17. Nikah sama gue

580 74 13
                                    






"Mungkin, akan lebih membahagiakan jika kita mempunyai perasaan yang sama. Namun itu hanya sebuah kemungkinan."


















"Ayah tahu Acha sakit, kan?"

Mata mereka bertemu dengan tatapan berbeda. Hanya beberapa detik, ruangan yang tercipta hening itu terpecahkan oleh suara sang Ayah yang ditanyai.

"Bagaimana enam harinya, Achazia?" Pertanyaan sarkastik Pria memakai kameja putih dengan lengan yang dilipat sampai siku itu terduduk di ruang kerjanya, menatap lurus pada Acha yang berdiri di hadapannya.

Gadis itu menghela nafas mendengarnya. "Ayah belum jawab pertanyaan Acha," tekannya.

Bimo menatap Acha tanpa berniat menjawab pertanyannya. Acha yang mengerti lagi-lagi dibuat menghela nafas.

Acha pun menunjukkan senyuman miringnya. "Enam hari. Cukup menenangkan. Gak ada cacian yang harus Acha denger. Gak ada pukulan yang harus Acha rasain setiap hari karena kesalahan yang belum tentu bener, cuman dari adu domba sodara tiri ya—"

"ZIA!"

"Kenapa? Emang faktanya kan kalo—"

"Kartu debit baru kamu dan mobil kamu saya sita."

"Yah..."

"Dengarkan ini, Zia. Jangan keluar rumah tanpa seizin saya. Saya hanya mengizinkan kamu sekolah saja. Selebihnya diam di rumah!"

Tampang kesal Acha terekspresikan langsung. "Apaan, sih! Ayah selalu aja memperlakukan Ac—"

"Pergi ke kamar sekarang!"

"YAHH!!" Sentak Acha minta didengar.

Brak!

"PERGI KE KAMAR SEKARANG, ACHAZIA!"

Tapi balasan Bimo begitu membentaknya sembari menggebrak meja.

Mau tak mau dengusan kasar Acha keluar disusul hentakan kaki kesal membawanya pergi dari ruangan kerja Bimo.

Melihat kepergian Acha membuat Pria itu memejamkan mata dengan helaan nafas berat terdengar.

"Kanker otak sudah mencapai stadium tiga."

Ingatan perkataan seseorang terlintas di benaknya. Ia pun beranjak dari tempatnya, berjalan membukakan pintu balkon dalam ruangan kerjanya.

Bimo terdiam tegap di atas balkon. Tatapannya terarah pada langit yang cerah perlahan mendung. Ada yang mengganggu pikiran dan hatinya tergerak. Namun berkali-kali Bimo terus menyangkalnya.

Kekhawatirannya terhadap Acha yang mengidap penyakit kanker.

Ya, Bimo tahu semuanya.

Semenjak mengetahuinya membuat ia terus kepikiran. Tapi Bimo tepis kala rasa bersalah hadir saat ia sering menyiksa Acha. Bahkan rasa peduli dan khawatir ia buang jauh.

Persetan!

Acha hanya anak pembawa kesialan dalam hidupnya. Anak menyusahkan dan seorang pembunuh.

Life Acha Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang