CHAPTER |35

70 7 0
                                    

Happy reading
.
.
.
.
.
.
.

Sejak pulang sekolah, hingga kini hari sudah petang, Altar masih berada di rumah Raisa. Entah dorongan dari mana Altar masih ingin berlama-lama bersama Raisa. Altar merasa bahwa ia akan jauh dari Raisa. Namun, sepertinya tidak mungkin. Raisa tidak berangkat sekolah hanya beberapa hari, hingga selesai olimpiade.

Keduanya sedang duduk sofa ruang tamu. Altar lah yang mengajak Raisa belajar disini. Dengan senang hati Raisa menurut. Namun, berbeda dengan Arsa, wanita paruh baya itu memerintahkan Raisa dan Altar untuk belajar dikamar Raisa, dengan alasan agar lebih fokus.

Hal itu tidak disetujui oleh Altar. Ia tidak mau timbulnya fitnah. Altar bukan tipe laki-laki yang akan 1 kamar bersama gadis yang bukan muhrimnya. Walaupun hanya sekedar duduk berdua. Tetapi, tetap saja itu merupakan perilaku tidak sopan.

Mata Altar terus terfokus kan pada Raisa. Ia tidak mengalihkan pandangan nya sedikit pun dari gadis disampingnya ini. Raisa masih berkutat pada bukunya. Ia mengabaikan Altar yang terus menatap nya itu. Mungkin saat ini hobby Altar hanya memandang nya.

"Gimana belajar nya, Ra? Kamu udah paham kan sama materi nya. Aku nggak mau sampe kamu nggak juara 1." Altar membuka buku kimia milik Raisa yang sangat tebal. Bahkan, ketebalan bukunya hampir sebanding dengan 5 novel jika ditumpukkan.

Altar sudah tidak kaget dengan buku setebal ini. Karena faktanya Altar sudah sangat sering menemui buku-buku seperti ini jika ia ditunjuk olimpiade.

Mengingat pemilihan olimpiade saat itu membuat Altar sedikit tersenyum. Ia masih mengingat jelas kala Raisa menolak mentah-mentah bahwa dirinya yang dipilih. Namun, Raisa yang mencalonkan dirinya sendiri.

Altar sama sekali tidak merasa berat hati ataupun tidak rela ketika Raisa menentang keputusan guru. Bagi Altar, apa yang dilakukan Raisa memang benar. Bukan hanya Altar yang harus terus-menerus menjadi perwakilan sekolah. Tetapi, semua murid berhak.

Raisa menolehkan pandangannya dari Altar. "Udah. Pokoknya kamu tenang aja. Aku hampir hafal 1 buku itu. Bahkan, kuis yang Bu Vindra kasih, masih aku inget."

"Bagus," ujar Altar mengacak rambut Raisa gemas. Bukan nya kesal, tetapi hal itu mampu membuat Raisa tertawa.

"Ra, kenapa kamu maaafin mereka? Mereka sudah kelewat batas. Apa yang mereka lakukan ke kamu itu sangat kurang ajar," ucap Altar mengalihkan pembicaraan. Masih ada yang mengganjal di hati Altar, jika ia belum menanyakan alasannya langsung pada Raisa.

Raisa mengelus pipi Altar. "Aku takut, Al. Aku takut masalah ini tambah panjang. Aku nggak mau ambil resiko hanya karena perbuataan mereka ke aku," jelas Raisa membuat Altar mengernyit. Apa yang Raisa ucapkan itu bukanlah jawaban yang ingin Altar tahu.

"Kamu takut kenapa? Ada aku disini. Kamu takut mereka bakal jahatin kamu lagi? Atau mereka akan balas dendam kalau mereka dikeluarkan dari sekolah?"

Raisa menggeleng kan kepala nya pelan. "Bukan itu, aku takut mereka akan mengadukan masalah ini ke Galuh. Kamu tau sendiri, kan gimana kondisi Galuh saat ini. Dia sedang berjuang antara hidup dan mati. Dia nggak boleh banyak pikiran. Lalu, gimana nasib Galuh kalau tau teman-teman nya dikeluarkan dari sekolah karena melakukan kekerasan ke aku. Maka kemungkinan besar kondisi Galuh akan drop. Aku nggak mau sampe itu terjadi." jelas Raisa.

Penuturan Raisa membuat raut wajah Altar berubah seketika. Wajah tampan Altar terlihat sayu. Bahkan, Altar menurunkan tangan Raisa yang masih mengelus pipinya. Altar menolehkan pandangannya dari Raisa.

ALTARAISATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang