seorang wanita tua berambut putih panjang berantakan yang mengenakan topi hitam lancip dan berjubah hitam menatap ke arah mereka bertiga.

"Begitu kalian masuk ke dalam panci itu ..." Nenek itu menunjuk ke arah sebuah panci hitam besar dengan air yang mendidih di dalamnya. "Maka segalanya akan baik-baik saja."

Seketika mereka bertiga terperangah ketakutan mendengar kata-kata nenek tersebut. Mereka pun terduduk lemas tak berdaya.

"G--gimana nih, ges?" Adul gemetaran seraya menatap wajah Aden dan Acen satu persatu.

Aden dan Acen hanya menggelengkan kepala dengan keringat dingin bercucuran.

"Aku mau membeli gula dan tepung untuk adonan dulu," lanjut nenek itu. "Maklum di tengah hutan, tadi aku nelpon toko sembako gak ada jaringan."

Aden, Acen, dan Adul hanya tertegun ketakutan.

Nenek itu pun membuka pintu yang terbuat dari coklat. "Rumahku mulai lumer nih ..." Dia mengamati pintu itu yang mulai mencair. "Perlu adonan baru, untunglah ada kalian bertiga."

Mereka bertiga hanya mengamati nenek itu keluar dari bangunan kembang gula dan coklat itu tanpa mampu berkata apa-apa.

Setelah kepergian nenek tersebut sesaat mereka bertiga membisu ketakutan.

Kemudian Aden pun berusaha membuka mulut. "K--kita m--mau dijadiin santapannya, ya?"

"K--kayaknya dia ngomongin tentang kita buat adonan rumahnya," sahut Adul.

"K--kaya di dongeng nenek sihir penjual gulali itu deh, ya?" kata Aden lagi.

"Ho' oh," Acen setuju. "Jaman dulu nenek itu jualan gulali terus gak laku, terus dia bikin adonan dari rebusan daging manusia, gitu."

"Tapi kalau ini buat adonan rumahnya," sambung Aden.

"Berarti nenek itu penjual rumah gulali," Adul menyimpulkan. "Rumah gulali lebih laku di sini, kali?"

Aden hanya mengangkat kedua bahunya saja.

"Terus cara kita keluar dari sini gimana?" protes Acen. "Masa kita harus jadi adonan gulali nenek itu?"

Aden, Acen, dan Adul pun kembali bangkit berdiri dan berusaha mencari cara untuk keluar dari sangkar burung raksasa itu.

"Eh, ces?" Aden mengamati sesuatu di pintu jeruji besi sangkar burung raksasa tersebut. "Engsel kunci pintunya kayaknya kendor."

*buka pintu, buka halaman jawabannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

*buka pintu, buka halaman jawabannya.
*tendang saja, buka halaman 2.

Note: pilih halaman dari menu daftar isi.

TERJEBAK DI NEGERI DONGENGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang