Bab 1. Perjodohan

61 7 2
                                    

Udara sejuk yang berhembus dari kipas angin di sudut ruangan, tak mampu menyejukkan hati Rasti. Dia gelisah, menyadari nasibnya sedang dibicarakan di ruang sebelah. Gadis manis berhidung kecil itu mengintip dari lubang pintu kamarnya, yang kebetulan bersebelahan dengan ruang tamu.

Di sana, ada ayah dan ibunya, duduk berdampingan di kursi kayu yang busanya sudah mulai menipis. Sedangkan di hadapan mereka, walau tidak terlihat dari lubang pintu, ada Rama dan keluarganya. Suara mereka terdengar jelas di telinga Rasti.

Berkali-kali gadis berkulit kuning langsat itu mengembuskan napas dengan kasar. Dia mencoba menetralkan rasa gelisahnya, yang kian lama kian membesar. Perjodohan, bukanlah hal yang dia impikan. Dia ingin menemukan jodohnya sendiri, menemukan cintanya dengan alami.

Namun, takdir berkata lain. Keadaan mengharuskan Rasti mengikuti perintah orang tuanya. Banyak hal yang harus diperjuangkan, terutama cita-citanya untuk menjadi mahasiswa di universitas ternama. Hal yang masih jarang ada di desa mereka. Pendidikan warga desa tempat Rasti tinggal, rata-rata hanya tamat SMP, paling tinggi SMA.

Warga desa masih banyak yang beranggapan, kuliah itu mahal.
Hanya membuang waktu dan uang. Mereka lebih memilih menyuruh
anaknya bekerja daripada kuliah. Apalagi anak perempuan, perjodohan menjadi hal yang lumrah. Rasti sedikit kesal, mendapati dirinya sebentar lagi juga akan melakukan perjodohan. Bedanya, Rasti bertekad untuk tetap mempertahankan cita-citanya.

Walau di dalam hati masih penuh keraguan, Rasti berusaha optimis. Dia akan menerimanya. Rasa cinta bisa dipupuk. Gadis mungil itu berdoa, semoga saja Rama memang benar adalah jodohnya.

Rasti pernah pacaran dan berakhir kandas di tengah jalan. Dia berpisah secara baik-baik dengan sang mantan dan menganggap itu hanyalah cinta monyet belaka. Cinta sesaat yang datang dengan cepat dan dalam waktu yang teramat singkat.

Rasti dikaruniai otak yang cerdas. Sejak kecil Rasti menjadi juara kelas. Hal itu sangat disyukurinya karena dia bisa mendapatkan beasiswa dengan mudah. Ayah dan ibu Rasti terlihat bangga dengan putri mereka.

Wali kelasnya di sekolah mewanti-wanti agar Rasti tidak berpuas diri hanya dengan tamat SMA. Rasti harus bisa kuliah. Dia digadang-gadang menjadi orang yang sukses. Gadis itu sangat berterima kasih pada sang guru. Berkat semangat yang diberikan, dia masih kuat menggenggam cita-citanya.

Rasti memiliki dua adik yang masih bersekolah. Dia harus menjadi contoh yang sempurna bagi kedua adiknya. Ayah dan ibu Rasti sebenarnya mendukung cita-cita gadis manis itu. Namun, apalah daya, keadaan berkata lain.

Ingatan Rasti kembali berputar ke suatu waktu, di hari terakhir
sekolahnya, hari pengambilan raport dan surat keterangan lulus. Rasti diajak bicara sang ayah di taman depan sekolah, tempat dia biasa nongkrong dengan teman-temannya.

“Nak, Ayah mau bicara sebentar.”

“Ada apa, Yah? Tidak biasanya Ayah serius begini?” tanya Rasti, sambil duduk di sebelah Zaini, ayahnya. Endah, ibunya, bergabung tak lama kemudian.

“Kamu ... mau lanjut kuliah?” tanya Zaini hati-hati.

Mata Rasti berbinar cerah. Dengan anggukan yang mantap dia menjawab, “Tentu saja mau, Yah. Bu Guru juga mendukung. Ayah
mendengarnya sendiri, kan?”

“Tapi ... Ayah tidak bisa membiayai kuliahmu, Nak. Uang yang ada ... kedua adikmu lebih membutuhkannya,” ucap Zaini pelan, tetapi mampu meredupkan binar di manik hitam Rasti.

Gadis itu menunduk, mencoba menahan sesak yang terasa mengimpit dadanya. Rasti menarik napas panjang, berusaha melegakan pernapasan. Mata bening itu kini mulai berkabut.

“Rasti ... kamu kepengen banget kuliah, ya?” Endah membuka suara.

Rasti menatap wanita setengah baya yang telah melahirkannya dengan tatapan penuh harap. Ada secercah asa perlahan menyusup membentuk setitik cahaya. Jika kata-kata ayahnya seumpama lampu yang dimatikan, maka kalimat ibunya bagai lilin yang membawa penerangan.

“Jujur, Rasti memang pengin kuliah, Bu. Rasti ingin mewujudkan cita-cita untuk menjadi orang sukses. Biar bisa bahagiain Ayah dan Ibu,” jawab Rasti, menatap kedua orang tuanya
secara bergantian.

Endah melirik Zaini, meminta persetujuan. Setelah mendapat anggukan dari sang suami, Endah berkata, “Ibu ada berita bagus, Ras.
Kamu bisa kuliah dengan tenang dan adik-adikmu pun bisa sekolah.”

“Serius, Bu? Gimana caranya?” Rasti bertanya antusias.

Sejenak, ayah dan ibunya berpandangan.

Ketukan di pintu kamar, membuyarkan lamunan Rasti. Dia
segera merapikan pashmina dan rompi yang dipakainya, kemudian
membuka pintu bercat hijau itu. Wajah teduh Endah muncul di ambang pintu.

“Rasti, ayo keluar. Ikut Ibu.” Rasti mengangguk.

Walau batinnya belum tenang, dia berusaha patuh. Rasti mengekor di belakang Endah, menuju ruang tamu. Hal pertama yang menarik perhatiannya adalah Rama. Pemuda itu mengerling ketika tatapan mereka beradu. Rasti segera mengalihkan pandangannya dan mengulas senyum untuk kedua orang tua Rama.

Kini, ruang tamu yang tidak begitu besar itu terasa sesak. Orang tua Rasti dan Rama berteman. Mereka tinggal di desa yang sama. Berkali-kali Rama mencuri pandang. Rasti tahu, Rama menyukainya. Perjodohan ini akan mudah diterima, bila Rasti pun
memiliki rasa yang sama.

Sayangnya, di mata Rasti, Rama hanyalah seorang teman, tidak lebih. Mereka menjadi akrab setelah Rasti menjadi pelanggan tetap di bengkel pemuda berkulit tembaga itu. Rama masih muda, tetapi sudah memiliki bengkel sendiri. Sepeda motor tua milik ayah Rasti, sering mampir di sana.

Diam-diam Rasti mengamati Rama. Wajahnya terbilang ganteng untuk ukuran pemuda desa. Badannya tinggi tegap, boleh dibilang atletis karena Rama suka berolahraga. Dia juga bersih. Penampilannya malam ini terlihat cukup rapi, berbeda ketika
dia sedang bekerja di bengkel. Namun, semua itu belum mampu
menggetarkan hati Rasti.

“Rasti, gimana?” Endah menyenggol lengan Rasti.

“Eh, maaf. Apa, Bu?” Sang ibu menghela napas. Tatapannya menyorot tajam, seolah berkata, ‘Kamu tidak memperhatikan
pembicaraan sepenting ini?’

Rasti menunduk, berusaha mengingat-ingat, sebelum kemudian
menjawab, “Saya ... menerima perjodohan ini dengan syarat.”

“Syarat apa, Ras?” Ibunya Rama bersuara, terdengar sudah tidak sabar.

“Saya masih ingin kuliah, Bu Dewi. Kebetulan saya diterima di universitas negeri lewat jalur prestasi,” jawab Rasti, hati-hati.

“Oh, kalo itu, sih, nggak apa-apa. Kirain apa. Oh, ya, selamat, Rasti. Kamu memang pintar. Nggak salah jika Rama memilihmu. Iya, kan?” Wanita yang masih tampak cantik di usia lima puluhan itu, menyenggol lengan Rama pelan. Yang disenggol hanya tersenyum simpul.

Setelah Rasti mengutarakan
keinginannya, obrolan panjang
pun diakhiri dengan kesepakatan dua keluarga. Rasti memutuskan untuk menerima perjodohan bersyarat itu. Dia merasa tidak akan rugi karena yang terpenting adalah cita-citanya untuk kuliah akan terwujud.

Rama bersedia menunggu Rasti menyelesaikan kuliah, bahkan bersedia untuk menanggung biayanya. Ayah dan ibu Rasti terlihat bahagia melihat keberuntungan yang memihak putri sulungnya, sedangkan raut muka ayah dan ibu Rama sebaliknya, tidak terbaca.

- Bersambung -

================================

Assalamu'alaikum, ketemu lagi dengan Farra Hakana.

Kali ini Farra bikin cerita tentang Rasti, si gadis labil yang ingin kuliah tapi terkendala biaya. Untunglah dia dijodohkan dengan Rama, sebab Rama mau membiayai kuliah Rasti.

Eh, tunggu, kalo gitu namanya untung, nggak, sih? :D

WHITE LILYWhere stories live. Discover now