Bab 4. Pendekatan

Start from the beginning
                                    

Rama tergolong rajin dan cepat belajar. Selama dua tahun
bekerja, Rama menyerap semua ilmu yang dia dapat dengan baik.
Ayahnya melihat bakat Rama. Beberapa bulan kemudian, Rama
diberi modal oleh sang ayah untuk mendirikan bengkel sendiri.

Modal yang tadinya dipersiapkan untuk kuliah, kini telah berubah
arah. Namun, tujuannya tetaplah sama, mewujudkan cita-cita Rama.
Sebuah bengkel motor kecil, tetapi berkat keuletan pemuda
gagah itu, hanya butuh waktu sebentar bengkelnya mulai membesar.

Banyak orang mempercayakan perbaikan motor ke Rama. Beruntung
dia berhasil mengajak kedua temannya untuk ikut membantu
mengelola bengkel.

Tahun ini, Rama berencana hendak membuka cabang di
sebuah kota. Namun, semua itu dia tunda karena uangnya akan
dipakai untuk membiayai kuliah Rasti. Rama bersyukur belum
sempat mengutarakan rencana ini ke orang lain, termasuk kedua
orang tuanya. Bisa panjang urusan dan dia menghindari itu.

Bagi Rama, bisa ‘mengikat’ Rasti merupakan hal terindah.
Rasti yang manis dan pintar, kini adalah calon istrinya, tak ada yang
boleh mengganggu mereka. Rama masih melamun ketika Andi, salah
satu teman yang bekerja padanya, datang.

“Ram, selamat, ya. Akhirnya cewek incaranmu luluh juga,”
kata Andi, pemuda berambut ikal dengan tubuh sedikit gempal.

Rama hanya tersenyum sebagai balasan. Rekannya satu lagi,
ikut-ikutan mengulurkan tangan untuk mengucapkan selamat.

“Kalian apa-apaan, sih. Nanti kalo aku sudah duduk di
pelaminan bareng Rasti, barulah kasih selamat,” sahut Rama, “kalo sekarang, mah, biasa aja. Jalannya masih jauh.”

Rama membuka pintu bengkel. Mereka bertiga masuk dan
segera mengerjakan tugas masing-masing. Tak berapa lama, bengkel
telah buka sepenuhnya. Rama dan ketiga rekannya telah berganti
pakaian. Kini mereka mengenakan ‘baju kerja’ yang warna aslinya
telah tertutup noda oli di beberapa bagian.

Seorang ibu dengan tas belanjaan yang memenuhi motor
berhenti di depan bengkel. Rupanya ban depan motornya sedikit
kempes. Andi langsung menyambutnya.

Rama baru saja hendak mengambil peralatan, ketika telepon
selulernya berdering. Pemuda tampan itu mengambil benda pipih
persegi panjang dan melihat ada nama Rasti di layar. Dia memberi
isyarat pada Andi untuk mengambil peralatan di depannya, kemudian
melangkah menuju ruang belakang untuk mencari privasi.

“Halo, Rasti. Ada apa? Kangen, ya?” tanya Rama, wajahnya
tak lepas dari senyuman.

Entah apa jawaban Rasti di seberang sana, tetapi hal itu
membuat Rama terkekeh pelan.

“Baiklah, nanti aku jemput. Jam berapa? Oh ... iya. Nggak apa-apa. Beneran. Siap.”

Usai menjawab salam dan menutup percakapan, Rama
menarik napas panjang. Rasti meminta bantuannya untuk pergi ke
kota, menyiapkan keperluannya masuk kuliah.

Rama terusik bimbang. Ada perasaan bangga karena bisa
membantu Rasti mewujudkan mimpinya. Menjadi sandaran itu
menyenangkan, harapan gadis itu bertumpu padanya.

Namun, tak dipungkiri ada perasaan waswas yang menyelip
begitu saja. Rasti akan berada jauh dari jangkauannya. Bukan soal
jarak sebab itu bisa diakali. Namun, ini tentang status mereka.

Rama memang tergolong sukses sebagai seorang pemilik bengkel, tetapi pendidikannya hanyalah tamatan SMK. Rama bukan anak kuliahan.

Pemuda gagah itu khawatir, bagaimana jika nanti Rasti bertemu
seseorang di tempat barunya. Akankah ia masih punya kesempatan.

Sedangkan sekarang saja, dia tak punya hal yang bisa membuat
Rasti langsung memandangnya. Dia bisa mendekati gadis itu semata
karena biaya kuliah yang ditawarkannya. Cinta? Masih terlalu jauh untuk membicarakan itu.

Rama tidak berharap banyak, tetapi dia harus optimis. Sebagai
lelaki, dialah pemegang kendalinya. Semua akan baik-baik saja jika
dia kuat dan bertahan. Tentang Rasti bertemu orang baru, itu sudah
pasti dan tak dapat dihindari.

Rama hanya berharap, hati Rasti sudah menjadi miliknya. Dia tak akan mudah tergoda. Semoga, batin Rama.
Beberapa saat kemudian, Rama berpamitan kepada kedua
rekannya. Andi tersenyum simpul melihat Rama sudah rapi dan
wangi.

“Widih, bos kita mau kencan. Good luck, ya!” teriak Andi
sewaktu Rama melewatinya.

Rama hanya menyungging senyum. Dia melirik jam
dinding, masih ada waktu untuk membelikan Rasti sesuatu. Rama
sudah bertekad ingin menaklukkan Rasti. Hal yang sekiranya bisa
meluluhkan gadis manis idamannya itu akan terus dia lakukan.

Setelah berpamitan, Rama segera melesatkan motornya membelah jalanan yang tampak lengang. Tak sampai sepuluh menit,
Rama tiba di rumah Rasti.

Hawa pedesaan yang asri menambah
syahdu suasana di pagi hari. Halaman rumah Rasti berpagar tanaman
merambat. Pagar itu dipenuhi buah bulat berwarna hijau yang
bergantungan. Sebagian sudah berubah jingga.

“Mas Rama, kita langsung berangkat saja, ya. Keburu siang
nanti.” Rasti muncul dari dalam rumah, tergopoh-gopoh menghampiri
Rama yang sedang memarkirkan sepeda motornya.

Rama mengangguk, tidak jadi parkir. Dia mengubah posisi
agar Rasti bisa naik ke boncengan.

“Loh, ini motornya siapa, Mas?” tanya Rasti. Matanya
memicing melihat motor Alfa Yamaha 1991 berwarna merah yang
dinaiki Rama.

“Oh, kenalan dulu sama si pitung. Dia motor yang kutinggal di
bengkel. Kamu tau, kan, aku ke bengkel pakai kaki? Lari. Jadi, aku
harus punya cadangan motor di sana,” terang Rama.

Rasti manggut-manggut. Raut wajahnya masih menunjukkan
rasa ingin tahu yang besar. Tadinya, Rasti berharap akan diantar
dengan ninja hijau Rama. Sudah terlambat, tak ada waktu untuk
berdebat. Urusannya harus segera diselesaikan.

================================

Akhirnya Rama kesampaian juga berduaan dengan Rasti.

Kita ikuti mereka, yuk, ada pengalaman seru apa besok? ;)

WHITE LILYWhere stories live. Discover now