One And Only Love

2.3K 136 26
                                    

"Renjana yang bersarang melahirkan lara, mengekang langkah asmara."

*.*.*.

Selepas Arora dan Elvina pergi, Ethan memilih bermalas-malasan di sofa. Remot televisi ditekan tidak menentu olehnya. Layar lebar di depannya terus berganti gambar. Ia sedang dihadapkan pada pilihan yang sangat sulit, perasaannya atau egonya.

Hatinya kini bimbang antara Arora atau Elvina. Ia tidak tahu sejak kapan, tetapi benih yang ia anggap telah mati bersama waktu semakin menguat sejak kehadiran Arora lagi. Rasa sayang yang sering dianggapnya sebagai kasih antara sahabat, nyatanya merupakan cinta kuat yang tak lekang oleh waktu.

Ingatan Ethan melayang ke masa lalu. Kenangan-kenangan yang ia lalui bersama Arora seperti kilas balik yang ia tonton dalam benaknya.

Hari itu, saat Arora turun dari tangga rumahnya dengan gaun toska yang bagian bawahnya terbuat dari berlapis-lapis renda, rasa di hati Ethan yang awalnya samar menjadi jelas.

Langkah Arora malam itu pelan menuruni setiap anak tangga. Rambut cokelatnya yang ikal diikat sebagian di belakang dan yang lain dibiarkan terurai ke depan melewati pundaknya. Ethan terus menatap perempuan yang malam itu genap berusia tujuh belas tahun. Jantungnya berdetak kencang seakan siap melompat menembus rusuknya.

Kaki Ethan seperti tidak memijak begitu Arora langsung mengarah padanya. Perempuan itu tidak menyapa, hanya tersenyum.

Mata Ethan mengikuti Arora, mulai melihat betapa berbeda gadis yang lekuk tubuhnya mulai terbentuk. Bukan lagi anak kecil yang selalu berlari bersamanya. Bahwa rasa ingin menjaga adik kecilnya telah sirna berganti rasa ingin merangkul sebagai pasangan.

"Matanya biasa aja," cemooh Jojo yamg muncul tiba-tiba di belakang Ethan.

Tidak ingin dicurigai, Ethan menatap ke arah lain. Berdehem sekali, kemudian melangkah untuk meninggalkan Jojo. Namun, sahabatnya itu sudah seperti ekor yang terus mengikuti.

"Arora makin cantik aja," puji Jojo. "Kalau bukan teman, aku sudah pacari."

Riuh lagu selamat ulang tahun dinyanyikan oleh seluruh undangan yang merupakan teman sekolah Arora. Jojo dan Ethan ada di tempat terdepan. Berbeda dengan Jojo yang ikut bertepuk tangan sambil bernyanyi, Ethan terdiam menatap Arora yang tampak bahagia di samping ibunya.

Balon, bunga, dan pita yang menjadi dekorasi di ruang tengah rumah besar Arora tidak ada apa-apanya bagi Ethan. Pun tamu-tamu yang datang dengan gaya dan riasan yang cantik tidak mampu mengalihkan pandangannya. Dunianya seperti hanya berputar pada Arora.

Rasa sedih lalu membayangi Ethan begitu kesadaran datang. Gadis cantik itu hanya menganggapnya sebagai sahabat, tidak lebih.

*.*.*.

Angin berembus di atas pohon akasia yang ada di depan perpustakaan. Ethan baru saja meminjam buku dan memilih untuk membacanya di bawah pohon. Langit siang itu mendung, hingga tidak silau oleh cahaya matahari.

Alih-alih membaca, Ethan terhanyut dalam lamunannya. Perasaannya pada Arora kian hari makin menakutkan. Ia bahkan tidak bisa berada di dekat gadis itu tanpa melekatkan tatapan. Ia khawatir jika Arora tahu tentang perasaannya, gadis itu akan menjauh. Tidak. Ethan tidak mau berpisah.

"Woii!" teriak Jojo tepat di samping telinga Ethan, membuat yang diteriaki terlonjak kaget. "Dasar tukang melamun!"

Ethan tidak merespon. Ia mengembuskan napas kasar. "Jo, kamu tau caranya melupakan seorang gadis?" tanyanya lemah.

Meski bingung karena pertanyaan Ethan, Jojo menjawab, "Mudah, tinggal cari cewek lain."

"Seperti pelampiasan?"

Jojo mengangguk dan menganalogikan bahwa saat ingin berpindah harus ada tempat pindah yang dipersiapkan. Cinta pun seperti itu menurut Jojo.

