XXVIII

459 77 7
                                    

            Aku menebas gergaji mesinku ke segala arah, mengubah mereka menjadi bagian-bagian yang bahkan terlihat lebih menjijikkan, menghancurkan mereka. Gergaji mesinku menyala terang bersamaan dengan lagu yang tak mendukung aksiku. Ah, aku hanya berharap Profesor Regis memasang lagu yang lebih baik lain kali.

Lagu ini perlahan mulai selesai, begitu pula urusanku. Zombie-zombie itu tergeletak tak beraturan di tanah sedetik sebelum lagunya berakhir dan lampu gergaji mesinku mati. Aku masih berdiri di tengah dengan nafas yang terengah-engah. Sejujurnya, aku masih belum terbiasa dengan berat gergaji mesinku yang baru. Maksudku, Profesor Regis memodifikasinya menjadi lebih besar, dan dengan segala mode yang ia berikan, gergaji mesin ini lebih berat dua kali lipat dibanding sebelumnya.

"El, apa kau ingin kembali?" tanya Tn. Jonathan tiba-tiba sambil melirik ke arah jalan pulang. Ada kekhawatiran di matanya.

"Tidak, aku belum mencoba mode yang lain" tolakku. Entahlah, tapi kurasa ini belum cukup untuk memenuhi rasa penasaranku.

"Baiklah" jawabnya sedikit ragu.

Kami melanjutkan perjalanan walau entah kemana. Matahari jelas sudah menunjukkan tanda bahwa tak seharusnya ia berada di sana. Burung-burung yang terbang menjauh dari arah yang akan kami tuju. Matahari tenggelam kali ini tak membawa kesan indah, ataupun damai. Jingganya langit mulai memerah, seakan mengutukku yang masih berada di sini. Aku rasa memang seharusnya kami kembali.

Perlahan, suara deburan ombak mulai terdengar. Secara teknis, kami hanya mendekati tempat semula. Ah, tunggu, bahkan sebelum kami sampai pun, raungan itu lebih dulu mendekati kami. Sial,... tapi kali ini tidak sial.

"Kemari, brengsek" aku menggumam pelan sambil menarik tuas pada gergaji mesinku, membuat gergajinya menjadi dua bagian.

Mereka, zombie-zombie keparat itu datang dalam jumlah yang cukup banyak. Raungan mereka lebih kencang dari sebelumnya. Mereka mengepungku, berlari dengan ganas ke arahku. Aku menebas, menebas, dan terus menebas. Darah mereka terciprat ke bajuku, ke tanganku, ke wajahku. Bahkan dalam beberapa menit, aku sudah mulai terengah-engah lagi. Aku melirik salah satu zombie yang hampir menggigit tangan kananku, dan...

"GOTCHA!"

Aku menebas sebagian pinggangnya dan lanjut menebas yang lain. Tapi... kurasa aku terlalu meremehkan mereka. Kurasa aku terlalu egois. Kurasa aku terlalu membanggakan diri dengan senjata baru ini. Zombie itu masih di sana. Ia masih meraung-raung dan bergerak dengan sebelah pinggangnya yang terburai. Dan detik itu pun aku sadar, mereka,... Mereka jauh lebih kuat dari sebelumnya. Gerakannya, kecepatannya, kekuatannya,... jauh meningkat dari sebelumnya. Aku melirik ke arah zombie lain yang kurasa sudah kutebas. Mereka tak tergeletak di tanah. Mereka masih di sana, mencoba mendekat ke arahku lagi dengan susah payah. Dengan tangan yang menggantung dan hampir lepas, dengan kepala yang tertebas sampai otaknya terlihat, dengan usus yang terburai, mereka mendekat lagi.

"Mereka tak tergeletak. Mereka tak tumbang"

Aku mulai panik. Angin dingin menjalar ke seluruh tubuhku, membuat bulu kudukku berdiri. SIAL. KEKUATAN APA INI? Bahkan secara logika, seharusnya aku lebih mudah menghancurkan mereka dengan dua bagian gergaji ini. Tapi,... Demi Tuhan,... mereka tak tumbang.

"Sir, kau tak berniat membantu?!" teriakku padanya yang kurasa ada di belakangku.

"SIR?!" teriakku lagi.

Aku menebas sangat kencang pada zombie-zombie itu agar aku punya kesempatan setidaknya sedetik untuk menoleh ke belakang.

"CRAT!" kepala zombie itu terpenggal, menggelinding ke tanah. Ia tumbang, tak bangkit lagi. Memberiku kesempatan untuk menoleh, dan...

