| 1 | 🦋 The Introvert and Extrovert 🦋

Start from the beginning
                                        

Kami kerap bertengkar karena hal-hal sepele. Ya, meski kami kakak adik dengan usia yang hampir sebaya, tapi itu tidak membuat kami akrab secara harfiah. Terlalu banyak perbedaan yang membatasi kami.

Anila adalah tipikal ekstrovert, spontanitas, dan ekspresif. Dia akan melakukan apapun yang disukainya, tak peduli itu merugikan orang lain atau tidak. Bagi Nila, hidup itu seperti air yang mengalir. Jalani saja apa adanya. Tak perlu memusingkan sesuatu yang bahkan belum terjadi. Sementara aku adalah kebalikan dari dirinya.

Aku cenderung introvert, idealis dan terbiasa disiplin. Aku benci segala hal yang berantakan dan tidak teratur. Bagiku, sikap yang seperti itu adalah kebiasaan yang bisa menghambat keberhasilan. Aku bahkan selalu menyiapkan jadwal terencana keseharian di buku jurnal pribadiku. Biasanya aku menuliskannya sebelum tidur mengenai hal-hal yang akan kulakukan besok atau mungkin sampai seminggu ke depan. Meski kadang-kadang ada yang tidak sesuai rencana, tetapi aku tetap melakukannya.

Kadang Nila sering mengatai sifatku yang terlalu kaku dan idealis. Yeah, memang begitulah. Tetapi, inilah caraku bertahan hidup selama 17 tahun. Aku ingin kehidupanku berjalan sesuai arah yang kuinginkan dan tentunya aku harus berusaha keras agar tidak mengacaukannya.

Selesai mandi, aku langsung bersiap memakai seragam dan bergegas ke ruang makan untuk sarapan.

Suara gaduh Nila sayup-sayup terdengar dari arah kamarnya. Sepertinya gadis itu sedang mencari sesuatu dan belum menemukannya.

Aku memutar bola mata sambil menarik kursi dan duduk di sana. Kebiasaan buruk itulah yang menyebabkan Nila sering terlambat ke sekolah. Kenapa sih dia tidak pernah menyiapkan keperluannya sendiri dengan benar?

"Si Nila kenapa lagi sih, Mah?" tanyaku pada Mama yang baru saja datang membawa sarapan untuk kedua putrinya.

"Kayak nggak tau aja kamu sama anak itu," jawab Mama. Meletakkan piring sarapan ke hadapanku dan juga seberang meja tempat Nila biasa duduk. "Oh ya, gimana sama tadi malam? Apa kamu masih mimpi buruk lagi?"

Pertanyaan Mama membuatku sedikit muram. Namun, aku hanya menggeleng. Tak ingin membuatnya khawatir. "Nggak kok, Mah. Aku udah jarang mimpiin cewek itu lagi."

"Yakin?" Mama menatapku lekat.

Aku hanya mengangguk seraya membuang pandang ke arah lain. Tanganku mengaduk-aduk nasi goreng di hadapan dengan perasaan bersalah. Aku tidak ingin membuat mama khawatir dengan mimpi buruk yang sering kualami. Sudah terlalu berat kehidupan dan beban yang harus dia tanggung atas diri kami.

Papa meninggal tepat setahun lalu. Tanpa ada pertanda apapun. Aku ingat persis bagaimana kami semua begitu syok menerima kabar kematiannya. Papa adalah sosok yang paling diandalkan dalam keluarga ini dan kepergiannya bagai keruntuhan dunia. Aku ingat terakhir kali ucapanku sebelum dia meninggal. Itu adalah saat di mana aku dan Nila sedang bertengkar hebat.

Kami saling berteriak dan saling memaki. Saling mengungkit kesalahan yang pernah dilakukan masing-masing di masa lalu. Papa menyuruhku untuk berhenti sekaligus mengalah pada Nila. Tapi, aku sudah terlanjur sakit hati dengan ucapan gadis itu. Jadi, aku melampiaskan kemarahanku pada papa. Lalu, berkata dengan nada keras kalau aku dilahirkan kembali, kuharap aku tak pernah menjadi bagian keluarga ini dan berharap tak punya adik kandung seperti Nila.

Sorenya, kami mendapat kabar dari kantor papa kalau papa sedang dibawa ke rumah sakit karena terkena serangan jantung mendadak saat sedang bekerja. Begitu kami sampai, papa sudah tak bernyawa dan aku nyaris pingsan saat itu.

Aku sangat menyesali ucapanku dan berandai-andai jika saja hari itu aku tak bertengkar dengan Nila serta tak mengucapkan kata-kata yang membuatnya kecewa dan terpukul, mungkin papa tak akan pergi meninggalkan kami. Bagaimanapun aku sangat menyesal. Setiap kali mengingat kejadian itu, hatiku seolah dihinggapi lubang besar dan tak ada sesuatu pun yang bisa menutupinya kembali.

Freak OutWhere stories live. Discover now