Part Of My Plan

2.5K 159 5
                                    

"Kamu berada di seberang sana, jauh dari sentuhku. Namun, izinkan namamu berada selalu di sisiku."

*.*.*.

'Arora Gunawan, pebalet berdarah Indonesia-Jerman menyatakan pensiun dari balet.'

Begitu judul artikel online yang ditangkap layar oleh salah satu akun infotainment. Mata Ethan membesar saat membacanya. Seminggu yang lalu ia bertemu dengan Arora, dan perempuan itu tidak berkata apa-apa.

Teringat olehnya perkataan Arora saat dalam pelukannya. Ia mengaku capek, mungkin ini yang dimaksud oleh perempuan itu. Ethan ingin menghubungi Arora. Sialnya, sejak ia pulang dari Rusia, nomor Arora tidak bisa dihubungi. Padahal, ia ingin berbicara dengan perempuan itu mengenai foto yang Arora posting.

Ethan berjalan di depan pintu ruangan kerjanya. Ia mondar-mandir sambil menempelkan ponsel di telinga kanan. Jojo mungkin saja punya cara untuk menghubungi Arora, mengingat Arora beberapa tahun terakhir lebih dekat dengan Jojo daripada dirinya.

Kadang Ethan iri melihat Jojo yang sering bertemu dan berkomunikasi dengan Arora. Padahal, sebelum ke Rusia, Arora lebih lengket padanya lebih dari siapa pun. Ia jadi curiga kedua sahabatnya itu menyembunyikan sesuatu.

Sama saja, Jojo tidak mengangkat teleponnya. Ia menghubungi Arora lagi. Masih sama, ia dialihkan ke operator. Ia teralihkan oleh pintu ruangan yang terbuka, tampak perempuan yang lebih tua darinya masuk. Itu ibunya.

Ia mundur, lalu berjalan menuju sofa yang tersedia di ruangan itu. Lalu menyapa perempuan yang sepertinya tidak senang. Foto yang di-posting oleh Arora teringat olehnya.

"Kamu tidak punya telinga?" Ibunya membentak.

Sungguh, Ethan lelah mendengar omelan Tita, ibunya. Namun, ia masih menghormati perempuan yang melahirkannya itu.

"Kenapa kamu masih berhubungan dengan Elvina?"

"Ma, Elvina itu baik, kenapa Mama gak coba kenal dia lebih dulu?" pinta Ethan, suaranya pelan agar tidak terkesan melawan.

Tita tidak mau mengerti. Ia mengaku merasa dikhianati oleh Ethan. Ia sungguh tidak menyangka anaknya masih menemui Elvina di belakangnya. Padahal, sudah sejak awal bertemu, Tita sudah menekankan ketidaksukaannya pada perempuan itu. Ia tidak sudi jika harus berbesan dengan keluarga mafia.

"Lihat, kalau dia memang baik, dia tidak akan tetap menemuimu," tekan Tita. "Ini terakhir kalinya, Mama ingatin kamu. Tinggalkan perempuan itu!"

Ethan terdiam. Ia hanya menatap lantai lama. Isi kepalanya seakan penuh dan sebentar lagi pecah. Ia mencintai Elvina, hingga tidak mungkin bisa meninggalkannya. Di lain sisi, ia juga tidak mau mengecewakan ibunya. Namun, bagaimanapun, ia adalah seorang lelaki yang harus menentukan pilihan.

"Maaf, Ma, aku gak bisa ninggalin Elvina. Aku udah coba, tapi gak bisa. Aku cinta sama dia," bantah Ethan.

Geram, Tita mengepal. Giginya menggigit keras. Ia tidak habis pikir pada Ethan. Di luar sana banyak perempuan yang lebih baik dari Elvina. Untuk apa bertahan bertahun-tahun, sementara ia tahu bahwa Tita tidak akan pernah memberi restu.

"Jadi, kamu mau menikahi perempuan itu?" geram Tita, dijawab anggukan oleh Ethan. "Silakan, tapi hanya setelah Mama mati. Berdoa saja agar Mama cepat mati, jadi kamu bisa segera menikah." Itu kalimat terakhir yang Tita ucapkan pada Ethan, sebelum perempuan itu berjalan untuk keluar.

Ethan tadinya hendak menahan ibunya. Namun, mendengar pintu yang dibanting menahannya. Ibunya sedang marah besar. Ia tidak mau semakin memperkeruh keadaan.

Belum selesai masalah Arora, muncul lagi masalah lain. Ethan mendesah kasar. Ia menjatuhkan diri di sofa. Kalau dipikir-pikir, bukankah semua masalah itu bersumber dari Arora.

"Halo." Suara Ethan lemah saat menerima telepon. Tubuhnya yang terbaring di sofa, tampak lemas, seketika bangkit mendengar suara Arora. Ia menatap layar ponsel, tertera nama Jojo.

