Bagian 1.

387 25 4
                                    

"Sayang! Aku pulang!" Fira meletakkan semua belanjaan dia beli di pajak habis check up di rumah sakit tadi.

Ervan sedang menyeduh secangkir kopi buatan sendiri sambil baca koran hari ini. Mendengar suara sorak dari depan rumah, Ervan langsung menoleh.

Ervan masih bingung atas sikap istrinya sejak dari tadi ceria terus. Apalagi di telepon katanya dia mau beritahu sesuatu. Ervan juga tidak sabar untuk mendengar apa berita baik itu.

"Banyak sekali, Sayang? Gerangan apa ini? Sampai belanja ke pajak sebanyak ini? Memang mama mertua mau datang?" cecar Ervan mempertanyakan pada istrinya.

Ervan mencomot satu buah cakue di kresek plastik kecil itu. Kemudian dia celupkan ke kopi buatannya.

"Buat stok, Sayang. Soalnya besok-besok belum tentu aku bisa ke pajak lagi, apalagi kata dokter aku gak boleh terlalu capek. Apalagi masih dalam kondisi hamil muda," jawab Fira sambil memasukan sayur-sayuran ke kulkas dan suka beberapa camilan kue dia sempat beli juga di pajak ke piring buat siang bisa di makan jikalau perut lapar.

Ervan yang dengar kalimat terakhir dari istrinya, Ervan pun sontak terbatuk-batuk. Sampai cakue dia makan muncrat keluar.

"Apa Sayang? Kamu ... kamu hamil?" Ervan mencoba mengulang kalimat terakhir itu. Fira buat cuci piring, langsung menoleh untuk mengingat kata-kata barusan dia ucap.

"Eh? Iya, Sayang. Aku hamil," jawab Fira untuk meyakinkan lagi pada suaminya.

Ervan mengelap mulutnya dengan punggung tangan. Dia menegakkan badannya sekali lagi menatap wajah istrinya pulang dari pajak dengan wajah berseri-seri, kemudian di telepon juga hal yang sama.

"Tadi sebelum aku ke pajak, aku ke rumah sakit, Akhir-akhir ini aku merasa telat datang bulan sudah hampir satu bulan. Jadi gak salah aku cek, tanpa bangunin kamu. Berharap benar-benar positif. Bukannya kamu mengharapkan kita punya penghuni kecil di rumah ini?" terang Fira memperlihatkan foto USG kepada Ervan.

Ervan bukan tidak percaya cerita istrinya. Dilihat foto USG, walau masih kecil tapi entah perasaan apa buat dirinya sulit berkata-kata.

"Sekarang kamu tidak perlu cemas akan kondisi aku sekarang. Jadi kita bisa saling menjaga, makanya dari tadi aku ingin kasih tau biar kamu semakin penasaran,"  ucap Fira tidak bisa lepas-lepas senyumnya pada Ervan.

Ervan tentu bahagia, apa yang dia harapan terwujud juga. Apalagi sekarang istrinya benar-benar hamil. Tidak ada lagi cemoohan dari keluarga mereka kalau istrinya tidak bisa hamil apa segalanya.

"Kamu benar, Sayang. Aku sungguh bahagia, bahkan jauh lebih bahagia. Aku tidak sabaran lagi melihat penghuni lahir dan meramaikan suara di rumah dengan tangisannya, bagaimana jadinya jika suaranya jauh lebih besar daripada suara halilintar," cemooh Ervan tidak bisa dibayangkan itu terjadi.

Fira tertawa geli lihat sikap suaminya setelah mengetahui dia benar-benar hamil. Reaksi itu lah benar-benar dinanti oleh Fira juga. Entahlah, Fira berharap semua akan berjalan baik-baik saja.

"Iya, Sayang. Aku juga berharap seperti itu. Ya sudah, aku siapkan makan siang dulu. Hari ini adalah hari kebahagiaan kita berdua. Bagaimana aku buat masakan kesukaan Sayang?" usul Fira, selagi dia sudah beli bahan pokok sayuran di pajak tadi.

Ervan mengulum sembari berpikir, dengan cepat dia mengangguk setuju. "Boleh juga," balasnya sesekali mencium kening istrinya.

Fira senang banget suaminya begitu perhatian padanya. Dia pun beranjak dari duduknya lalu bersiap untuk masak. Ervan sekali lagi melihat foto USG itu. Entahlah, dia merasa sangat bahagia. Selama tiga tahun dia menikah dengan istrinya, baru sekarang dia mendapat kebahagiaan tidak terduga.

****

"Tuan," Alberto memanggil Alex, sudah satu jam lebih Alex di kafe tanpa memesan apa pun.

Alex menghembuskan napas yang cukup panjang. Kemudian menatap pengikutnya dari tadi berdiri tanpa rasa pegal sama sekali.

"Kau tidak merasa pegal berdiri seperti ini? Tempat duduk masih banyak yang kosong kenapa kau lebih suka berdiri. Jangan salahkan aku, kalau orang di sini menyalahkan aku tega menyiksa seorang orang tua dengan cara keji, ini bukan jam kerja, jadi duduk dan temani aku seperti biasa," cemooh Alex mengomel Alberto panjang lebar.

Alberto tentu menghargai sikap putra majikannya perlakukan dirinya seperti keluarga sendiri. Tetapi Alberto hanya penasihat sekaligus mengawali ke mana saja putra majikannya tuju.

"Bukan begitu, Tuan. Sudah ke ...."

"Kewajiban sebagai pengawal, perintah dari seorang tuan muda ke mana pun dia pergi. Sudah basi kata-kata itu. Seakan aku seorang putra mahkota kerajaan seperti film-film serial cina, ini dunia nyata, bukan dunia zaman bahula," sambung Alex seakan kalimat itu hafal sekali.

Alex memberi kode pada Alberto agar mau mematuhi dia minta. Alberto yang melihat lirik mata Alex, dengan cepat dia menarik kursi kosong di depan Alex. Sebenarnya Alberto sangat keberatan, tetapi karena kedua kakinya memang sudah tidak kuat menahan berat tubuhnya.

Alex diam-diam senyum geli lihat sikap Alberto. Melihat Alberto yang gengsi atas sikapnya. Dibalik itu Alex tau, kalau pria tua itu sudah pegal berdiri dua jam.

"Apa pekerjaan kau itu setiap hari seperti itu terus?" Alex bertanya pada Alberto.

Alberto sudah lama bersama di keluarga Raditama sejak Alex lahir, bahkan Ibunya sendiri, Marika mempekerjakan Alberto sebagai kepercayaan mereka. Sekarang kisaran Alberto sudah lima puluh tahunan. Namun paras dan fisik masih tetap kokoh. Pasti Alberto juga mempunyai seorang keluarga.

"Sudah tugas saya sebagai ...."

Alex langsung memasang mata serigala pada Alberto, lagi-lagi kalimat itu paling dibenci oleh Alex. Seakan tidak ada kata lain selain kata itu di bibir Alberto.

"..., maksud saya, Tuan muda sudah seperti seorang keluarga. Bahkan tanpa Ibu Negara tau, beliau sangat khawatir akan keadaan Tuan. Jadi ...."

"..., iya, aku tau dia sangat khawatir denganku, dan takut aku akan melakukan masalah lagi. Sekarang dia suka marah tidak jelas. Apalagi soal ...."

Alex tiba-tiba mengingat sesuatu, Alberto menunggu putra majikannya melanjutkan kata-kata terjeda itu. Alex sekali lagi melirik Alberto. Tapi dia seperti tidak mungkin meminta Alberto untuk mencari wanita yang sudah dia bayar sepuluh miliaran itu.

"Sudahlah, aku lapar, pesankan makanan seperti biasa," ucap Alex, Alberto pun dengan cepat memanggil pelayan di kafe itu.

Sedangkan di rumah, Ervan bingung lihat menu makanan di meja makan terhidang sangat asing. Bahkan istrinya buat lauk tidak biasanya.

"Sayang, kamu tidak sedang aneh-aneh, kan?" Ervan bertanya pada istrinya.

Fira menoleh, "Kenapa, Sayang? Kamu tidak suka dengan masakan baru aku?"

"Bukan begitu. Suka kok, cuma ini ...."

Fira memandang semua menu lauk di depan, kemudian menarik kursi, dan mengambil lauk daging iga sapi buat suaminya.

"Ini coba di makan, aku yakin kamu suka. Apalagi aku sudah capek-capek cari daging itu empuk, apalagi ..."

Ervan menelan daging itu cukup mengiurkan, hanya saja dia tidak suka dengan daging sapi itu. "Bukan itu, Sayang. Kamu tau 'kan, aku tidak suka dengan daging ...."

Tapi Ervan tidak ingin mengecewakan istrinya sudah capek-capek masak semua ini. Dia pun terpaksa menyantap daging tanpa mengeluh. Padahal dalam benaknya dia merasa mual dan ingin memuntahkan isi daging tersebut. Fira pun senyum panjang, dia pun juga menikmati tanpa merasa ada aneh pada tubuhnya.

****

Married With Lies. Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang