- Bab 4 -

486 27 2
                                    

Langit terang benderang, burung-burung terbang berkelompok, air danau bercahaya akibat pantulan sinar matahari. Suasana siang yang cerah. Berbeda dengan di dalam rumah sementara Axel. Suram. Pria itu berada di dapur dengan masih memakai pakaian kemarin malam. Wajahnya muram, kantong matanya terlihat menghitam dan rambutnya tidak beraturan. Kejadian di danau semalam membuatnya tidak bisa tidur. Kewarasannya mulai goyah lagi. Apakah itu mimpi atau memang nyata?

Kalau memang mimpi, Axel berpikir itu adalah mimpi terburuk selama hidupnya. Namun, bagaimana jika itu nyata? Mengapa ini terjadi kepada dirinya? 

Axel memegang pergelangan tangan kanannya. Ada bekas jiplakan jari-jari yang membiru. Wanita semalam memegangnya sangat kuat hingga menimbulkan luka memar. 

Ciuman semalam juga terasa sangat nyata, hingga saat itu Axel berusaha keras untuk lepas. Apakah wanita semalam sedang menolongnya? Apa yang wanita itu inginkan dari Axel? Apakah dia ingin memberitahukan sesuatu? Atau hanya sekadar menakuti Axel saja?

Axel memainkan kalung di atas meja sambil melamun. Kalung berwarna perak dengan sebuah liontin kecil dan kunci di ujungnya. Kalung yang semalam dia keluarkan dari tenggorokan. Suara dalam otak Axel tidak berhenti saling bersahutan dengan segala pertanyaan dan kemungkinan. Suara yang tidak mau berhenti sampai Axel mendapat jawaban agar dia tidak berpikir telah kehilangan akalnya. 

Selama ini, Axel adalah seseorang yang selalu berpikir rasional menganggap semua hal yang terjadi dapat dinalar. Namun, kejadian semalam membuatnya berpikir ulang mengenai prinsipnya itu. Axel tidak pernah percaya akan hantu, maupun peristiwa supranatural lainnya. Pria itu tidak pernah menyukai hal-hal semacam itu. Sesuatu yang tidak logis. Mustahil. Walaupun Axel berprofesi sebagai seorang novelis yang mengandalkan imajinasi untuk menulis, tetapi dia tidak sembarangan membuat cerita. Semua didasarkan pada riset yang selalu dia lakukan, jadi tidak mengada-ngada supaya nampak seperti kenyataan.

Hari semakin sore dan Axel sama sekali belum beranjak dari posisinya. Kepalanya mulai pusing. Matanya menjadi kemerahan akibat menahan rasa kantuk. Tidur baginya bukan menyelesaikan masalah. Apalagi kabur. Pria itu bisa saja meminta Reynald menjemput dan pergi sejauh-jauhnya dari rumah ini, tetapi kejadian-kejadian di rumah ini telah merasuki otaknya. Sesuatu pasti telah terjadi di rumah ini sehingga entitas gaib yang menghuni rumah ini sedang mengganggu Axel terus-menerus. Suara dalam kepala pria itu menyuruhnya untuk mencari tahu.

Hanya ada satu nama yang bisa Axel pikirkan. Agatha. Wanita itu yang pertama kali mengungkit masalah rumah ini dan tentang peristiwa pembunuhan masa lalu. 

Axel beranjak dari kursi, kemudian mengalungkan kalung kunci pada lehernya. Menyembunyikan di balik kaos oblong. Pria itu menyambar jaket pada gatungan, kemudian ke luar menuju pusat kota. 

Tidak butuh waktu lama sampai di kedai karena Axel berlari. Dia ingin segera mengetahui cerita lengkap mengenai rumah sementaranya. Sore itu kedai sangat ramai pengunjung. Axel melihat ke segala arah mencari sosok Agatha. Setelah memastikan orang yang dicari tidak ada, Axel menuju meja kasir.

"Saya mencari Agatha. Di mana dia?" tanya Axel tanpa basa-basi.

Pelayan yang berada di balik meja kasir tidak langsung menjawab, malah melihat Axel dari atas ke bawah, "Agatha baru saja pulang. Anda siapa?" 

"Saya Axel, teman Agatha. Bisa beri tahu di mana rumahnya? Saya ingin menemuinya," ujar Axel dengan nada tergesa-gesa.

Lagi-lagi pelayan itu diam, ada tatapan curiga dari sorot matanya, "Kalau anda teman Agatha, mengapa tidak tahu di mana rumahnya?"

Axel tersentak tidak tahu harus menjawab apa. Pertanyaan itu memang benar. "Saya temannya dari luar kota. Kami selama ini berkomunikasi lewat whatsapp dan telepon. Saya baru saja sampai di kota ini dan ingin memberinya kejutan." Alasan itu yang bisa Axel pikir dalam waktu singkat.

Rahasia Yang Terkubur [TAMAT~> terbit eBook]Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora