Bab 2. Galau

29 5 0
                                    

Rasti permisi ke belakang, hendak mengambilkan hidangan
makan malam. Tak lama berselang, Rama mengekorinya.

Mereka tiba di dapur yang tidak begitu besar, tetapi bersih. Tangan
Rasti cekatan menata penganan.

“Eh, Mas Rama. Kenapa malah nyusul ke sini?”

“Aku mau bantuin kamu. Boleh?”

“Boleh, dong. Ini, tolong bawakan. Sama ini, ini, dan ini.”

Rasti memindahkan beberapa piring dan wadah makanan dari meja
ke nampan dengan cepat. Rama melongo.

“Hei, hei ... ini kebanyakan. Kamu mau ngerjain aku, ya?”

“Salah sendiri nyusul ke sini. Jadi enak, kan, akunya. Dibantuin,
hehehe.” Rasti tak bisa menahan kekehannya. Mimik muka Rama
mendadak terlihat lucu.

“Awas ya, kubalas kau nanti!” Rama pura-pura marah, tetapi
tak urung dia berusaha membawa nampan dengan muatan yang
menggunung itu.

“Tunggu, Mas. Aku bercanda. Mana mungkin aku
membiarkanmu membawa nampan sepenuh itu. Bisa-bisa aku
dikuliti sama Ibu nanti, hihihi.”

Rasti menurunkan beberapa wadah,
hingga nampan yang dibawa Rama terlihat lebih lega.

Rasti sendiri mengambil nampan satu lagi, mengisi makanan,
dan segera membawanya ke ruang tamu, menyusul Rama. Kedua
keluarga menikmati hidangan sambil mengobrol santai. Untunglah
kedua adik Rasti sudah tidur. Jika tidak, pasti akan membuat gaduh.

Seusai makan, keluarga Rama berpamitan. Rasti segera
kembali ke kamar usai membantu ibunya membereskan ruang tamu.
Jarum jam di dinding sudah menunjukkan angka sebelas, tetapi
matanya belum juga terpejam. Rasti gelisah, berkali-kali dia berganti
posisi tidur, berharap bisa segera terlelap.

“Rasti, bangun! Sudah subuh!” Suara ketukan di pintu diiringi
panggilan ibunya, membuat mata Rasti terbuka.

Dia melirik jam di dinding, masih pukul 4.30 dan Rasti masih
mengantuk. Semalam gadis mungil itu tidak bisa tidur gara-gara
memikirkan masa depannya yang entah akan seperti apa nanti.

Perjodohan. Satu kata itu berefek luar biasa bagi Rasti, seakan
ada beban tak terlihat yang menggelayut di pundak. Berat.

Kelebat peristiwa semalam datang tanpa bisa dicegah. Binar bahagia ayah dan ibunya tak bisa disembunyikan, terlihat jelas bagai akuarium yang baru selesai dibersihkan.

Tegakah Rasti mematikan binar itu? Tentu saja tidak. Mereka
adalah orang tua yang telah melakukan hal terbaik untuk anak-anaknya. Bagaimanapun, Rasti harus berterima kasih.

“Rasti! Bangun!” Ketukan di pintu berubah menjadi gedoran.

Suara ibunya terdengar semakin nyaring. Gadis delapan belas
tahunan itu segera bangkit menuju pintu.

“Iya, Bu. Rasti sudah bangun,” sahutnya, ketika wajah ibu
tersayang menyembul dari balik pintu.

“Anak gadis ndak boleh kesiangan. Pamali. Dah subuh, lekas
sholat trus bantuin Ibu. Hari ini Ibu mau ke pasar agak pagi.” Endah
berkata sambil melangkah ke dapur.

Rasti bergegas menunaikan kewajibannya. Udara pagi terasa
sejuk membelai kulit. Seketika mata gadis manis itu terbuka. Sinar
mentari malu-malu menerobos melalui jendela kamar.

Rasti membuka jendela lebar-lebar, mengisi paru-parunya dengan oksigen bersih pagi hari. Cuaca pagi ini sangat membantu mengembalikan mood gadis bermata bulat yang dari semalam hilang entah ke mana.

Sepagi ini Rasti harus membantu ibunya menyiapkan dagangan
ke pasar. Endah berjualan rempah-rempah, seperti jahe, laos, daun salam, serai, daun jeruk, yang biasa digunakan sebagai bumbu dapur.

Beliau juga menjual jeruk nipis dan terkadang lemon jika ada. Semua
itu harus ditata terlebih dahulu sebelum berangkat ke pasar.

Tiba-tiba ada satu hal yang serasa mencubit hati Rasti. Jika
kelak dia kuliah, siapa yang akan menggantikannya membantu Ibu.
Kedua adiknya laki-laki, mana mau mengerjakan tugas seperti ini.
Rasti hanya mampu merajut harap, melantunkan doa untuk kesehatan
orang-orang terkasihnya.

Rasti bergegas menghampiri kamar dengan pintu penuh tempelan stiker itu. Dia mengetuknya perlahan.

Hening. Tak ada jawaban.

Rasti mengetuk lagi dengan agak keras, hasilnya sama. Gadis
bermata bulat itu mulai kesal. Wajahnya ditekuk dengan bibir
mengerucut. Dia mencari sesuatu untuk menciptakan suara berisik,
tetapi tak ada benda apa pun di dekatnya.

“Ras, apa yang kamu lakukan? Semuanya sudah siap?” tanya
ibunya tiba-tiba, mengagetkan Rasti. Untunglah gadis itu memiliki
jantung yang kuat.

“Eh, Ibu. Belum, Bu. Ini baru mau mbangunin adik-adik,” sahut Rasti.

“Ngapain? Mereka sudah subuhan, kok.”

“Bukan itu, Bu. Rasti mau ngajari mereka buat mbantuin Ibu.
Biar nanti pas Rasti kuliah, mereka sudah terbiasa,” terang gadis mungil itu.

Endah menatap Rasti lama, sebelum berkata, “Hal itu akan Ibu
urus sendiri nanti. Kamu nggak perlu cemas. Sekarang, selesaikan
dulu kerjaanmu, setelah itu anterin Ibu.”

Rasti mengalah, urung membangunkan kedua adiknya, dan
kembali menuju dapur. Pekerjaan ini selesai dengan cepat. Dia mengemas semuanya dengan rapi di sebuah wadah, kemudian ditata pada motor tua ayahnya.

Rasti berlari ke kamar dan mengganti bajunya dengan baju pergi. Tak lupa memakai jaket untuk menghalau dingin. Udara desa di pagi hari memang segar, tetapi jika diterpa angin tetap saja dingin. Ibunya sudah siap, mereka pun berangkat.

Di sepanjang jalan, sudah ramai orang berlalu lalang. Ada yang
mau ke pasar seperti mereka, ada juga yang berangkat ke ladang atau
ke sawah. Sepagi ini suasana desa sudah semarak dengan berbagai
aktivitas.

“Ras, nggak usah lewat jalan biasanya, ya. Ibu ingin cepat
sampai di pasar. Kita lewat jalan utama saja,” ucap Endah, yang
segera dibalas dengan anggukan oleh Rasti.

Jalan biasa yang dimaksud Endah melewati pemandangan yang
sangat indah. Menyusuri jalan setapak di antara hamparan sawah dan kebun yang masih asri. Apalagi ketika matahari mulai mengintip
malu-malu, semburat sinarnya menambah sempurna lukisan alam
ciptaan Tuhan.

Rasti membisu, sedikit kecewa karena ibunya lebih memilih jalan utama. Dia akan melewatkan itu semua.
Namun, tetap saja dia harus bersyukur, sebab jika sudah kuliah,
pemandangan indah itu akan sangat dia rindukan. Mengingat kuliah,
membuat rasa tak nyaman kembali hadir mengusik hati gadis itu.

Tidak cocok dengan suasana syahdu saat ini. Apalagi ketika mereka
melewati bengkel Rama yang terletak di pinggir jalan utama, seketika
bayangan pemuda itu muncul tanpa permisi di benak Rasti.

Rama yang baik. Tak ada yang salah dengannya. Jika saja gadis yang dipilihnya bukan Rasti, pasti mereka akan antusias dengan
perjodohan ini.

Gadis itu menerawang sambil tetap memperhatikan jalan. Dia mau menerimanya sebab ada kepentingan pribadi yang ingin dicapai. Terdengar egois, tetapi itulah kenyataannya.

Mengingat perjodohan, membuat Rasti meringis. Dia masih muda, ingin menggapai banyak mimpi. Apalagi jalur prestasi telah berhasil dilalui. Sangat sayang untuk dilewatkan begitu saja.

Namun, mengingat biaya hidup di kota yang terkenal mahal, membuat Rasti harus berpikir ulang.
Sawah ayahnya tinggal sepetak, tak mungkin dikorbankan untuk Rasti seorang. Adik-adiknya memiliki hak yang sama. Semua butuh pendidikan.

Ibu yang berjualan di pasar, tidak bisa membantu banyak karena hasilnya sudah dibagi untuk keperluan keluarga sehari-hari.

Rasti mengembuskan napas kasar. Pikirannya mulai kusut jika
sudah menyangkut hal itu. Beruntung Rama orangnya pengertian,
bersedia membiayai kuliahnya nanti. Rasa tak nyaman kian membesar, yang segera ditepis Rasti dengan cepat.

“Kamu beruntung, Ras. Rama itu anak baik. Jangan kecewakan
dia, ya.” Tiba-tiba ibunya berkata, seolah-olah tahu apa yang sedang
Rasti pikirkan.

Hening. Hanya suara mesin dan deru angin yang mengiringi
laju motor tua yang terdengar.

“Kalian itu serasi, loh. Rama ganteng, banyak yang suka. Apalagi dia juga punya bengkel sendiri. Pemuda mandiri seperti dia, jadi incaran teman-temanmu di sini, Ras. Coba nanti di pasar. Kalo berita perjodohanmu sudah menyebar, pasti Ibu kewalahan menjawab pertanyaan orang-orang.”

“Memangnya kita artis, apa? Sampai orang-orang pengen tahu
dan nanyain Ibu segitunya?”

“Loh, kayak kamu nggak tau orang pasar aja, tho, Ras. Mau
artis atau bukan, semua hal yang menarik pasti jadi pembicaraan.
Apalagi ini tentang kamu dan Rama.”

Rasti memperlambat laju kendaraan. Dia tertarik dengan pernyataan ibunya.

================================

Nah, loh. Pernyataan yang mana, nih?

Ikuti terus, ya, kisah Rasti dan Rama.

Jangan lupa tekan gambar bintangnya.

Terima kasih. :)

WHITE LILYWhere stories live. Discover now