Tidak ada cara lain bagi Ethan. Ia harus menemukan pelampiasan seperti ide Jojo. Selain itu, jika ia memiliki kekasih, maka ia juga bisa mengikis perasaannya pada Arora.

*.*.*.

Ethan berpindah dari sofa ke kamarnya. Ia berbaring sambil menatap bantal yang semalam sudah digunakan Arora. Ia tersenyum, lalu mengarahkan tatapan pada cincin yang melingkar di jari manisnya.

Janji setia yang dulu ia ucapkan masih terngiang. Janji yang sempat ia akui sebagai kebohongan, tetapi jauh di relung hatinya, semua yang ia ucapkan adalah ketulusan. Perempuan yang ia cintai sejak remaja telah ia nikahi. Namun, saran bodoh Jojo dulu kini menjebaknya. Kalau saja tahu akhirnya takdir membawa Arora padanya. Tidak akan pernah ada Elvina. Perjanjian yang tidak ia inginkan tak mungkin terucap.

Ia tidak ingin melepas Arora, tetapi tidak tega melukai Elvina. Kehadiran Elvina saat Arora pergi ke Rusia bisa membantu Ethan untuk menyembuhkan luka hatinya. Akan sangat jahat jika ia langsung melepaskan kekasihnya itu begitu saja.

Sekitar satu jam, Ethan berbaring hingga akhirnya terlelap. Ia memang mengantuk sejak pagi tadi. Tidurnya sangat pulas, hingga cahaya matahari yang menyirami wajahnya tidak mengganggu.

Kalau saja tidak dibangunkan oleh Arora, Ethan mungkin akan lanjut tertidur hingga sore. Ia mengucek matanya. Arora berdiri di depannya dengan celemek yang masih terpasang.

"Kamu belum mandi, ya?" Arora bertanya karena melihat piyama yang terpasang di badan Ethan masih sama dengan semalam.

"Aku ketiduran," jawab Ethan dengan suara parau.

"Aku udah siapin makan siang. Mending kamu mandi, lalu kita makan bareng."

Ethan terdiam. Lagi, dia terperanjat oleh setiap kata yang Arora ucapkan.

"Ayo, cepat! Kenapa malah diam?"

Perasaan yang kini Ethan rasakan mengembang lagi dan lagi. Ia beringsut turun dari ranjang, mendekat pada Arora. Tangannya langsung melingkar di tubuh perempuan itu. Ia merasa seperti suami-istri sesungguhnya saat berdua seperti itu.

Mata Ethan terpejam. Aroma manis menguar dari cekungan leher Arora. Mungkin aroma parfum atau memang berasal dari tubuh perempuan itu.

Arora awalnya hanya diam. Ia merasa seperti dalam mimpi karena mendapat pelukan secara tiba-tiba dari Ethan. Beberapa detik setelahnya, tangannya terangkat sedikit demi sedikit menuju punggung lelaki yang memeluknya. Menempel lama di sana. Ia sudah lupa pada masakan yang masih ada di atas kompor.

Pasangan yang saling memeluk itu seakan lupa waktu. Mereka mengungkapkan perasaan melalui deru napas yang memberat. Saling merasakan dengan mata terpejam. Namun, bodohnya tetap membiarkan kata cinta bersembunyi di bawah lidah.

Dalam hati, Ethan merutuk diri sendiri. Ia seharusnya bisa lebih berani. Namun, bayangan tahun-tahun di mana Arora tidak di sampingnya selalu berhasil menciutkan nyalinya. Tidak apa jika mereka hanya memeluk seperti sekarang, asalkan Arora ada di sampingnya.

Setali tiga uang dengan Arora, perempuan itu juga tidak mempermasalahkan nama hubungan mereka. Selalu bersama seperti sekarang sudah sangat membahagiakan.

"Aku merasa kita benar-benar suami istri saat pelukan begini," lirih Ethan. Ia mengeratkan peluk, tidak rela jika harus melepas perempuan yang ia cintai itu.

"Kita memang suami istri, kan?"

"Ya, kita suami istri."

Pintu kamar yang terbuka dan panci yang mulai gosong membuat hidung kedua orang di kamar itu mencium bau hangus. Mata Arora yang sedang terpejam langsung membelalak.

"Astaga, pastaku!" pekik Arora, menghempas pelukan Ethan.

Dada Ethan yang didorong oleh Arora secara tiba-tiba, sakit. Ia meringis pelan, sebelum ikut keluar melihat dapur yang aroma karbonnya semakin menguat.

*.*.*.

Ending di sini dulu, ya 🤭🤭🙏

The Antagonist  (Completed) Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz