XXXV

328 83 3
                                    

Apa lagi yang mungkin terjadi? Udara dingin sebelum fajar menusuk kulitku, membuat bulu kudukku berdiri. Ini masih jam setengah 5 pagi, dan aku tak tahu mengapa aku terbangun di jam-jam seperti ini. Aku bahkan tak merasa haus atau ingin pergi ke kamar mandi. Aku menengok ke kanan dan ke kiri, masih tak tahu apa yang harus kulakukan. Jadi, aku hanya akan pergi ke luar dan melihat-lihat, lagipula hari ini kami akan berangkat. Aku membuka pintu dan menatap lorong. Sesuatu yang bercahaya menarik perhatianku, berada di ujung lorong, tergeletak di atas meja. Cahayanya tak begitu besar, tapi cukup untuk membuatku penasaran dan menghampirinya. Aku mulai melangkah menuju benda-yang-entah-apa-itu.

"Ah, ah, ah, ah, leise ein!"

"Sehnsucht und Lust"

"Ah ah ah wohnt in der Brust"

"Ah, wenn ihr Sang lockt so bang"

Tunggu sebentar,... kenapa tiba-tiba lagu ini terputar di sepanjang lorong? Aku tahu ini adalah lagu Waltz Orchestra yang khusus dinyanyikan oleh Soprano, tapi aku tak bisa mengingat judulnya. Aku pernah datang ke acara opera saat aku- TUNGGU! KENAPA LAGU INI TERPUTAR DI SEPANJANG LORONG?

Aku berusaha lari untuk menggapai benda bercahaya di ujung sana, tapi kakiku melambat. Ah, tidak, ruangannya melambat, atau jarak lorongnya yang bertambah. Aku tak mengerti, apa yang terjadi?! Lagu ini mulai terdengar semakin keras dan nadanya berubah semakin tinggi. Ini benar-benar membuatku pusing. Aku hanya ingin menggapai benda itu.

Setelah sekuat tenaga aku berlari, akhirnya aku semakin dekat dengan meja. Semakin dekat,... dan semakin dekat,... selangkah lagi,...

"BRUGH!" lantai-lantai kayu ini mulai turun, roboh. Aku panik, tak tahu apa yang harus kulakukan. Kakiku terasa bergemetar. APA YANG TERJADI DENGAN RUMAH INI? Aku hampir memaki sebelum aku berbalik arah dan melihat zombie berlari dengan cepat ke arahku, langsung menuju pandangan mataku. Menusukku dengan kuku-kuku busuknya. Sulit rasanya untuk berteriak, tapi setidaknya aku harus berteriak sesuatu sebagai kata-kata terakhirku,...

"SIAAAAL!!!" teriakku kencang terengah-engah sambil memegang selimut. Aku terduduk, benar-benar bangun dari tidurku.

"What the f*ck, El?" tanya David sambil berdiri, menatapku dengan hina.

"Ah, astaga. Aku pikir aku sudah bangun tadi" jawabku, masih lelah.

"Kau? Sudah bangun? Mustahil" jawab David remeh sambil membawa barang-barangnya, bersiap-siap untuk perjalanan hari ini.

"Kau sudah bangun?" tanya Rei mendekati. Kenapa ia ada di sini?

"Sudah" jawabku singkat sambil kembali membaringkan tubuhku dan menutup wajah dengan tanganku, tak ingin melakukan apa-apa.

"El, kau harus mulai beres-beres. Kita akan berangkat hari ini" kata David.

"Lerchensang Frisch erwacht"

"Ah, Licht kommt sie kunden"

"Schatten-"

Sialan, lagu ini lagi. Ini membuatku ingin muntah.

"Rei, siapa yang bernyanyi waltz? Tolong hentikan, itu membuatku mimpi buruk" tanyaku sambil memegangi kepalaku.

