13. Once a Very Best Friend

Start from the beginning
                                    

Sam terdengar ragu lagi. Baiklah, kalau anak itu tidak mau bercerita tentang Arvind. Ren mengubah strategi, bertanya tentang Sam sendiri. "Jadi, kamu diundang karena kenal Bang Jay?"

"Sebetulnya enggak kenal-kenal amat. Waktu itu, aku dan Dennis cuma bantu Arvind membawanya ke rumah sakit. Bang Jay merasa harus berterima kasih dan meminta kami bergabung dengan gengnya. Katanya, demi melindungi kami dari geng lawan. Logikanya memang absurd. Dan anak-anak buahnya mulai memaksa sampai aku bertemu Bang Jay sendiri. Untungnya, Bang Jay mau mengerti alasanku menolaknya."

Bang Jay pemimpin geng motor, Ren mengambil kesimpulan. Dua orang pemotor yang menemui Arvind adalah anak buahnya. Arvind menolong orang itu dan terjebak dalam lingkaran mereka. Ren telah salah kira, Arvind bukan sengaja bergaul dengan orang-orang itu. Akan tetapi, kalau Sam bisa melepaskan diri dari mereka, seharusnya Arvind juga bisa. Dan sepertinya, urusan geng motor ini tidak berkaitan dengan koper-koper yang dibawa Arvind.

Kuncinya ada pada Wening.

Pagi ini, Ren sengaja berangkat lebih awal ke sekolah. Nazhan mengerti, sesekali ia tidak bisa membantu membaca. Darurat kelas 12, istilahnya. Benar juga. Sahabat-sahabatnya memang dalam kondisi darurat. Bukannya membantu mengarahkan Arvind, fokus Wening malah ikutan ambyar. Gadis itu biasa datang tepat waktu, tetapi kalau keadaan rumah sedang tidak menyenangkan, sekolah menjadi pelarian seawal mungkin.

Ren sampai di kelas setengah jam sebelum seluruh kelas 12 kumpul di aula untuk pembekalan ruhaniah rutin sebagai ganti upacara bendera. Tepat dugaan Ren, Wening sudah duduk di bangkunya, sendirian, menulis di buku catatan kegiatan kelas.

"Hai, Ren! Aku bereskan ini dulu untuk diserahkan ke KM. Mulai besok, aku izin enggak masuk seminggu." Wening hanya mengangkat muka sebentar, dan melanjutkan pekerjaannya. "Terus terang, aku suntuk banget. Menginap di rumah Nini kupikir bisa jadi refreshing. Don't miss me."

"Tante Inggit tahu kamu mau ke Jakarta?" Ren mengangkat alis.

"Tentu saja. Ini surat dari Ibu untuk Pak Hell." Wening mengeluarkan amplop yang belum direkat. "Kamu boleh lihat isinya. Asli tulisan dan tandatangan Ibu."

Ren tidak menyentuh surat itu. "Kamu pergi bareng Arvind?"

"Arvind? Ya, enggaklah, Ren. Mau apa Arvind ke rumah Nini?" Wening tertawa kecil. "Kenapa kamu berpikir begitu?"

"Karena kopermu dibawa Arvind, lalu anak itu menghilang sampai tengah malam kemarin. Jangan bilang kamu cuma titip koper pada Arvind untuk direparasi."

Wening tercengang. "Kamu tahu dari mana soal koper?"

"Jadi benar?"

"Aku enggak mengerti maksudmu." Wening melanjutkan menulis.

Ren merebut bolpennya. "Ayolah, Ning. Aku kenal kamu sejak bayi. Ada masalah apa sampai diam-diam mau pergi entah ke mana, dengan kedok ke rumah Nini?"

Wening menatapnya. Ekspresinya tiba-tiba mengeras, penuh tekad. "Bagaimana kalau benar aku titip koperku pada Arvind untuk direparasi?"

Ren meletakkan bolpen Wening di meja, lalu mengempaskan bokong di kursi sebelah Wening. "Kamu tahu, aku enggak sebodoh itu."

Wening menunduk, tampak berpikir.

"Kamu tahu juga, aku enggak bakal diam saja lihat kamu ada masalah, Ning."

Gadis itu akhirnya mengangkat muka dengan mata berkaca-kaca. "Ya, kamu selalu membantu. Tapi kali ini, akan lebih membantu kalau kamu diam saja. Please?" Wening beranjak pergi.

Take My HandWhere stories live. Discover now