First Stage - Chapter Three

12 3 0
                                    

Keesokan harinya, di SMU Bina Bangsa...

12:00 PM.

Aurora melihat ke sekeliling kantin dengan tatapan kosong. Selepas bel jam istirahat berdering, sebagian anak sudah menghambur masuk ke kantin seperti baru saja mendapat kebahagiaan selepas penat yang berkepanjangan. Tapi tidak dengan perasaannya setelah mengetahui kondisi tubuhnya. Ditambah bertemu dengan laki-laki aneh itu lagi semakin ia tidak bisa tidur semalaman.

Milla yang melihatnya dari pintu kelas sudah langsung menyusulnya dan segera memesan nasi uduk serta bubur ayam untuk Aurora di kantin. Tapi sepanjang waktu, ia melihat Aurora seakan tak ingin bicara tentang apa pun. Keceriaannya mendadak hilang. "Ra, lo jadi terima kerjaan dari Grey, kan?" tanyanya penasaran. Sungguh jarang sekali ia melihat Aurora melamun seperti ini.

Saat melihat Aurora keluar dari kelasnya dengan tampang kuyu dan tak semangat, Milla hanya ingin memastikan kalau semuanya baik-baik saja dan nggak mau melihat teman baiknya itu bersedih tentang hasil pemeriksaan kesehatannya. Menjadi pemilik penyakit yang tak pernah disadarinya itu memang bukan keinginannya. Tapi ia yakin Aurora bisa melaluinya karena usianya masih muda sekali. Mau stadium akhir sekalipun, penyakitnya pasti bisa disembuhkan. Dengan bantuan Grey, semuanya pasti akan baik-baik saja, pikirnya berharap.

"Ra! Lo dengerin gue nggak sih?" Milla kembali melahap suapan nasi uduk terakhirnya.

Aurora terhenyak. Sejak masuk kantin, ia memang hanya menatap bubur ayam di mangkuknya tanpa sedikit pun melahapnya. "Ya, Mil? Kenapa? Tadi lo ngomong?"

Milla menelan kunyahannya dan menggeleng heran. "Mulut gue sampai berbusa dari tadi, Ra. Lo jadi nyanyi di kafe itu, kan? Si Grey gimana? Lo jadi telepon orang itu?" tanyanya sekali lagi.

Aurora menepuk dahinya yang putih dan mulus tanpa jerawat atau flek hitam kecil itu. "Astaga, iya! Gue lupa, Mil!" Uh! Ini gara-gara pertemuanku dengan Jonas tadi malam. Tak henti-henti rasa heran di kepalaku karena kue terakhirku bisa dimakan habis oleh laki-laki itu. Menyebalkan! Aku sudah bertekad untuk tidak memakannya lagi dan membuat resiko sembuh dari penyakit ini berubah jadi nol persen. Tapi laki-laki itu...

"Ya ampun, Ra! Sekarang cepat lo telepon dia deh! Grey pasti nungguin kabarnya juga," seru Milla.

Aurora kembali tersentak dari lamunannya lagi. "Iya... Untung lo tanya! Ini satu-satunya harapan gue buat berobat, Mil," ucapannya sudah pasti mendapat anggukan kepala dari Milla.

Setelah mengirim pesan untuk sekadar menyapa, Aurora menerima jawaban langsung dari Fargo. Tapi kali ini ponselnya berdering. Cepat ia menelan ketakutannya seraya meyakinkan dirinya kalau ia bisa mengucapkan kata-kata yang tepat dan menerima teleponnya. "Selamat siang, Pak..."

"Ya... Selamat siang..." sapa seseorang di seberang telepon.

"Uhm... Dengan Pak Fargo?"

"Ya, betul..."

"Saya Aurora. Maaf mengganggu waktu Bapak sebentar. Kebetulan saya mendapat nomer ini dari kenalan Bapak yang bernama Grey..."

"Ohhh, yaaa... Dia sudah menghubungi saya. Katanya, kamu bisa menyanyi?"

Aurora mencelos lega karena sambutan Pak Fargo cukup baik. "Sedikit, Pak."

Suasana menjadi lebih hangat ketika tawa renyah Pak Fargo pecah. "Bagus dong! Saya malah nggak bisa nyanyi. Hehehe... Kalau begitu temui saya di Kafe One Music ya. Tahu alamatnya, kan?"

Aurora ingin ikut tertawa mendengar ucapan dan pujian Pak Fargo. Karena siapa yang tidak tahu kafe One Music Café & Lounge pasti tidak suka makan di luar rumah. Tempat itu satu-satunya kafe elit yang dibuat dengan konsep live music yang selalu diisi oleh para artis dan musisi terkenal. "Iya, Pak. Saya tahu. Tapi maaf sebelumnya, saya belum pernah ke sana...."

Aurorabilia {END}Where stories live. Discover now