Bab 5. Ke Kampus

10 1 0
                                    

“Ya sudah, buruan, Mas. Eh, tapi si pitung ini masih oke,
kan, dibawa lari jarak jauh dan cepat?” tanya Rasti.

Dia menelusuri ‘tubuh’ motor tua di depannya.

“Ish, jangan meremehkan pitung. Dia ini tua, tapi bertenaga. Nggak kalah sama ninjaku yang di rumah, hehehe,” kekeh Rama.

Dia mengulurkan helm putih ke Rasti. Motor merah itu pun melaju, meninggalkan keasrian desa mereka, menuju ke kota besar. Jarak yang ditempuh lumayan jauh, bisa memakan waktu hingga dua jam lebih. Rasti sebenarnya tidak
enak telah memaksa Rama untuk menemaninya.

Namun, dia tidak tahu lagi harus meminta tolong kepada siapa.
Sahabatnya kebanyakan cewek dan tidak ada yang berpengalaman pergi ke kota. Akhirnya, Ramalah satu-satunya pilihan terbaik.

Walau Rama belum pernah ke kampus, tetapi dia sering ke kota.
Gadis mungil itu merasa aman bersamanya. Ayah Rasti kebetulan
tidak bisa mengantar karena motornya sering rewel jika diajak jalan jauh. Gadis itu membandingkan dengan motor Rama, sama-sama
tua, tetapi beda performa.

Tadinya, Rasti berharap akan diantar dengan ninja hijau yang sering dipakai Rama. Namun, saat ini yang terpenting adalah dia bisa sampai di kampus tepat waktu dan menyerahkan berkasnya secara
lengkap. Gadis itu menyesal tidak membaca pengumuman dengan
cermat.

Sepanjang perjalanan mereka mengobrol seperlunya saja. Rasti
terus berdoa semoga semua urusan hari ini dipermudah. Mereka
berhenti satu kali untuk mengisi bensin dan membeli air mineral,
kemudian lanjut lagi hingga akhirnya tiba di tempat tujuan.

Suasana kampus negeri ternama di kota terbesar di Jawa Tengah itu, kini tengah ramai. Lalu lalang mahasiswa, membuat kesan sibuk semakin kentara. Padahal, ini belum semuanya. Yang datang hanyalah calon mahasiswa baru dari jalur prestasi. Rasti salah satunya.

Rasti yang diantar Rama, tiba ketika matahari sudah hampir mencapai puncaknya. Gadis manis itu bergegas mencari tempat yang tercantum dalam undangan. Ditemani Rama, mereka berjalan dari satu gedung ke gedung yang lain.

Kedua sejoli itu tak kenal lelah. Maklum, ini pertama kali mereka memasuki kampus sebesar itu. Beberapa kali Rasti harus mengecek tempat yang dia tuju. Rama sempat mengusulkan untuk menelepon pihak kampus yang mengurus dan bertanya tentang lokasi tepatnya.

Namun, usulan itu ditolak Rasti. Tadi dia sudah mencoba dan hasilnya nihil, tidak ada yang mengangkat telepon. Dia lebih suka bertanya langsung ke orang-orang di sini. Walaupun sebagian besar mereka juga calon mahasiswa seperti Rasti, beberapa bisa menunjukkan jalan dengan tepat.

Rama mengalah, dia setia menemani ke mana kaki Rasti melangkah.
Rasti berjalan sambil memperhatikan sekeliling. Dia memasang mata dan telinga dengan baik, tidak ingin melewatkan satu hal pun yang dianggapnya penting. Dia bagai berjalan di tengah orang asing,
walau mungkin beberapa dari mereka adalah calon teman sekelasnya.

Tak ada yang dikenal Rasti di sini. Semuanya orang baru. Di desa asalnya, belum ada yang bisa kuliah di kampus ini selain Rasti. Ada rasa sesak dan bangga menyelinap bersamaan. Sesak, mengingat bagaimana teman-temannya juga ingin kuliah, tetapi tidak mendapatkan izin orang tua.

Namun, dia pun bangga karena mampu berdiri di sini sekarang.
Impiannya terpampang di depan mata. Menjadi anak kuliahan yang keren dan kelak menjadi sarjana. Semua tak akan terwujud bila dia tidak menerima perjodohan dengan Rama.

Rasti melirik pemuda berkulit tembaga itu, yang berjalan di sampingnya dengan tangan dimasukkan ke saku celana.
Rama menoleh, merasa diperhatikan. Pandangannya bertemu dengan manik hitam Rasti. Dia tersenyum, seolah berkata semua akan baik-baik saja. Rasti membalas senyumnya.

“Terima kasih,” lirih Rasti.

“Untuk apa?” Rama menautkan kedua alis tebalnya.

“Semuanya,” pungkas Rasti. Matanya kembali fokus menyisir tempat di sekitar mereka. Rama hanya mengedikkan bahu.

Setelah beberapa menit berkeliling, akhirnya mereka tiba di gedung fakultas teknik informatika, tujuan Rasti. Senyum gadis itu terkembang sempurna, begitu dia selesai mengumpulkan berkas.

Kini, mereka sedang mengantre untuk proses berikutnya. Rasti
menyuruh Rama menunggu di teras.

“Mas Rama, makasih, ya. Berkat Mas aku bisa daftar ulang tepat waktu,” ucap Rasti sungguh-sungguh.

Rama tersenyum sebelum menjawab, “Sama-sama. Makanya jangan sungkan sama aku. Sebagai seorang calon suami, aku sudah bertekad akan memenuhi segala keinginanmu, mulai malam itu.”

Malam yang dimaksud Rama adalah malam perjodohan mereka. Rasti mengangguk sambil tersenyum kecil. Dia mengeluarkan telepon selulernya, sedetik kemudian Rasti asyik
berselancar di dunia maya.

Merasa diabaikan, Rama memindai
keadaan di sekeliling mereka. Dia mencari tempat kosong untuk
duduk.

Antreannya tidak panjang, tetapi padat. Para calon mahasiswa
datang dari berbagai daerah. Ada yang berbicara dengan logat Melayu, Batak, mungkin mereka dari daerah Sumatera dan sekitarnya.

Ada pula yang berlogat Sunda dan beberapa daerah lainnya. Sebentar lagi, Rasti akan menjadi bagian dari kampus ini, berbaur dengan banyak orang. Bukan tidak mungkin, Rasti akan bertemu seseorang.

Memikirkan hal itu, membuat hati Rama sedikit memanas. Pemuda itu berusaha menepis pikiran yang mengganggu.

Dia sudah memutuskan akan mendukung Rasti. Kini, saatnya dia
harus percaya pada gadis itu.
Sekelompok pemuda berjalan melewatinya. Masing-masing
membawa ransel dan buku. Terlihat keren di mata Rama, apalagi dia
juga melihat tatapan kagum dari para gadis yang ikut mengantre di
depan Rasti. Rama lega, setidaknya Rasti terlihat tidak peduli.

Pemuda gagah itu termenung. Ada sebersit sesal yang menyelusup ke dada, kenapa dahulu dia tidak melanjutkan pendidikan dan bangga hanya dengan ijazah SMK. Rama menghela napas panjang berkali-kali.

“Mas Rama, kita cari makan dulu, yuk. Laper, nih.” Rasti
mencolek lengannya, mengembalikan Rama ke alam sadar.

“Loh, antreanmu gimana, dong?”

“Tidak apa-apa. Kan aku sudah bawa nomornya. Lagipula, ini waktu istirahat. Tuh, lihat. Pas banget sebelum nomorku dipanggil,
mereka tutup. Ya sudah, kita juga. Yuk,” ajak Rasti. Dia menarik
tangan Rama untuk berdiri.

Mereka berjalan keluar kampus, mencari warung makan untuk
mengganjal perut yang lapar. Di sepanjang jalan besar itu, banyak
warung yang penuh. Jam makan siang, ditambah ada acara, membuat semua orang menyerbu warung makan di sekitar kampus besar. Terpaksa mereka kembali harus mengantre, kali ini untuk makan.

Mereka menemukan dua kursi kosong di salah satu warung
penyetan. Rasti mengajak Rama ke warung yang saat ini penuh
dengan para pemuda. Gadis itu terlihat biasa saja, padahal hanya dia satu-satunya wanita. Rama awalnya keberatan, tak mau Rasti jadi pusat perhatian.

“Mas Rama mau cari ke mana lagi? Semua warung penuh. Aku
harus cepat karena setelah waktu istirahat usai, nomorku yang akan
dipanggil duluan. Di sini aja, ya?” pinta Rasti, yang dijawab dengan
anggukan.

Rama terpaksa menurut karena apa yang dibilang Rasti memang benar. Mereka harus cepat. Mereka pun makan di warung itu, menghabiskan waktu setengah jam lebih. Kemudian mereka bergegas kembali ke kampus, berjalan perlahan karena perut yang kenyang.

Aktivitas masih tampak ramai, walau masih di jam istirahat. Hilir mudik orang dan motor di sepanjang jalan, membuat Rasti bersemangat.
Sebentar lagi, dia akan menjadi bagian kampus ini. Melakukan
apa pun yang biasa dilakukan seorang mahasiswa. Banyak hal yang sudah dia rencanakan di kepala.

Tepat jam dua siang, urusan Rasti selesai. Rama yang selalu menemani, tak menampakkan wajah lelah sedikit pun, tetapi dia terlihat khawatir.
Rama belum bisa mengenyahkan kegelisahannya sendiri.

Melihat kampus seluas ini, pasti ada banyak orang yang lebih pintar,
lebih kaya, lebih tampan, dan lebih segalanya dari Rama.

Pemuda itu merasa tidak aman dengan posisinya sekarang.
Walaupun Rasti sudah setuju dengan perjodohan ini, tetapi dia belum mengungkapkan perasaannya. Bisa saja, selama ini Rama hanya bertepuk sebelah tangan. Memikirkan hal tersebut membuat pemuda beralis tebal itu menggeleng kuat-kuat.

================================

Nah, loh, Rama jadi insecure, kan.

WHITE LILYWhere stories live. Discover now