Kalau dilihat-lihat, lelaki itu lumayan dilihat juga. Ah, bukan lumayan lagi, tapi Rafathan benar-benar lebih tampan jika dilihat dari dekat. Dengan kulitnya yang putih, hidung yang mancung, badan tinggi proporsional, potongan rambut yang semakin menambah kesan auranya. Bahkan, meskipun ada bekas robekan pada telinga kanannya tidak memberikan kesan apapun, sama sekali tidak mempengaruhi ketampanannya.

Raline menggelengkan kepalanya. Kenapa ia jadi memperhatikan Rafathan sedetail ini?

"Udah selesai." Rafathan bangkit berdiri, mengambil ponselnya kembali dari Raline. "Makasih."

Raline mengangguk dan tersenyum. Merasa tidak ada keperluan apapun lagi, Rafathan beranjak berlalu darinya. Melihat Rafathan yang ingin pergi, Raline membalikkan badannya cepat.

"Kak Rafathan!"

Rafathan berhenti, menoleh padanya. Raline tersenyum simpul.

"Ada lagi yang bisa dibantu?"

Rafathan memandanginya Beberapa saat, kemudian menggeleng. "Udah, cuma itu. Makasih."

Raline membulatkan mulutnya, manggut-manggut. Memainkan jarinya sendiri di bawah sana, agaknya canggung sendiri.

"Anak baru kan?" pertanyaan Rafathan barusan sontak membuatnya mendongak, berdeham balik.

"Hm? Eh. Iya." Raline mengangguk.

"Kalau ada yang mau ditanya tentang organisasi sekolah ini, bisa tanya-tanya gue."

Rafathan hanya mengatakan itu, lalu pergi. Namun Raline sukses dibuat senyum-senyum sendiri.

▪️▪️▪️

"Raline?"

Raline yang baru saja keluar dari ruang osis menoleh saat namanya dipanggil. Rayyan yang lewat di koridor tepat di depan ruang osis itulah yang menyapanya.

"Eh, Rayyan." Raline tersenyum simpul.

"Dari ruang osis? Habis ngapain?"

Raline mengangguk. "Tadi habis bantuin kak Rafathan."

Mendengar itu, Rayyan membulatkan mulutnya. "Oh."

"Abang lo kan ya?"

Rayyan diam sesaat, lalu mengangguk sekenanya. "Hm."

Keduanya kemudian berjalan bersebelahan menyusuri koridor. Kembali mengobrol sembari melangkah santai.

"Hp lo rusak ya?"

Raline mengerutkan keningnya, kemudian menoleh heran. "Tau darimana?"

Ponsel Raline memang rusak, sepertinya. Pasalnya, tadi Raline membanting ponselnya karena emosi. Semua karena si peneror, andai saja ponselnya tidak diretas, ponsel Raline pasti masih bersamanya sampai sekarang. Belum lagi... ponsel itu harganya mahal.

"Yaa, nebak aja sih. Soalnya chat dari gue ceklis satu."

Raline manggut-manggut. "Oh, emang lo chat gue apa?"

Rayyan berdeham sesaat, lalu mengedikkan bahunya. "Gapapa, it's not worth it."

Raline hanya mendelik tidak percaya, namun memilih mengabaikan itu saja. Ia berdiam sesaat. Seketika terpikirkan sesuatu.

Hipokrit ✔️Where stories live. Discover now