"Kalian tidak apa-apa, kan?" Aku memutuskan menanyai keadaan mereka.

"Hanya luka kecil di pelipis. Bukan masalah besar, Jen," jawab Rashad sambil menunjuk pelipisnya. Ada darah yang mengering di sana.

"Aku sudah mengobati luka-luka mereka. Luka-luka itu akan sembuh beberapa hari lagi," ujar Jay.

Tok Tok Tok

Kami berempat menoleh menuju pintu asrama kami yang tertutup. Ada yang mengetuknya dari luar. Kami berempat saling tatap.

"Biar aku yang membukanya," aku bangkit berdiri.

Eh? Lagi dan lagi Kepala Asrama yang muncul di hadapanku. Belum ada seminggu kami memulai kuliah di tahun ajaran baru dan asrama kami sudah dikunjungi oleh Kepala Asrama sebanyak 2 kali.

"Aku hendak menyampaikan pesan dari Tuan Roberto. Kalian diminta untuk ke ruangannya sekarang."

Aku sebenarnya bingung, tapi aku memutuskan mengangguk. Aku berterimakasih. Kepala Asrama itu lantas pamit dan pergi.

Aku balik kanan.

"Ada apa, Jen?" tanya Jay.

"Kita diminta untuk ke ruangan Tun Roberto sekarang," jawabku.

"Eh? Kita disuruh menghadapnya lagi?" Kini Hugo yang bertanya.

"Aku juga tidak tahu untuk apa, Hugo. Ayo kita bersiap. Tidak sopan jika kita membuatnya menunggu lama," ucapku.

Rashad dan Jay menurut. Mereka tidak banyak bicara lagi. Hugo terlihat mendengus. Dia jelas masih kesal dengan insiden sebelumnya, tapi anak itu tetap mengikuti ucapanku, bersiap.

Kami pergi 5 menit kemudian.

***

Ruang kerja Kepala Culture Technology Academy adalah ruangan dengan sistem keamanan tertinggi di komplek kampus CTA. Ruangan itu berisi banyak dokumen-dokumen penting, juga barang-barang berharga lainnya. Letaknya ada di lantai 2. Ruangan mewah dengan lantai pualam dan lampu kristal yang menakjubkan.

Kejutan. Ada yang telah tiba lebih dulu di ruangan itu dari kami. 3 orang yang baru kutemui beberapa jam lalu. Mark, Cedric, dan Jill. Mereka menoleh melihat kedatangan rombongan kami. Wajah Hugo yang sebelumnya sudah biasa saja kembali kesal saat bertatapan dengan Cedric. Anak itu sepertinya masih dendam dengan mahasiswa baru itu.

"Kalian dipanggil juga oleh Tuan Roberto?" tanya Mark setelah aku duduk di sampingnya.

Aku menjawab singkat, iya.

5 menit berlalu dengan lengang. Tak ada percakapan yang tercipta di antara kami. 7 penghuninya saling diam membisu. Aku sesekali memperhatikan interior ruangan ini. Sesekali juga melirik ke arah Cedric dan Jill. Untuk pertama kalinya dalam jarak yang lebih dekat, aku bisa melihat dengan jelas wajah mereka.

Cedric adalah pemuda dengan model rambut poni belah tengah berwarna cokelat gelap. Kulitnya seputih susu. Tatapannya tajam dan bibirnya tebal. Sementara Jill di sampingnya, anak itu memiliki perawakan tinggi. Sekitar 180 cm. Rambut hitam, mata kecil, hidung mancung, dan rahang yang tegas. Bahu tegapnya yang lebar tersandar pada sandaran sofa.

Sebuah suara membuatku menoleh. Aku mendapati Tuan Roberto yang baru saja keluar dari ruangan lain yang ada di dalam ruang kerja ini. Mungkin itu ruang istirahatnya. Sosok tua itu menghampiri kami, menduduki kursi terpisah yang menjadi kursi favoritnya untuk duduk.

THE FIGHT SERIES | #1 ROOFTOP FIGHTWhere stories live. Discover now