Mama menangis selama berbulan-bulan. Aku sering melihatnya termenung di depan televisi, atau terisak seorang diri di dalam kamar dan juga murung tiap kali melakukan kegiatan yang mengingatkannya pada papa. Mama dulunya seorang ibu rumah tangga. Segala keperluan kami papa-lah yang mencukupi. Namun, kepergian papa jelas membuat mama harus memutar kehidupannya 180° dari sebelumnya. Asuransi yang ditinggalkan papa tak cukup untuk kami andalkan karena papa juga meninggalkan banyak hutang serta tagihan.
Mama membuka toserba di ujung jalan dengan uang yang tersisa. Setidaknya, dia harus bisa menghidupi kedua putrinya yang baru beranjak remaja sampai dewasa. Mama orang yang tidak suka mengeluh dan selalu berjuang keras sendiri. Tak ada keluarga lagi yang bisa dia mintai tolong. Kakek-nenek kami sudah lama meninggal.
"Kak Rila, liat nggak catokan rambutku di mana?" tanya Nila sambil mondar-mandir di sekitaran dapur mencari benda yang dia sebutkan.
"Nggak," sahutku. "Lagian mau ke sekolah aja pake acara ribet dicatok segala."
Nila tak menyahut. Menghilang ke dalam bilik kamar mandi yang letaknya tak jauh dari dapur. Tak sampai dua menit, dia kembali lagi dengan ekspresi keruh.
"Pasti ada di kamar Kakak," katanya.
"Gue nggak pernah make alat begituan." Aku memandangnya jengah. "Buru lo sarapan. Kalo lama gue tinggalin berangkat."
"Pergi aja duluan. Gue bisa berangkat bareng Sesil. Dia mau jemput hari ini."
"Ya, udah." Aku melanjutkan sarapanku sementara mama berjalan ke meja dapur.
Lelah mencari, Nila akhirnya bergabung ke meja makan untuk memakan nasi gorengnya dan ketika itulah mataku membelalak karena baru tersadar dengan penampilannya.
"Lo serius pergi sekolah kayak gitu?"
Nila mengangkat bahu. "Kenapa? Apa ada yang salah?"
Aku berdecak. Menatap gadis yang baru akan menginjak 16 tahun itu sambil mengelus dada. Bagaimana tidak? Lihat saja penampilannya yang sangat mencolok. Lupakan rambutnya yang masih berantakan, liptint merah menyala di bibir Nila menarik perhatianku. Lalu polesan eye shadow serta maskara tebal di kedua matanya. Oh, itu belum seberapa dengan seragam ketat dan rok abu-abu yang kuyakini 30 senti di atas lutut. Dan apa itu? Aku memicingkan mata melihat tindikan di area hidungnya. Sejak kapan Nila memasang piercing itu di wajahnya? Seingatku, aku baru melihatnya hari ini.
Dan pemandangan itu tidak bisa lagi menahan rasa mualku melihat penampilannya. Dia mau sekolah apa mau dangdutan, woi?!
"Oh, my God!" seruku padanya.
"What?" Nila balas mencebik sambil memutar bola mata.
"Lo serius mau ke sekolah kek gitu?"
"Mang kenapa?"
"Menor banget woi! Kek penyanyi dangdut."
"Dih, rese!"
"Kok rese? Emang kenyataan."
"Bisa nggak sih, Kak Rila tuh nggak usah peduliin gue!" tukas Nila sambil mendelikkan mata. Ia terlihat jengah. "Gue udah gede, Kak. Jangan kolot, please!"
"Tapi, yang bener aja. Masa lo mau sekolah penampilan lo begitu?" Aku balas melotot.
"Ya, suka-suka gue lah. Nggak ada urusan sama kakak!" Nila tak terima. Ia meraih ponsel dari saku seragam dan mengalihkan fokusnya pada benda segiempat itu, berusaha mengabaikanku.
Aku memperhatikan Nila selama beberapa saat. Menatap khawatir penampilannya yang begitu mencolok. Jujur, aku tidak ingin Nila jadi bahan olok-olok di sekolah. Sudah cukup semester kemarin aku mendengar gosip tak sedap tentangnya. Bagaimanapun, kami adalah saudara kandung.
YOU ARE READING
Freak Out
Mystery / Thriller(Mistery - Romance) Ariela Kinara tak sengaja menyaksikan kematian tragis seorang perempuan di suatu malam. Dia yakin perempuan malang yang jatuh dari atap gedung itu mati karena dibunuh, bukan bunuh diri seperti yang diduga polisi dan juga kebanyak...
| 1 | 🦋 The Introvert and Extrovert 🦋
Start from the beginning