"AH SIAL" teriakku kencang saat tahu bahwa Tn. Jonathan tak ada di sana. Aku tak tahu ia pergi kemana, tapi ia meninggalkanku dengan zombie-zombie ini.

"Sial sial sial sial sial sial sial sial sial..." aku terus bergumam kesal sambil menebas zombie-zombie itu. Sayang, gerakanku tak begitu berarti. Kurasa mereka hanya bisa tumbang saat dipenggal kepalannya, benar-benar terpenggal, benar-benar terpisah dari badannya. Tebasan ke arah lainnya tak banyak membantu. Tenagaku benar-benar terkuras. Darah zombie yang menempel di badanku bercampur dengan keringatku yang tak mau berhenti menetes.

Aku mulai muak. Ini tak seperti yang kubayangkan. Matahari benar-benar sudah tenggelam. Langitnya menggelap, begitu pula suasana dan tempat ini. Dan kini, aku sendiri dengan zombie yang tak ada habisnya. Tenggorokanku sakit dan rasanya aku ingin muntah. Bau darah dan daging-daging busuk itu menusuk ke hidungku. Aku tak tahan lagi.

"SUDAH CUKUP KEPARAT!!" teriakku kencang sesaat setelah aku menarik tali gergajiku, menyalakan api berwarna biru di sekeliling gergajinya.

Aku kembali menebas mereka, membakar mereka, mengubah mereka menjadi daging-daging busuk yang gosong. Aku tak tahan lagi. Aku sudah muak dengan mereka. Aku menebas mereka ke segala arah. Bahkan tanpa memenggal pun, apinya menjalar ke seluruh tubuh mereka. Membakar raga mereka yang hidup, mengirim jiwa-jiwa yang tak seharusnya mati.

Aku benar-benar mengerahkan kekuatanku. Api ini membakar mereka yang juga membakarku. Tanganku terasa terbakar, bahkan mungkin sudah melepuh. Hanya tinggal satu zombie yang harus kubakar. Kali ini aku yang berlari mendekati mereka, melompat tinggi, dan menebasnya dari atas, membelahnya menjadi dua, sekaligus membakarnya.

Kini hanya ada gelapnya malam dan awan tebal di langit. Aku berdiri mematung, mengatur nafasku, dengan gergaji mesin terbakar berada di tangan kananku. Keringat bercampur darah menetes ke tanah. Satu-satunya cahaya di sini adalah api biru yang akan segera mati bersamaan dengan habisnya tali ini. Aku lelah. Aku berniat berbaring, sesaat sebelum aku menyadari bahwa Tn. Jonathan dan kuda hitamnya menghampiriku.

"El, kita harus pulang sekarang." Katanya penuh penekanan, Ia membawa obor api. Lagi-lagi, matanya penuh kekhawatiran.

"Ada apa?" kataku sambil menghampirinya.

"Cepat naik ke kuda. Bulannya akan segera muncul" katanya sambil menarik tanganku.

"Bulan?" kataku sambil naik ke kudanya. Kini posisiku ada di depan Tn. Jonathan, seperti anak kecil yang bahagia duduk di depan saat dibonceng motor. Sialnya, aku tak sedang bahagia.

Tn. Jonathan memacu kudanya kencang ke arah pulang. Tangan kanannya sibuk mengendalikan tali kuda itu, sedangkan tangan kirinya memegang obor. Apinya bahkan hampir mati karena angin. Tn. Jonathan menggertakan giginya. Nafasnya terengah-engah. Aku lebih panik karena aku tak terbiasa naik kuda. Ini benar-benar kencang, dan kuyakin ada yang salah.

"Bulan apa?!" tanyaku sekali lagi karena ia tak meresponku. Aku masih tak mengerti.

"Nanti kuberi tahu di perbatasan lembah!" katanya. Suaranya mulai serak.

Aku melirik ke kiri dan kurasa tak seharusnya aku melakukan itu. Jauh di dalam kegelapan, mata itu mengintip. Aku tak yakin apa itu. Mungkin zombie, mungkin yang lain, mungkin malaikat maut yang hendak mengambil nyawa kami. Oh Tuhan, aku belum siap mati.

Beberapa saat kemudian, Tn. Jonathan mulai melambatkan kudanya. Tebing sempit ini mulai melebar, menunjukkan jalanan, tanda kami hampir tiba di perbatasan lembah. Awan-awan tebal itu mulai menipis diiringi dengan makian Tn. Jonathan. Semakin tipis awannya, semakin keras makiannya. Aku masih bisu. Aku tahu ada yang salah, aku tahu ada yang membuatku takut, tapi aku tak cukup mengerti apa itu. 

Life in Death 2 : IllusionWhere stories live. Discover now