Bab 3. Tim Bubur Diaduk

21 1 0
                                    

“Memangnya ada apa dengan Rasti dan Rama?” Gadis itu
bertanya kepada sang ibu. Dia penasaran, mengapa orang-orang
ingin tahu urusannya.

“Loh, kok, malah melambat. Ayo, cepat. Sudah mau sampai.”
Endah menepuk pundak putrinya pelan.

“Iya, iya. Rasti kan penasaran, Bu. Ada apa dengan Rasti dan Rama, sampai-sampai mereka sekepo itu dengan urusan orang,” sahut Rasti, mencoba mengulang pertanyaan.

“Hush! Yang kamu bilang kepo itu orang-orang tua, loh. Ndak
sopan. Jelaslah mereka penasaran. Rama itu digadang-gadang jadi
juragan muda. Dan kamu? Walaupun sederhana, tapi kamu pintar.
Selalu juara di sekolah. Gimana? Sudah jelas?” Sang ibu menjawab pertanyaan putrinya dengan sabar.

Walau terkesan galak, tetapi ada
nada bangga pada waktu dia menjawab.

Rasti mengirimkan senyum lebar lewat kaca spion ke Endah.
Mereka sampai di pasar. Rasti segera mencari tempat parkir yang
longgar. Biasanya dia langsung pulang, tetapi kali ini gadis manis itu ingin mengantar sang ibu sampai ke kios.

Wanita berusia setengah abad itu sejenak menatap Rasti dengan
tatapan seperti orang heran, tetapi kemudian tersenyum. Tanpa
banyak kata, Rasti membawakan barang dagangan Endah yang tidak
seberapa, masuk ke lorong-lorong pasar.

Hari masih terbilang pagi, tetapi di pasar, ramainya sudah
terasa sejak dini hari. Kios Endah terletak di dalam. Tepat ketika
Endah membuka dagangan dan menatanya di meja, terdengar sebuah sapaan yang mulai akrab di telinga.

“Bu Endah, Rasti. Selamat pagi.”
Pemuda yang mereka bicarakan tadi, muncul di hadapan.

Seulas senyum menghiasi wajah tampannya. Dia memakai kaos
putih dan celana training biru gelap. Tak lupa sepatu olahraga abuabu membungkus sepasang kakinya yang terlihat kuat. Terlihat sporty
dan keren. Satu paket yang tak bisa ditolak para gadis. Kecuali Rasti.
Rama menyapa Rasti dan ibunya dengan ramah. Dia terlihat santai.

“Eh, Nak Rama. Mari sini, Nak. Mampir sini sebentar.
Dari mana, Nak?” Endah tersenyum sambil tetap menata barang-barangnya.

“Terima kasih, Bu. Kebetulan saya sedang lari. Pas sampai pasar kebetulan lihat Rasti dan Ibu masuk, ya sudah, saya ikuti,”
jawab Rama sambil mengulas senyum. Matanya tak lepas dari
menatap Rasti.

Rasti menelengkan kepala, Rama memang lebih tinggi darinya.

“Jadi ... kamu ngikutin aku, gitu? Kamu—”

“Hush, Rasti! Bicara apa, sih? Ya, nggak apa-apa, tho, misal
Nak Rama memang ngikutin kamu. Wong kalian memang pasangan,”
sela Endah.

Tepat pada saat itu, ada ibu-ibu yang datang mengisi kios di seberang Endah.

“Loh, loh ... tumben ini Rasti mau nganter ibunya sampai
sini. Mbok gitu, tuh, tiap hari. Jangan cuma sekali-kali,” cerocosnya
sambil memandangi Rasti. Bibirnya maju beberapa sentimeter.

Rasti merasa tak enak ditatap sedemikian rupa, hingga akhirnya dia mengangguk sambil tersenyum kikuk.

Gadis itu buru-buru pamit, diikuti Rama yang masih setia mengekorinya. Mereka berdua berjalan menyusuri lorong, meninggalkan kios Endah yang
mulai ramai.

Samar-samar masih tertangkap suara ibu-ibu tadi, “Bu,
itu yang sama Rasti, bukannya Rama yang punya bengkel Ramai itu,
kan? Mereka pacaran, ya?”

Entah apa jawaban Endah, mereka sudah tidak bisa mendengar
karena jaraknya sudah jauh.

Tiba di depan pasar, Rasti mengembuskan napas berkali-kali. Dia sedikit kesal membayangkan Endah akan diberondong pertanyaan yang mengulik kehidupannya. Gadis itu teringat pesan sang ibu, dia harus terbiasa dengan orang-orang yang
sangat ingin tahu urusan mereka.

Rasti melirik Rama. Pemuda itu masih bergeming di sebelahnya. Pandangannya menerawang.

“Mas Rama habis lari ke mana aja?” Rasti mencoba memecah kebisuan.

“Tadi dari rumah terus muter sampai sini. Nggak sengaja kulihat kamu dan ibumu masuk pasar. Ya sudah, aku ikut masuk,” terang Rama.

“Udah? Gitu aja? Nggak ada maksud lain?”

Rama menautkan kedua alis tebalnya.
“Maksud lain apa maksudmu?”

“Ah, sudahlah. Lupakan. Aku pulang dulu, ya.” Rasti berjalan menuju tempat parkir kendaraan.

Rama masih setia mengekorinya, membuat Rasti berdecak sebal.

“Kamu mau ngapain, sih, Mas?”

Rama menggaruk tengkuknya yang tiba-tiba gatal, sebelum
menjawab, “Temenin makan, yuk. Aku belum sarapan tadi.”

Rasti terkejut mendengarnya. Ajakan itu sederhana, hanya menemani Rama sarapan. Gadis manis itu berpikir sejenak. Jika dia menolak, maka Rama akan kecewa. Egonya pasti terluka. Baru kali ini Rama mengajak makan berdua. Rasti tahu, itu artinya kencan.

Rasti ingin menolak, tetapi yang keluar dari mulutnya adalah,
“Baiklah. Mau makan di mana, Mas?”

Pemuda berkulit tembaga itu memperlihatkan deretan giginya
yang rapi karena tersenyum terlalu lebar. Dia menyambar lengan
gadis berjaket ungu itu dengan cepat dan menariknya menuju ujung pasar.

Rasti merasa tidak nyaman dengan perlakuan Rama. Dia menggerak-gerakkan tangannya, sebagai isyarat ingin lepas. Namun,
sepertinya Rama tidak merasakan sinyal itu. Dia tidak mengendurkan
pegangannya barang sedikit pun. Hal ini membuat Rasti jengah.

“Mas Rama, tolong lepasin tanganku,” pintanya.

Rama menoleh, kemudian melepaskan cekalannya. Dia tampak
salah tingkah.

“Eh, maaf, Rasti. Aku sangat senang karena kamu mau kuajak
makan. Jadi nggak sabar ingin sampai ke sana. Maaf, ya.” Rama
kembali menggaruk tengkuknya.

“Iya, nggak apa-apa. Ayo, tunjukkan aja jalannya. Aku akan mengikutimu,” pungkas Rasti.

Mereka kembali berjalan menyusuri depan pasar yang mulai
terlihat ramai. Rama berhenti di salah satu warung bubur ayam.

Tempatnya cukup bersih untuk ukuran warung di pasar. Pengunjung belum banyak. Masih ada beberapa bangku kosong.

Rama mempersilakan Rasti masuk duluan. Mereka mengambil
tempat duduk di dekat pintu masuk, menghadap ke dinding dengan
berbagai kalender yang menempel. Rama memesan dua porsi bubur
dan dua gelas teh hangat.

“Mas Rama kalo lari selalu sampai sini, ya?”

“Eh, nggak selalu, kok. Tapi sering, sih. Nanti langsung ke bengkel.”

“Nggak pulang dulu?”

“Pernah. Tapi ribet, bolak-balik jadinya, kan.”

Rasti manggut-manggut. Dia hendak bertanya lagi, tetapi
kedatangan dua bubur pesanan mereka membuatnya urung bicara. Dia lebih tertarik dengan hidangan di depan mata. Uap putih mengepul
ke atas, menandakan buburnya masih sangat panas.

Harum bawang goreng yang berpadu dengan kuah kuning dan suwiran ayam di atasnya, membuat perut Rasti berbunyi. Rama tertawa mendengar itu.

Sebaliknya, Rasti malu sekali. Dia ingat, tadi memang belum sempat sarapan. Rasti tidak memedulikan Rama yang tengah menatapnya sambil tersenyum penuh arti.

Mereka mulai memakan bubur dalam diam, menikmatinya pelan-pelan sambil memandang para pedagang yang tampak sibuk.

Para pembeli mulai berdatangan, hilir mudik keluar masuk pasar.
Warung ini berada di ujung, dari sini semua aktivitas di depan pasar
hingga tempat parkir bisa terlihat jelas.

Rama selesai menyantap buburnya terlebih dahulu. Pemuda itu
mengelap mulut dengan tisu yang tersedia di meja. Dia memandangi
gadis yang tengah mengaduk-aduk bubur ayam dengan saksama,
hingga kekehan kecil lolos dari mulutnya.

“Ada apa? Ada yang lucu?” tanya Rasti dengan raut muka kebingungan.

“Nggak ada. Kamu ... ternyata tim bubur diaduk, ya. Hahaha.”
Rama tak bisa lagi menyembunyikan tawa.

Rasti pun ikut tertawa.
“Iyalah. Makan bubur itu baru nendang bumbunya kalo sudah
diaduk,” sahutnya, di sela-sela mengunyah kerupuk yang sudah
lembek.

“Ha. Kalo begitu kita berlawanan tim. Aku nggak suka bubur yang bercampur dengan kerupuk.” Rama melihat mangkuk Rasti
dengan pura-pura begidik ngeri.

“Ih, apa-apaan, sih.” Rasti manyun, kemudian lekas menandaskan isi mangkuknya.

Tangan Rasti meraih gelas teh dan meneguknya perlahan. Seketika rasa hangat mengalir di tenggorokannya.

“Rasti ....”

“Apa?”

“Kita ... kencan, yuk?”

“Uhuk, uhuk!”

================================

Nah, loh. Rama bikin Rasti tersedak.

Rama ngajakin kencan!

Rasti mau, nggak, ya?

WHITE LILYWhere stories live. Discover now