"Kamu bersama Jojo?" tanya Ethan, memastikan. Ia melanjutkan setelah mendapat jawaban, "Aku sudah baca artikelnya. Kamu baik-baik saja, kan?"

"Ya, aku baik-baik saja. Kamu mau bicara sama Jojo?"

"Tidak, aku mau bicara sama kamu. Nomormu tidak aktif satu minggu ini, aku khawatir."

"Aku fokus untuk olimpiade, jadi ponsel tidak diaktifkan," sebut Arora.

Ethan setidaknya bisa sedikit lega, meski belum tahu alasan Arora mundur dari dunia balet. Seingatnya, Arora sangat mencintai balet. Itulah alasannya belajar hingga Rusia. Kini, saat karirnya sedang menanjak, ia justru mundur. Tidak mungkin Arora baik-baik saja. Namun, ia pun tidak mau memaksa perempuan itu untuk bicara. Saat siap, Arora pasti akan menceritakan segala hal padanya, seperti saat mereka kecil dulu.

*.*.*.

"Kenapa, Ra? Kamu sudah gila!" pekik Jojo, tidak terima dengan keputusan Arora.

Lelaki itu masih berada di Milan, saat Arora akan tampil di Olimpiade Moskow. Ia awalnya hanya datang untuk memberi semangat. Saat mendengar pernyataan Arora yang akan mundur dari balet, ia meradang.  Hal yang membuat ia semakin emosi adalah alasan di balik keputusan Arora--Ethan.

"Ethan bilang aku harus berlari mengejar impianku," tutur Arora.

"Lalu, kenapa kamu berhenti!" Jojo yang sedang berdiri, berkacak pinggang.

"Aku tidak berhenti. Hanya saja, aku baru sadar kalau selama ini, aku salah arah. Bukan balet yang aku inginkan, tapi Ethan."

Jojo mengacak rambutnya berkali-kali. Selalu saja Ethan, seperti tidak ada ala lelaki lain saja. Ia yakin jika Arora hanya butuh lelaki, bukan hanya satu, puluhan bahkan ratusan lelaki mungkin bersedia menjadi miliknya. Hanya seorang Ethan, tidak ada yang istimewa dari lelaki dingin itu.

Lelaki yang berdiri itu mendekat pada Arora yang sedang duduk di sofa. Ikut duduk lalu merangkul perempuan di sampingnya. Ia tidak pernah melihat perempuan sebodoh Arora. Tidak pernah melihat perempuan menyedihkan seperti Arora. Jika ia jadi Arora, tinggal katakan saja pada Ethan. Diterima atau tidak, asalkan perasaan terpendamnya sudah diungkapkan. Setidaknya, Arora bisa terlepas dari cinta tidak berguna itu. Mungkin karena ia adalah seorang lelaki, hingga tidak mengerti. Atau bisa jadi karena ia tidak tahu rasanya jatuh cinta.

"Kamu yakin dengan pilihan kamu?"

Arora mengangguk. Ia berkata bahwa semua sudah ia pikirkan sangat matang. Olimpiade kali ini akan menjadi panggung terakhirnya dalam dunia balet. Ia akan pulang ke Jakarta, membuka studio balet. Ia tidak mungkin meninggalkan hobi dan cinta keduanya.

"Apa dengan kembali ke Jakarta, bisa membuat Ethan menjadi milik kamu. Dia sepertinya tidak bisa meninggalkan Elvina."

"Aku tidak akan tau kalau belum mencoba. Menang olimpiade bagi Arora kecil terdengar mustahil, tapi lihat, aku bisa menang olimpiade karena usaha dan kerja keras."

Jojo mengusap puncak kepala Arora. Ia tidak tahu cara membuat Arora mengerti bahwa kadang usaha dan kerja keras tidak cukup. Ada beberapa hal yang sudah tertulis--yang bahkan orang yang meragukan takdir sepertinya--percaya bahwa hal yang memang tidak digariskan bersama, tidak mungkin bersatu. Namun, tidak ada salahnya mencoba, siapa yang tahu arah jalannya. Orang yang tidak jalan searah pun bisa saja bertemu di persimpangan.

"Mama kamu sudah tau?"

Arora mengangguk lagi. Ia sudah menghubungi ibunya setelah pengumuman. Adeline--ibunya--awalnya tidak setuju. Setelah Arora menjelaskan bahwa ia tidak bahagia dan tertekan; merasa tidak hidup sama sekali, barulah Adeline mengerti. Selain itu, Arora tahu bahwa apapun pilihannya, ibunya akan selalu mendukung.

"Kamu akan membantuku, kan?" Arora sudah menyusun rencana, dan untuk mewujudkannya, ia memerlukan bantuan dari Jojo.

"Tentu saja, aku sudah bilang akan melakukan apa saja agar kamu senang."

Arora tersenyum. Tangannya beringsut melingkar di pinggang Jojo. Semua akan baik-baik saja sekarang. Ia memiliki Jojo di pihaknya.

*.*.*.

The Antagonist  (Completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang