» 16 • Tell The Truth

Start from the beginning
                                    

"Scarlett jauh lebih baik. Dia dan Jane hanya syok karena kejadian tadi siang."

Aku sekali lagi mengembuskan napas lega. Syukurlah kalau begitu. Aku tidak akan memaafkan diriku sendiri kalau sampai mereka kenapa-kenapa.

***

Keesokan paginya, ketika tiba jadwalnya sarapan bersama, aku tidak bisa mencegah Rashad dan Hugo, juga anggota rombongan lain, untuk tidak heboh melihat kepalaku yang diperban, lengkap dengan beberapa lebam yang tidak bisa kututupi terus-terusan.

"Astaga! Apa yang terjadi padamu?" tanya Rashad begitu bergabung di mejaku dan Jay.

Hugo mengambil tempat duduk di sebelahku. Tangannya terjulur menangkup pipiku, menggerakkan kepalaku ke kanan-kiri dalam gerakan cepat, meneliti wajahku lebih detail. Aku mendengus, merotasikan bola mataku dengan malas. Setelah kemarin aku terbanting berkali-kali ke tanah, dan Hugo yang menggerak-gerakkan kepalaku dengan cepat, dia pikir aku tidak pusing apa?

"Berhenti, Hugo! Itu menyebalkan." Aku menepis tangan Hugo dari pipiku. Bisa-bisa orang yang melihat akan salah paham lagi.

Hugo hendak menyerangku dengan berbagai pertanyaan. Buru-buru aku menatapnya tajam, menyuruhnya diam saja, aku sedang tidak ingin ditanyai. Hugo protes, menggerutu kesal, tapi terserah lah. Aku benar-benar tidak ingin membahas soal kejadian kemarin.

Sementara itu, karyawisata kami yang seharusnya hari ini dijadwalkan dengan kunjungan ke Venesia awalnya hendak dibatalkan. Hal itu sontak menimbulkan pro dan kontra di antara rombongan. Beberapa dari kami setuju karyawisata dihentikan saja karena kejadian tak mengenakan terus terjadi secara beruntun di setiap tempat yang kami kunjungi. Beberapa lagi protes dengan alasan sudah membayar mahal untuk perjalanan ini, tidak ingin menyelesaikan karyawisata begitu saja. Aku bergabung ke tim kontra. Alasannya tentu saja bukan karena aku sudah membayar mahal untuk biaya perjalanan ini. Aku harus berada di Eropa bagian selatan untuk beberapa saat bersama Tim Elite N.I.A lainnya hingga keberadaan Benedict dan anak buah Saduju lainnya ditemukan.

Dan hasil akhirnya dimenangkan oleh tim kontra yang memiliki jumlah suara terbanyak.

Aku tidak lagi memikirkan soal karyawisata. Situasi semakin genting. Detik demi detik merangkat menuju waktu yang sangat krusial terhadap pertaruhan nasib seluruh dunia. Tim N.I.A belum bisa melacak keberadaan Benedict hingga saat ini. Dan yang lebih buruk, kami tidak punya petunjuk sama sekali terkait lokasi batu permata terakhir.

Di sinilah rombongan kampusku berada sekarang. Sebuah kereta yang terus bergerak cepat di atas rel menuju Venesia. Waktu perjalanan yang dibutuhkan kurang lebih 4 jam.

Aku dan Jay duduk bersebelahan dengan Rashad dan Hugo di depan kami. Posisi kami berempat saling berhadapan. Tidak banyak yang kami lakukan di kereta. Hanya makan camilan, bermain ponsel, sesekali mengobrol. Kami lebih banyak suntuknya dibanding semangat. Kejadian kemarin membuat semangat berwisata nyaris setengahnya peserta rombongan hilang perlahan.

"Semakin lama ini semakin membosankan," celetuk Hugo. Anak itu dengan wajah kusutnya bersandar pada jendela kereta, menatap pemandangan di luar.

"Padahal dulu aku semangat sekali saat diumumkan bahwa kita akan mengikuti karyawisata," sahut Rashad pelan. Anak itu bersandar pada sandaran kursi dengan salah satu kakinya ditumpangkan di atas paha Hugo.

Rashad dan Hugo menghela napas panjang.

Aku menatap kedua sohibku itu secara bergantian. Aku paham. Mereka sebenarnya bukan bosan, mereka sedang dilanda rasa takut hal-hal seperti kemarin terjadi lagi. Bayangkan saja kalian sedang berwisata dengan teman-teman kalian, lalu tiba-tiba semua suasana menyenangkan itu lenyap dalam sekejap dan digantikan suara dentuman dan tembakan yang memekakkan telinga di mana-mana. Ditambah menyaksikan dengan mata kepala sendiri tubuh-tubuh kaku tergeletak begitu saja di atas tanah. Itu pemandangan yang mengerikan.

THE FIGHT SERIES | #1 ROOFTOP FIGHTWhere stories live. Discover now