"Cih, kau mengungkit yang menjadi kewajibanmu sebagai seorang suami?"

Leira dikagetkan dengan lehernya yang ditarik Jung untuk bersandar di bahu kirinya. Bukan memeluk, melainkan pria itu sedang berbicara lembut di telinga Leira, lagi.

"Sekadar mengingatkan, bahwa jasa dan barang yang kuberikan sangat berharga. Aku tidak mengharapkan balas budimu, setidaknya kau berkacalah, tanya pada dirimu sendiri, apa kau sudah memenuhi kewajibanmu sebagai seorang istri?"

Leira kembali bungkam. Tidak bisa menampik jika yang dikatakan suaminya adalah kebenaran. Leira tidak terima dipermalukan seperti ini, benci dengan presensi Jung yang sangat berengsek. Ia hanya bisa melampiaskan kemarahannya dengan mengepalkan tangan kuat-kuat.

"Jung, berhenti berbisik di telingaku! Aku benci dengan suaramu!" Sekuat tenaga, Leira mendorong tubuh kekar Jung hingga pria itu sedikit terhuyung ke belakang.

"Okay, tidak masalah. Aku pergi dulu, takut jalanan macet." Seketika Jung mencium kening Leira dan mengambil jas kantor serta menghilang dari pandangan istrinya.

Leira mengerang kesal, mengacak rambutnya frustrasi. Gila, situasi ini sangat tidak pernah ia harapkan. Walaupun sekali saja.

"Jim. Aku membutuhkanmu," gumamnya, lalu bergegas ke restoran.

***

Leira tergesa-gesa menuju lantai dua, mengabaikan sapaan seluruh pegawainya. Yang terpenting saat ini Jimin di mana, ia butuh Jimin, bukan yang lain.

Jimin yang melihat presensi Leira berdiri di ambang pintu, tentu kaget. Pasalnya ia tidak dikabari jika wanitanya datang ke restoran hari ini.

Leira mengunci pintu, agaknya cairan bening sudah menetes duluan. Jimin yang menyadari Leira terisak, pun memeluknya—mengusap halus surai wanita itu, memberikan pelukan hangat agar Leira nyaman. Tak bisa dipungkiri, pelukan Jimin jauh lebih menenangkan dibanding yang lainnya. Pria itu sungguh merengkuh tubuh Leira penuh ketulusan, penuh kenyamanan, dan penuh kasih sayang.

Itu sebabnya Leira bisa jatuh hati kepada Jimin.

"Kenapa? Coba cerita," katanya lembut.

Leira masih terus menangis dalam pelukan Jimin, membiarkan air matanya tumpah agar lega. Jimin mengerti, maka dari itu dia tidak bertanya lebih lanjut sebelum Leira mau cerita sendiri.

"Aku benci Jung."

Jimin tidak kaget, tiga kata ini sudah sering ia dengar lantaran Leira terus mengucapkannya saat kesal dengan Jung.

Pria Park itu tersenyum sendu, menangkup pipi Leira agar dia menatap wajahnya. "Duduk dulu, tenangkan dirimu, mau aku ambilkan minum?" Leira mengangguk sebagai jawaban.

Jimin menuruni tangga tanpa peduli dengan tatapan orang-orang yang heran dengan keadaan kemejanya setengah basah karena air mata Leira.

Dia kembali dengan membawakan segelas coklat dingin dan beberapa camilan. Jimin hafal ketika Leira usai menangis pasti lapar. Senyum Leira merekah saat melihat tangan Jimin penuh dengan makanan. Benar, matanya berbinar saat melihat makanan sekaligus coklat dingin. Tanpa pikir panjang Leira memakan semuanya, hingga membuat Jimin tertawa melihat tingkah Leira yang menggemaskan.

"Sudah tenang? Boleh aku mendengarkan ceritamu?"

Leira mengangguk. "Jung yang melakukan semua ini. Meriset semua rencana kita dan berbalik mengatur rencananya hingga terjadi seperti ini. Uangnya aman, ada dengannya, tapi aku tidak tau disembunyikan di mana."

He's DangerousNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