CHAPTER ENAM

375 66 5
                                    

Lalu lalang orang-orang tidak menggangguku dan Haru yang saat ini tengah berada di eskalator. Tangan besarnya terulur begitu hampir sampai atas, tentu aku menerimanya.

Sepanjang jalan pikiranku kemana-mana karena aku dan Haru terlihat jomplang. Walaupun Haru sudah memakai baju biasa saja, tapi kesan elegannya tetap ada, sangat berbeda denganku.

"Haus gak?"

Aku menoleh, kemudian balik bertanya, "kamu mau minum?"

Senyum masam tercetak jelas di wajahnya begitu mendengar pertanyaanku, "aku nawarin Kak, bukannya mau ngajak Kak Lian beli minum karena aku haus. Kakak keliatan kaya gak ada tenaganya sejak dari lobby."

Ku tepuk pundaknya satu kali. "Aku gak haus. Kita senang-senang aja sampai sore, mumpung ada waktu. Gak usah mikirin yang lain. Ayo!"

Menarik tangan Haru hingga berhenti di depan photoboth, mataku tertuju padanya, "mau buat kenangan hari ini gak?"

Sudut bibirnya terangkat membentuk senyuman, "mau," balasnya.

Kami kemudian masuk ke dalam kotak besar yang tidak begitu lebar, sepertinya hanya cukup lima sampai enam orang, itupun jika dipaksa. Tawaku mengudara begitu melihat ekspresi Haru yang tampak konyol. Bukan hanya sekali dua kali, justru berkali-kali, membuatku sakit perut dan tidak bisa fokus bergaya.

"Udah, aku capek Haru hahahaha." Aku terduduk di belakangnya. Haru kemudian berbalik ikut duduk pula di sampingku setelah memilih foto mana yang akan dicetak.

Entah sejak kapan Haru tersenyum penuh arti sembari menatapku. Hingga tawaku berhenti, laki-laki itu masih saja tersenyum. Senyuman yang menurutku aneh dan baru melihatnya saat ini.

"Ekhem, fotonya udah selesai?" Pandanganku teralih ke mesin yang berbunyi. Tau-tau Haru sudah berdiri dan menunjukkan dua lembar foto.

"Bagus," katanya

Kepalaku mengangguk, "Mau ke mana lagi sekarang?"

Haru menyerahkan foto itu kepadaku agar disimpan di sling bag yang kubawa. "Makan, mau gak Kak?"

"Boleh," jawabku sembari menyingkirkan kain penutup photoboth. Keramaian menyapa begitu kami baru saja keluar. Rasanya seperti baru saja bertapa di sebuah gua, begitu kembali ke pemukiman, sedikit terkejut karena bising.

Tubuhku menegang begitu sebuah tangan melingkar di bahuku. Menolehkan kepala, kulihat Haru menatapku dengan senyuman itu lagi. "Kalo gak nyaman bilang aja," katanya.

Bukannya tidak nyaman Haru! Justru jantungku yang berulah, takut melompat ke lantai dasar karena terlalu kencang berdetak.

"I-iya." Aku menjawab. Meskipun Haru lebih muda, tapi tetap saja aku ini seorang perempuan yang bisa gugup kapan saja jika diperlakukan tidak seperti biasa, terlebih orang itu Haru, laki-laki yang tidak ada di dalam bayanganku sama sekali.

Berdeham beberapa kali, aku mencoba untuk tidak terlihat aneh. Tak jarang mataku melirik tangannya yang bertengger manis di bahuku seolah sudah terlatih melakukannya.

"Mau makan di sini atau dibawa pulang?" Haru bertanya, begitu kami sudah masuk ke salah satu tempat makan dan ikut barisan untuk mengantre, yang untungnya tidak terlalu panjang, hanya empat orang dari depan.

"Aku ikut kamu aja," jawabku. Kepalaku seperti tidak mempunyai otak, tidak bisa diajak berpikir sama sekali. Seolah saraf-sarafnya konslet dan tidak berfungsi.

"Di sini aja ya?"

Aku mengangguk sebagai jawaban. Melihat sekeliling sebentar, aku menurunkan tangan Haru pelan-pelan membuat sang empu menatapku penuh tanya.

Baby, Haru [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang