Jenal merogoh saku celananya, mengeluarkan sebuah pulpen dari dalam sana dan memberikannya pada Mel.

Tanpa pikir panjang, wanita itu menandatangi surat perizinan. Aji tersenyum.

"Kamu kaptennya?" Mel melipat kertas itu dan kembali memasukkannya ke dalam amplop.

"Iya, Tante."

"Kalian udah ada sponsor?" Kini, ia kembali menatap Jenal.

"Kami didanai pihak sekolah, Tante."

"Bukan, maksud Tante, pihak yang mendanai kebutuhan kalian. Kalau ngandalin sekolah aja, Tante rasa itu kurang, ya. Mengingat dana sekolah harus dibagi rata sama kegiatan yang lain."

"Oh, saya rasa belum perlu, Tante. Kami masih kecil, masih turnamen antar sekolah."

Mel tersenyum. "Baju latihan kalian gimana? Aji kan baru, ya."

Jenal tampak gugup. "Karena Aji baru, jadi belum dapet baju, Tante ... Mungkin nunggu tahun depan. Untuk baju yang dipake saat lomba nanti, Aji bisa pake baju anggota yang lain dulu."

Wanita itu menoleh ke arah suaminya yang kini sedang sibuk berbincang dengan beberapa guru yang entah sejak kapan ikut bergabung. "Pa, tolong tas Mama."

Gio menoleh, mendekati sang istri. "Ini."

Mel menerimanya. Ia mengambil sebuah kartu nama dari dalam sana. "Pa, Aji mau ikut lomba basket."

Pria itu menatap anaknya, senyum tipisnya tak bisa ia tutupi. Sejak dahulu, ia selalu ingin melihat anak-anaknya mengikuti kegiatan sekolah dan berpartisipasi dalam perlombaan, seperti apa yang ia lakukan saat masih duduk di bangku sekolah.

Mel memberikan kartu nama itu kepada Jenal. "Ini kartu nama Tante. Kamu bisa hubungi Tante untuk bahas masalah sponsor ini. Suami saya bisa bantu urus masalah sponsor."

Mendengarnya, Gio tak bisa menutupi ekspresi terkejutnya. "Sebenernya, perusahaan saya gak bisa ngasih sponsor secara asal. Harus ada manfaat yang didapat."

Mel tersenyum licik. "Kamu tenang aja, karena Tante yakin, Keluarga Lathief bisa memberikan sponsor secara cuma-cuma. Mereka gak sepelit Keluarga Alvarendra."

Jenal menerima kartu nama tersebut dengan ragu.

"Kalau kamu gak ngehubungin Tante dua puluh empat jam dari sekarang, Tante bisa batalin perizinan buat Aji." Ia menatap suaminya sekilas, tersenyum penuh kemenangan.

Aji terkejut. Iapun menatap Jenal penuh harap.

Di belakangnya, Fiqa merasa heran dengan sikap Mel. Ibunya itu tidak pernah secara terang-terangan menyebut nama Keluarga Lathief untuk menunjukkan siapa dirinya yang sebenarnya.

Nama keluarga milik Kakek memang sangat dikenal sebagai keluarga yang berpengaruh di Asia. Kekayaan keluarga mereka juga tidak diragukan lagi. Beberapa kali ia membaca berita bahwa negara ini merasa beruntung karena salah satu anggota Keluarga Lathief memilih untuk menetap di sini.

Berita semacam itu sering bermunculan di internet tanpa menyebut siapa saja anggota keluarga tersebut. Mereka hanya menyebut nama Kakek.

Fiqa sangat tahu dengan jelas bahwa ibunya bukan seseorang yang suka menyombongkan nama keluarganya atau pekerjaan suaminya. Kini, melihat wanita itu beberapa kali menyebut nama keluarga, ia yakin bahwa suamuanya tidak baik-baik saja.

Sejak tadi, Gio hanya diam. Ia kembali membawakan tas istrinya meskipun keduanya terlihat sedang tidak akur.

"Kamu mau sama Mama, atau Ervano?" tanya Mel ketika keduanya telah berada di parkiran mobil.

WasanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang