7. Genesis

115 36 0
                                    


"Kelahiran atau permulaan—genesis."

-----


Langkah Radit rusuh begitu keluar dari ruang Kepala Sekolah SD tempat Alana belajar—lebih tepatnya pernah belajar.

Menggenggam tangan Alana kecil erat, Radit terus berjalan sampai ia mencapai lorong kosong yang tepat akan mengantarnya keluar melalui gerbang Sekolah di depan sana.

Alana diam saja tanpa bicara. Semenjak Ayahnya berbicara dengan Wali Kelas dan Kepala Sekolahnya, Alana tak berani bersuara barang sedikit pun.

Langkah Alana terhenti begitu langkah Ayahnya berhenti. Diam selama beberapa saat, lalu Radit berjongkok. Membalikan tubuh Alana agar menghadapnya.

"Alan," panggil Radit.

"Hm?"

Alana menatap kedua mata Radit yang sudah memerah dengan nafas yang terdengar berat, serta ujung mata yang sudah basah. Radit tampak diam menahan tangisnya susah payah di sana.

"Kalau di luar, jangan panggil Ayah ya?"

Respon pertama Alana adalah memiringkan wajahnya, bingung dengan apa yang dimaksud sang Ayah.

"Kenapa?"

Alih-alih langsung menjawab, Radit memperlihatkan warna biru keunguan di lengan kiri Alana.

"Nanti kamu luka kaya gini lagi. Bahkan mungkin lebih."

Melihat lengan Alana merasa bersalah, Radit mengigit bibirnya, lalu berusaha bicara lagi.

"Kalau Alana manggil Ayah, nanti Alana dikurung di kamar mandi lagi. Nanti Alana didorong sampai jatuh lagi. Nanti baju olahraga Alana kotor lagi dan Alana gak bisa ikut pelajaran olahraga."

Mendengarnya, Alana menghentakan kaki. Gadis kecil itu melepaskan pegangan Radita padanya.

"Gak mau. Alan harus panggil Ayah apa kalau bukan Ayah? Ayah kan Ayahnya Alan. Alan gak punya Ayah yang lain."

"Kamu bisa panggil Ayah sebagai Abang di luar. Cuman di luar kok," bujuk Radita.

"Aku gapapa luka kaya gini, aku juga gapapa dikurung di kamar mandi lagi meski bau. Aku juga gapapa didorong lagi, aku tinggal jadi lebih kuat dari mereka kan? Aku juga gak suka olahraga, aku gak suka keringetan jadi kalau baju olahraga kotor juga gapapa."

Alana menatap Radita lurus. "Alana gapapa, selama Ayah gapapa."

Pecah lah tangis Radita mendengarnya. Pemuda itu lekas memeluk Alana erat, seerat yang ia bisa.

"Tapi Ayah gak bisa baik-baik aja, ngeliat kamu terluka karena Ayah. Ayah gak bisa baik-baik aja tahu kamu sakit karena Ayah," ujar Radita dalam isak tangisnya.

"Asalkan Alana ada bareng Ayah dan Papa, Ayah gapapa. Ayah bakal baik-baik aja."

Radita melepaskan pelukannya, "Alana mau kan nurutin apa kata Ayah tadi?"

Alana terdiam, dia masih menatap mata basah Radita yang memerah. Ia tahu Ayahnya sudah menahan diri sejak sampai di ruang Kepala Sekolah tadi. Sesaat setelah Wali Kelasnya menelfon jika dirinya memukul seorang anak kelas.

Padahal, dia hanya memukulnya sekali. Sementara anak itu berkali-kali melemparinya dengan bola, tempat pensil, dan bahkan buku. Alana memukul pun karena tak tahan lagi mendengar anak itu terus mengatai Ayah sebagai banci. Alana tak suka mendengarnya. Alana benci Ayah yang sangat disayanginya, Ayah yang membuatnya memiliki keluarga tak dihormati seperti itu.

Celandine✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang