Call Me Crazy

2.8K 208 6
                                    

"Jika bisa meminta, aku ingin Tuhan menjadikanku angin. Dengan begitu, aku bisa leluasa kau hirup."

*.*.*.

Ethan berjalan menuju jendela yang berupa kaca besar, disangga oleh tembok yang pendek. Tirai putih tipis ditarik olehnya, hingga tampak gedung-gedung apartemen dan hotel yang tinggal berdampingan dengan gedung apartemen yang ditempati oleh Arora.

Meski sering liburan, Ethan belum pernah ke St. Petersburg. Ini pertama kalinya, padahal Arora sudah lebih dari dua tahun di kota paling Utara itu. Saat Arora masih di Moskow, ia pernah berkunjung sekali. Itu pun, ia tidak sempat menghabiskan waktu bersama, karena Arora sedang sibuk latihan untuk olimpiade.

Ia berdiri lama di sana, membiarkan berkas cahaya menyilaukan pandangannya. Dalam hati, ia masih bertanya-tanya tentang sikap Arora yang sepertinya berubah. Perempuan itu menjadi pendiam dan terkesan dingin. Seperi tadi, saat ia menjemput Arora setelah latihan, perempuan itu hanya tersenyum, sesekali mengiyakan semua rencana Ethan.

Suara pintu yang terbuka membuat Ethan berbalik. Arora dengan senyum-- yang entah kenapa bagi Ethan tampak getir--berdiri.

"Kamu baik-baik saja?" Ethan meraih jemari Arora saat mereka di dalam taksi. Ia langsung mengangguk pelan setelah mendapat gelengan dari Arora.

Ia tahu Arora berbohong. Mereka sudah saling mengenal sejak usia tiga tahun. Selama 15 tahun mereka seakan selalu bersama tiap detik. Ia mengenal baik Arora, adik kecil yang sejak dulu ingin ia jaga dengan sepenuh hati.

"Aku selalu suka bangunan istana Eropa. Waktu di Perancis, aku sama Elvina ke Versailles. Tapi, ternyata di sini lebih cantik," puji Ethan, menggandeng Arora melewati salah satu patung perempuan. Ia berhenti, lalu tertawa menatap patung itu. Kepalanya mundur, condong ke arah telinga Arora. "Bayangin kalo patung ini di Jakarta, rame pasti."

Arora menatap patung perempuan tanpa busana yang dikelilingi air pancur. Ia lalu melirik Ethan yang terus tertawa. Tawa yang ingin didengar oleh Arora setiap saat. Namun, mengapa hatinya sakit tiap kali mendengarnya. Seperti bayangan Elvina terus menghantui.

Melihat Arora yang tidak merespon, Ethan semakin yakin bahwa terjadi sesuatu pada sahabatnya. Perempuan itu dulu selalu menimpali  tiap candaannya.

"Kamu tau maksud patung-patung ini?" Ethan terus bertanya, berharap Arora akan menjawab. Lagi, ia hanya mendapatkan gelengan sebagai jawaban.

Mereka kini berdiri di teras kastil yang di depannya ada aliran berupa kanal yang indah. Terdapat air pancur yang tinggi tepat di area yang melingkar. Rumput dan pepohonan hijau di samping kanal menambah keindahan. Di setiap sisi teras ditempati patung emas berderet dari atas ke bawah didesain seperti tangga. Tepat di samping setiap patung ada air pancur.

Ethan menunjuk ke arah patung emas berupa dua lelaki yang duduk di atas batu dilingkari naga, lalu menyuruh Elvina, "Sepertinya foto pre-wed di tangga itu sangat cantik. Cepat berdiri di sana, aku mau foto!"

Arora mendekat pada patung itu. Ia bergerak sesuai perintah Ethan. Berdiri di tengah-tengah, tepat di depan air pancur. Tersenyum begitu Ethan meminta.

"Cantik sekali," puji Ethan, menatap layar ponselnya. "Elvina pasti mau kalau pre-wed kami di sini."

Elvina lagi. Arora tidak menyukai nama itu, terlebih orangnya. Perempuan yang datang tiba-tiba merebut milik Arora yang berharga.

"Ka-kalian akan menikah?" Arora akhirnya bersuara.

Ethan merangkul Arora. Tersenyum sambil menyandarkan kepala di kepala Arora. Ia mengambil gambar dengan senyum, meski perempuan di sampingnya memasang wajah kaget.

Setelah memasukkan ponsel di saku, Ethan menjawab, "Ya, aku dan Elvina sudah berencana untuk menikah. Tapi, Mama belum merestui kami. Aku tidak tau kenapa Mama tidak suka Elvina, padahal dia bisa jadi istri dan ibu yang baik, aku yakin."

Sesak itu datang lagi, menyerang Arora seakan tiada henti. Padahal, ia juga bisa jadi istri dan ibu yang baik jika itu yang Ethan inginkan. Arora memiliki semua yang dimiliki Elvina. Jadi, kenapa di hati Ethan hanya ada Elvina?

Arora melangkah menjauh dari Ethan. Tangannya berpegang pada pagar tembok pendek. Bahunya tampak turun-naik cepat. Seperti ada yang menahan saluran napasnya.

"Arora," lirih Ethan, meletakkan satu tangan di pundak Arora. "Kamu baik-baik saja?"

Tidak tahan lagi, Arora menggeleng-geleng dengan air mata yang mulai menetes. Ia berbalik, melingkarkan kedua tangannya di pinggang Ethan. Kepalanya pun disandarkan di dada kiri lelaki itu. Bisa ia dengarkan detakan jantung Ethan. Kalau saja detakan itu untuknya, ia rela menukar segalanya.

"Ada apa?" tanya Ethan mulai mengusap rambut Arora.

Arora diam lagi. Ia mengeratkan pelukannya. Sebentar saja, ia ingin mendengar detakan jantung Ethan. Berharap ada namanya yang terselip antara detakan itu. Tentu saja mustahil. Di dunia Ethan, hanya ada Elvina.

"Jangan buat aku khawatir begini, Arora!" Ethan menangkup dagu Arora, menatap perempuan yang masih menangis itu. "Kamu bisa bilang sama aku."

Arora menggigit bibir bawahnya. Sekuat tenaga menahan isakan agar tidak lolos. Ia lalu mendongak. Matanya bertemu dengan mata lelaki yang sangat ia cintai. Bagaimana ia bisa melupakan Ethan, kalau semakin ia mencoba menjauh, rasa itu semakin kuat.

"Aku capek, capek banget," keluh Arora. Isakan yang dari tadi ia tahan, keluar begitu saja. Kepalanya menabrak dada Ethan begitu lelaki yang tadi meletakkan kedua tangan di wajah Arora berpindah di pundak perempuan itu.

"Aku mau berhenti, tapi tidak bisa. Aku mau lanjut, tapi semua mustahil, Ethan. Aku tidak mungkin meraihnya," keluh Arora lagi.

Ethan tidak tahu maksud Arora. Namun, ia mencoba menebak bahwa hal yang dikeluhkan oleh Arora ada hubungannya dengan olimpiade balet yang akan diikutinya.

"Aku yakin kamu bisa. Arora yang aku kenal sangat kuat. Kamu hanya tinggal terus memanjat sampai keinginanmu itu terwujud," hibur Ethan.

"Bagaimana kalau aku terjatuh?"

"Ada aku," tutur Ethan yakin. Ia melanjutkan, " Apapun yang terjadi, aku akan selalu ada di belakang untuk menahan agar kamu tidak jatuh."

"Apa pun yang terjadi?"

"Ya, apa pun."

Arora tahu bahwa Ethan tidak akan pernah berada di belakangnya. Lelaki itu selalu ada di depan. Ia akan terus berlari kalau itu mau Ethan. Jika terjatuh nanti, ia harap Ethan benar-benar sudah ada di belakangnya.

*.*.*.

Arora sudah ada di apartemennya. Ia menatap gambar di ponselnya. Gambar itu diambil oleh Ethan melalui ponsel Arora di restoran kemarin. Tampak Elvina, Ethan dan Arora sendiri yang tersenyum.

Setelah berpikir beberapa menit, Arora memosting gambar itu di salah satu medianya. Ia memberi keterangan di gambar berupa ucapan terima kasih pada Elvina dan Ethan yang sudah mengunjunginya. Ia juga berdoa agar hubungan Ethan dan Elvina langgeng dan segera menjadi pasangan suami-istri.

Seringai kecil muncul di wajah Arora. Mengapa harus menjadi Odette yang malang, jika ia bisa menjadi Odile untuk menguasai sang Pangeran.

Ia penasaran, kira-kira bagaimana reaksi Tista--ibu Ethan--melihat gambar itu?

Arora menjatuhkan tubuhnya kasar di ranjang. Sempat terpental sebentar berkat ranjang yang empuk. Tawanya memenuhi kamar itu. Ethan miliknya, hanya miliknya.

The Antagonist  (Completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang