Bab 4. Pendekatan

11 2 0
                                    

“Eh, maaf, maaf. Aku nggak bermaksud mengejutkanmu.”

Rama menepuk-nepuk punggung Rasti.

Wajah Rasti sedikit memerah. Entah karena tersedak atau
karena malu, sebab pengunjung mulai melirik-lirik ke arah mereka.

Gadis itu buru-buru menandaskan minumannya. Untunglah bubur
yang dia pesan sudah habis. Dia memang selapar itu.

Rama bangkit dari duduknya dan menghadap pemilik warung
untuk membayar makanan mereka. Rasti menyusul bangkit, tetapi
dia berjalan keluar warung. Tak lama kemudian, Rama sudah di
sebelahnya, mengulurkan tangan. Rasti diam sejenak, sebelum
kemudian menjabat tangan Rama sekilas.

“Aku nggak apa-apa, Mas. Kamu mau lari lagi atau ...?”

“Aku mau ke bengkel. Kamu hati-hati, ya, bawa motornya. Kita
kencan lagi kapan-kapan. Kencan beneran. Bukan seperti sekarang.”
Pemuda tegap itu mengulas senyum manisnya.

Rasti tergemap. Reaksinya sungguh tidak elegan. Dia malah
nyengir, sebelum berlalu sambil melambaikan tangan ke arah Rama.
Gadis manis itu belum menjawab ajakan si pemuda tampan.

Rama menatap punggung Rasti yang menuju tempat parkir,
hingga menghilang di jalan raya. Pikirannya masih berkelana,
mencoba meraba-raba perasaan gadis itu padanya.

Apakah keputusanku melamar Rasti sudah benar? Jangan-jangan, selama ini akulah yang terlalu percaya diri. Mengira Rasti
juga memiliki perasaan yang sama, padahal ternyata tidak, batin
Rama gundah.

Rama menarik napas panjang dan mengembuskannya
perlahan. Dia berbalik dan terkejut mendapati seseorang sedang
memandanginya dengan tatapan tajam.

“Kamu jadian sama Rasti?” tanya seorang gadis berambut
sebahu sambil berjalan mendekati Rama.

“Bukan hanya jadian. Kami akan menikah,” jawab Rama
mantap. Tak lupa seulas senyum terpasang di wajah tampan itu.

“Apa Rasti juga menyukaimu?” Gadis yang bernama Nurma
itu masih bertanya.

“Itu bukan urusanmu. Permisi!” Rama berjalan menjauh.
Senyum di wajahnya tiba-tiba lenyap.

“Eh, tunggu, Ram! Tunggu!” Nurma tampak tidak terima. Dia
berlari menyusul pemuda gagah itu.

Tepat pada saat Rama hendak berbelok keluar pasar, tangannya
dicekal dari belakang.

“Aku bilang tunggu, ya, tungguin, dong!” teriak gadis berbaju
biru itu sambil mencekal tangan Rama.

“Ada apa lagi, Nur? Bukankah kita tidak punya urusan apaapa?” tanya Rama mulai jengah dengan sikap Nurma. Perlahan,
Rama menarik tangannya agar lepas dari cekalan Nurma yang
tampak marah.

“Asal kamu tahu, Ram. Aku nggak rela kalo kamu dimainin
sama Rasti. Aku sudah ngalah untuk melepasmu. Jadi kuharap dia
yang kau pilih, nggak akan membuatmu menyesal.”

Rama menatap gadis di hadapannya. Mata Nurma mulai
berkabut.

“Tenanglah. Aku dan Rasti baik-baik saja. Terima kasih sudah
peduli padaku.” Rama tersenyum sekilas, kemudian melangkah
pergi.

Gadis berambut sebahu itu diam di tempat. Matanya mengiringi
kepergian Rama tanpa berkedip, hingga punggung tegap itu hilang
di belokan pasar. Tak terasa bulir bening jatuh membasahi pipinya,
yang segera diusap dengan kasar. Nurma berbalik pergi.

***

Rama tiba di bengkel bersamaan dengan kedatangan dua
rekannya. Mereka adalah teman sekelas Rama ketika masih sekolah
dan sama-sama mengambil jurusan otomotif. Setelah lulus, Rama
sempat menjadi karyawan di sebuah bengkel besar di kota.

WHITE LILYWhere stories live. Discover now