CHAPTER SATU

850 95 6
                                    

"Kak Lian lagi apa?"

Aku yang saat itu masih 11 tahun menoleh begitu Haru datang sambil membawa hp ibunya. Dia masih berumur 7 tahun tapi sudah bisa main hp layar sentuh dan ingat pola hp ibunya yang ribetnya minta ampun.

"Lagi gambar. Besok dikumpulin gambarnya di sekolah," jawabku.

Kepala Haru mengangguk. Kemudian dia masuk kembali ke dalam rumah. Tidak lama, dia balik lagi sambil membawa tas spidermannya. Ikut duduk di depanku. Di teras depan lebih tepatnya.

"Haru juga ada PR. Bantuin ya?"

Aku mengangguk saja kemudian menyingkirkan buku gambarku dari meja belajar dan menaruh buku tulis bocah itu sebagai gantinya.

"Ini. Bacain coba, Kak. Haru gak ngerti."

Dan saat itu aku membantunya yang baru masuk SD. Sampai melupakan PR-ku yang proses pengerjaannya lumayan memakan waktu.

Dan bodohnya aku sekarang lagi-lagi membantunya mengerjakan PR

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Dan bodohnya aku sekarang lagi-lagi membantunya mengerjakan PR. Anak itu malah main game di hpnya sambil goleran di sampingku yang duduk di karpet di kamarnya.

"Sebenarnya yang sekolah aku atau kamu sih?" sindirku sambil melirik dia. Pergerakan tangannya sempat terhenti, namun lanjut gerak lagi, seolah ucapanku barusan hanya suara aneh yang terbawa angin.

"Bantu sedikit doang Kak, aku gak ngerti," katanya enteng. Kepalanya kemudian bersandar di pundakku. "Aku juga capek sebenarnya. Abis ini pijitin ya?"

Aku mendorong kepalanya sampai terjungkal ke samping. "Jangan manja. Aku aduin ayah kamu mau?"

Haru merengut. Dia mengambil hpnya yang ikut terlempar kemudian disimpan di kasur. Dia duduk mepet ke dekatku kemudian mengambil alih buku yang kupegang.

"Kalo gitu, ajarin. Jangan aduin ayah. Aku gak bakal males lagi kok beneran," katanya pelan. Aku menahan diri untuk tidak tersenyum. Ekspresi pasrahnya saat ini begitu lucu menurutku.

"Iya, enggak. Ya udah sini mana yang kamu gak ngerti?"

Haru menunjuk buku paketnya. Aku memperhatikan sebentar, lalu menjelaskannya sedikit karena masih lumayan ingat materi itu.

Suaraku menghilang akibat laki-laki di sampingku ini malah asik menopang dagu sembari senyum-senyum menatap wajahku.

"Apa?" tanyaku dengan wajah serius.

Haru menggeleng, lalu kembali fokus pada buku paketnya. Sebelum aku kembali bersuara, anak itu berkata, "Kak Lian cantik."

Langsung saja tanganku melayang ke pundaknya dengan keras, karena malah ngomong hal yang tidak jelas di saat yang tidak tepat. Dia sendiri malah tertawa ngakak seperti orang stress.

Malam itu aku menghabiskan waktu sampai larut untuk menemani Haru belajar. Bukan hal baru untukku melihat kelakuannya yang kadang ngotot memintaku menemaninya. Bahkan sampai tidur sekalipun.

***

"Kak Lian! Kak Liannnn! Bangun!"

Aku menutup telingaku pakai bantal begitu mendengar teriakan Haru yang terasa dekat sekali. Kebiasaan dia setiap pagi memang begini, menjadi alarmku.

"Kak Lian! Ayo bikin aku sarapan!"

Sekarang aku merasa tubuhku diguncang-guncang oleh anak itu. Demi apapun, dia sangat menyebalkan saat ini. Waktu tidurku terbuang sia-sia kalau begini caranya. Kalau tidak ingat dia anak majikan ibu, sudah kutendang dia sampai ke planet sebelah.

"Iya sebentar." aku menjawab sambil mendudukkan diri tapi mataku masih setengah terbuka.

"Cepetan mandi." Haru menarik tanganku, lalu mendorong punggungku keluar kamar dan berhenti setelah sampai di depan kamar mandi.

"Sana tunggu di rumah," usirku, kemudian masuk kamar mandi dan mengunci pintunya. Dengan masih setengah sadar, aku mandi.

Membiarkan air dingin membasahi seluruh tubuh, dari ujung kepala hingga ujung kaki, sekalian menghilangkan emosi di pagi hari yang sudah dipastikan sangat cerah, sangat berlawanan dengan diriku yang suram.

20 menit kemudian aku ke rumah sebelah untuk menghampiri Haru yang mungkin sudah merengut karena lama menungguku mandi. Biarlah. Salahnya juga kenapa malah mau aku yang membuatkannya sarapan.

"Lama banget," protesnya begitu melihatku masuk melalui pintu belakang. Ekspresinya terlihat tidak sabaran.

"Iya maaf. Namanya juga perempuan, pasti mandinya lama," ucapku membela diri. Aku berdiri di belakang kursi sebrangnya.

"Iya dimaafin." Haru mengangguk. Pandangannya kemudian fokus ke ponsel di tangannya. "Aku mau roti, diisi telur ceplok setengah matang. Ukurannya jangan besar-besar nanti minyaknya kemana-mana. Terus dikasih sosis sama saus."

Aku menatap Haru yang duduk santai di kursinya. "Ribet banget."

"Kak, kalo minta bantuan bi Ratih nanti lama matangnya. Takut telat ke sekolahnya."

"Ya bikin sendiri dong. Kamu kan udah besar." Kedua alisku hampir menyatu. Haru memang juaranya kalau soal menguji kesabaran.

"Gak bisa. Kalo pun bisa, udah dari tadi bikin sendiri," katanya dengan senyuman polos yang terbit di wajahnya.

Aku melengos, "Iya deh terserah kamu aja."

Karena aku tidak mau debat. Aku memilih untuk ngalah dan mulai bikin makanan yang Haru mau. Aku kadang heran, kenapa dia malah lebih suka sarapan buatanku dibanding ikut sarapan bareng ayah dan ibunya.

Ya, kupikir karena Haru anaknya suka sekali melihat orang lain menderita, makanya dia mau membuatku menjadi salah satunya. Kalau begitu, aku harus menguatkan mental berkali-kali lipat untuk menghadapi laki-laki jangkung itu.

Baby, Haru [REVISI]Where stories live. Discover now