XX

448 87 4
                                    

 "Percepat langkahmu" kataku pelan sambil mempercepat langkahku.

"Wah... kita kedatangan tamu" katanya entah datang darimana. Itu manusia. Kulitnya coklat dan badannya tinggi tegap. Di pipinya tercoreng warna hitam. Entahlah ia memakai apa. Ia tersenyum pada kami. Mungkin lebih tepatnya menyeringai.

"Eh?" tanyaku bingung.

"Kenapa buru-buru? Bukankah tamu seperti kalian harusnya duduk dulu menunggu jamuan kami?" tanyanya masih menyeringai. Tunggu, kami?

"Kami?" tanya David bingung. Ia memikirkan apa yang aku pikirkan. Ia tak hanya seorang.

"Ya, kami" katanya. Saat itu juga beberapa orang muncul entah dari mana. Perawakannya sama, tinggi besar. Kulitnya coklat dan di pipinya ada sesuatu berwarna hitam.

"Mmmm... kami sedang buru-buru" jawabku sambil berusaha melangkah pergi. Ah sial, kenapa aku tak membawa gergaji mesinku?

"Kalian kesini pasti ada yang kalian butuhkan. Apa aku benar?" tanya orang tadi. Ah sial, ia pintar.

"Apa yang bisa kami berikan?" tanya salah satu dari mereka.

"Tak ada. Kami hanya akan kembali" jawabku cepat.

"Katakan" kata orang tadi. Suaranya berubah menjadi tegas, namun wajahnya masih menyeringai, membuat bulu kudukku merinding.

"Daun. Kami butuh daun yang lebar dan beberapa bumbu masak" jawab David.

"Baiklah. Kau ikut aku mengambilnya, kan?" tanya orang itu menatap padaku. Ugh, benar-benar mengerikan.

"O-okay" kataku sambil mengikutinya. Ia masuk ke pondok lain yang lebih besar dengan aku disampingnya.

Kami memasuki ruangan seperti dapur. Disampingnya ada sebuah kuali yang berukuran sangat besar, cukup besar untuk David masuk ke dalamnya. Pisau-pisau berjajar rapi dan kulihat ada beberapa bumbu yang dimasukkan ke dalam tempat kecil.

"Apa yang kau butuhkan?" tanyanya, masih menyeringai.

"Cabai, dan beberapa bumbu masak lainnya" jawabku ragu.

"Ah... sepertinya kalian akan bersenang-senang" katanya sambil terkekeh.

"Tak juga. Kami hanya akan sarapan" jawabku mencoba menghindari kontak mata.

"Aaah... kami betsenang-senang sebelumnya. Seekor domba masuk kesini sendirian dan meminta air bersih. Tebak apa yang kami lakukan?" tanyanya sambil memberikan beberapa bumbu masak dan selembar daun yang sangat lebar. Aku tak yakin ini daun apa tapi teksturnya seperti daun pisang. Entahlah, lagipula darimana ia mendapatkannya?

"Memberinya air?" aku menebak gugup.

"HAHAHAHA, selera humormu boleh juga. Kau tak berpikir kami bersenang-senang dengan domba, kan?" tanyanya membuatku bingung.

"Entahlah" jawabku sambil mengikutinya berjalan keluar pondok.

Aku berjalan keluar sedangkan ia hanya diam sampai depan pondok. Sebelum aku pergi keluar, ia menyeringai lagi.

"Tapi bagaimanapun, domba itu sangat lezat, nak" katanya berbisik sambil menyeringai. Jantungku berdegup kencang dan aku langsung mempercepat langkahku.

Aku dan David berjalan keluar dari kawasan itu, menjauhi mereka. Kami mencoba untuk terlihat setenang mungkin agar mereka tak menyadari bahwa kami ketakutan. David sendiri terlihat sama takutnya denganku, padahal ia tak mendengar kata-kata orang tadi karena ia menunggu di depan dengan beberapa orang lainnya. Setelah cukup jauh dari daerah pondok, kami memperlambat langkah kami, mencoba menetralkan nafas kami yang terengah-engah.

"El, kenapa kau ketakutan?" tanya David.

"Mereka... mereka sedikit aneh" jawabku.

"Yeah, aku setuju" kata David.

"Kau tau, El? Mereka bertanya beberapa pertanyaan saat kau dan pria itu masuk ke pondok" kata David tiba-tiba.

"Hm? Apa yang mereka tanyakan?" tanyaku padanya.

"Mereka bertanya apa yang kita lakukan di pantai ini, dan mereka bertanya apakah kita hanya berdua atau ada orang-orang lainnya" jawab David.

"Lalu kau jawab apa?" tanyaku lagi.

"Aku jawab bahwa kita hanya kebetulan lewat dan kita tak hanya berdua. Aku takut bila aku bilang kita hanya berdua, mereka akan berbuat sesuatu" kata David.

"Kuharap tak ada sesuatu yang akan terjadi pada Ex dan yang lainnya" kataku pasrah.

"Kuharap begitu" David menanggapi.

"Salah satu diantara mereka berbicara soal seekor domba yang mampir dan meminta minum. Lalu ia bilang soal 'bersenang-senang' jadi kurasa mereka menyembelih domba itu" kataku padanya. Entah kenapa seringai itu terbayang lagi di kepalaku.

"El, mereka juga berbicara hal serupa padaku. Tapi mereka bilang domba itu meminta bantuan, bukan meminta minum" kata David. Suaranya memelan.

"Tunggu, El?" katanya tiba-tiba, membuatku sedikit terkejut.

"Setahuku domba berpergian dengan kawanan?" kata David membuat bulu kudukku tiba-tiba berdiri. Dan kemudian, aku teringat sesuatu.

"David" kataku memastikan.

"Yeah?" tanyanya.

"Bagaimana domba meminta bantuan manusia? Dan yang lebih anehnya... BAGAIMANA MEREKA TAHU KALAU DOMBA ITU MEMINTA AIR?!" teriakku yang aku sendiri pun kaget. Detik itu aku sadar bahwa 'domba' yang mereka maksud bukanlah seekor domba berwarna putih dengan bulu yang hangat. 'Domba' itu mungkin memiliki dua kaki, dua tangan, dan setelan baju mengembara. Domba yang mereka maksud adalah manusia. Dan kau tahu bagian terburuknya?

Mereka menyembelih manusia.

Life in Death 2 : IllusionWhere stories live. Discover now