6. Normal

136 35 1
                                    

"Dalam perilaku, berarti kesesuaian dengan rata – rata—Normal."

-----

"Rigel, menurut kamu normal itu apa?"

Rigel yang membaringkan tubuh di antara undakan tangga dengan menjadikan lengan sebagai bantalnya membuka mata. Sedikit melirik pada Alana yang duduk di dekat kepalanya.

"Normal itu ... " Rigel tampak diam berpikir. Mencari-cari sesuatu di sekitarnya.

Lalu melirik pada lapangan yang ada di depan mereka.

"Nah kaya itu." Rigelia Andanu menunjuk ke koridor deretan kelas 11 yang ada di seberang lapangan.

"Kaya deretan keramik warna putih di koridor. Itu normal."

"Maksudnya?" tanya Alana tak paham. Sedikit merundukan kepala pada wajah Rigel yang ada di bawah.

"Deretan keramik putih itu normal. Kalau tiba-tiba di salah satu keramiknya ada warna hitam atau warna lain, jadinya gak normal."

Melihat Alana yang masih belum paham. Rigel bangkit dari tidurannya, duduk di sisi Alana dengan tangan menumpu pada kedua lututnya.

Seragam putihnya sedikit kusut karena sembarangan dipakai tidur di atas undakan tangga lapangan.

"Di antara deretan warna putih yang normal itu, tiba-tiba ada satu balok keramik yang warna item. Dia ngerusak keselarasan dari apa yang ada di sana. Si keramik warna item ini jadi gak normal."

"Dia gak normal karena dia berbeda?" tanya Alana, Rigel langsung mengangguk.

"Setiap hal berbeda di tengah kesamaan, itu jadi ketidak normalan."

"Tapi Indonesia terdiri dari beragam suku dan agama yang berbeda. Berarti Indonesia gak normal?" tanya Alana.

"Gak lagi beda karena bedanya banyak."

Rigel mendekatkan diri pada Alana memperlihatkan gerakan tertentu dengan tangannya agar Alana lebih paham.

"Kalau terdiri lima balok warna putih. Terus tiba-tiba muncul satu warna hitam, si hitam gak normal. Tapi kalau si hitam ini gak cuman jadi satu, tapi ada dua bahkan tiga. Terjadi pola baru, yang ngebuat perbedaan itu jadi biasa lalu kembali normal."

"Kaya zebra," komentar Alana. Rigel mengiyakan.

"Zebra normal dengan warna belangnya. Warna hitam jadi normal karena ada warna hitam lainnya yang ngebuat dia biasa, tapi kalau tiba-tiba di antara deretan warna hitam putih itu ada warna kuning? Gimana?"

"Si kuning jadi gak normal karena berbeda."

"Pinter!" puji Rigel mengusak puncuk kepala Alana.

"Normal itu gitu. Cuman suatu standar mana yang paling umum atau banyak di antara kita," lanjut Rigel kemudian memandang ke depan.

"Kalau si hitam semakin banyak, hal itu lama-lama bakal bisa dianggap normal?" tanya Alana lebih seperti bergumam.

"Kalo gitu, Ayah dan Papa juga bisa jadi normal kalau ada banyak," lanjut gadis itu.

"Mereka gak akan dipandang aneh lagi kalau ada banyak. Anak kaya kita yang dibesarkan sama keluarga lgbt gak akan dianggap gak normal lagi kalau ada banyak."

Mendengarnya, Rigel menoleh sebentar, lalu menghela nafas menatap langit yang cerah di atasnya.

"Tapi ada yang namanya batasan Al."

"Dunia ini punya aturannya sendiri. Setiap tempat punya bagaimana cara mereka hidup. Meski itu ditentukan oleh penghuninya, tapi tetap, ada hukum alam yang sulit untuk dilawan."

Rigel menoleh lagi pada Alana, kali ini dengan senyum yang tenang, tidak tengil seperti biasa. "Bunda bilang, perbedaan itu indah, kalau ada di waktu dan situasi yang tepat. Kalau ada di tempat yang semestinya."

Alana balas menatap Rigel.

"Apa perbedaan kita ada di waktu dan situasi yang tepat?" tanya Alana.

"Soal itu, gue gak tahu jawabannya," jujur Rigel.

"Aku gak tahu aku normal atau enggak."

"Nanti juga lo tahu. Kata Bunda, itu bukan hal yang bisa lo tahu dengan cepat gitu aja. Semuanya ada proses," tanggap Rigel melempar batu kecil.

Pandangan Alana meredup, lalu kembali menoleh pada Rigel di sisinya, pada hidung tinggi yang langsung menoleh menyadari ia ditatap oleh Alana.

"Kenapa?"

"Kalau kita ... apa kita bisa jadi normal?"

-----

Author Note :

Menurut kalian, normal itu apa?

Celandine✔Where stories live. Discover now