"LOUIII BERHENTI BERNYANYI! DIA BILANG NYANYIANMU MEMBAWA MIMPI BURUK!" teriak Rei menggema ke seluruh penjuru ruangan. Kenapa pula ia harus menyebut bagian 'mimpi buruk'nya?

Seketika, hening. Aku benar-benar lelah. Tidur harusnya menjadi sarana untuk mengistirahatkan diri, tapi- istirahat, pantatmu? Aku bahkan tak semangat untuk melanjutkan perjalanan ini. Tapi mau bagaimana lagi? Aku sendiri pun sadar aku tak bisa hanya berbaring di sini dan menolak realita.

Setelah selesai mandi, aku pun mengemasi barang-barangku. Sebenarnya tak banyak yang bisa kubawa. Apa yang kuharapkan? Setelah ini kami akan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Membawa tubuhku saja sudah cukup berat, apalagi dengan membawa semua barang-barang ini.

Yang lain hanya duduk, menungguku selesai berkemas. Hanya sebuah tas berat berisi pakaian, makanan, dan air. Kantung tebal berisi gergaji mesin kuikatkan pada salah satu sisi tas sehingga aku tak perlu sibuk membawanya. Segera setelah aku selesai, yang lain ikut bangkit dari duduknya.

Kami pergi ke depan rumah diikuti oleh Tn. Jonathan, Ny. Daisy, dan anak-anak kecil itu. Mereka hanya berdiri di depan halaman rumah, melihat bagaimana kami meninggalkan rumah mereka.

"Baiklah, kalau begitu... Kami pergi, ya?" tanyaku sambil menatap mereka.

"..." mereka tak menjawab, hanya berbalik menatap kami. Aku menarik nafasku, perlahan pergi menjauh bersama yang lain.

Langkah ini terasa jauh lebih berat dari yang kupikirkan. Ekspresi yang lain pun tak bisa kumengerti, terutama Ex yang tak mengucapkan sepatah kata pun sedari tadi. Ia hanya menunduk. Belum 5 meter kami meninggalkan rumah, kudengar sebuah hentakan kaki berlari.

"..." ia berdiri di sana, di tengah-tengah, di ruang kosong antara kami dan yang kami tinggalkan. Loui hanya mematung.

"Kau akan kembali, kan?" tanyanya.

Pertanyaan itu lagi. Pertanyaan terkutuk yang aku sendiri pun tak tahu jawabannya. Aku tak bisa berjanji.

"SAY IT! KAU AKAN KEMBALI, KAN?" tanyanya. Ia berteriak. Ada sedikit gemetar di suaranya.

Aku melenguh pelan, tersenyum kecut padanya. Ia masih mematung, menungguku mengucap janji kosong itu.

"Well, Loui. Selamat tinggal" jawabku sambil berbalik, meninggalkan dia yang masih berdiri di sana. Bagaimana pun, aku tak bisa. Aku tak mau berhutang janji padanya, terutama saat aku tahu bahwa aku tak bisa menjamin akan kembali.

Hanya begitu, hanya seperti itu, semuanya akan selesai. Kami berjalan menjauh, pergi ke arah kiri dan memutar. Kalau tak salah, ada tanah dan bebatuan miring di bagian kiri belakang. Lagipula, kami tak bisa hanya melompat ke jurang karena jembatannya sudah roboh. Setelah turun lewat belakang dan sampai di dasar, kami akan menyusuri jalan belakang, arah sebaliknya dari pusat zombie kemarin. Ini akan memakan waktu lebih lama, tapi mau bagaimana lagi. Kami pun tak tahu dimana posisi pasti lab super milik Prof. Regis itu. Plus, kondisinya tak memungkinkan untuk mengambil alih mobil yang kami tinggalkan. Intinya, perjalanan terakhir ini bergantung pada ingatan, dan keberuntungan.

.

.

.

.

.

Halo ;) aku kaget baca komen kalian, kukira nggak ada yang nyari jadi kutinggalin ceritanya.

Life in Death 2 : IllusionWhere stories live. Discover now