4 | ghibah bapack-bapack

Mulai dari awal
                                    

"Majikannya lo apa Mbak Pia, sih?"

"Mbak Pia, lah. Cuma dia yang berani ngatur-ngatur gue di sini."

Ehsan nggak nyahut lagi. Balik kanan ke dapur, mau menyeduh lemon hangat.

Semenit berlalu, Mail datang dengan setelan warna cokelat di tangan.

"Nggak ada warna lain? Gue nggak cocok pakai warna warm toned gini. Aura gue jadi suram."

"Astagfirullah. Gue telponin emak lo, gue laporin kalau lo bikin repot di rumah orang."

"Ayolah, kawan. Lo tau sendiri gue ini cuma cungpret. Kalau aura positif nggak terpancar, nanti jadi sasaran bos-bos meluapkan amarah."

Meski mendadak migrain, Mail tetap balik kanan mengambilkan opsi lain. Kali ini warna biru cerah, dan temannya menerimanya dengan lapang dada. "Dry clean di tempat biasa, ya."

"Nggak dihibahin sekalian?"

"Nggak usah pinjem kalo gitu."

"Ck. Ngamukan, kayak Oscar. Btw, tu anak nggak pernah lo ajak ke PP, kangen gue, pengen bacot-bac—"

Kalimat Ehsan tidak sempat selesai. Bahkan dia belum sempat menuangkan air ke cangkir perasan lemonnya, tapi Mail keburu menendang bokongnya, memaksanya masuk kamar mandi untuk segera pakai baju.

~

Gusti datang terlambat ke konferensi meja bundar mereka. Seperti biasa, pagi ini kantung mata menghiasi mukanya, langsung menyambar kopi Zane sambil menunggu pesanannya tiba.

"Silakan kalau mau berkeluh kesah." Ridho memberinya kehormatan, tapi Gusti menggeleng.

"Just a lil bit sleepy, nggak usah berharap gue merana."

"Lah?" Ridho nggak terima difitnah. "Mana mungkin gue berharap elo merana, bapakku sayang? Kan elo role model gue, yang idupnya paling barokah di antara kita semua. Yang lain masih sibuk mempoles CV biar masuk spek Mbak-mbak SCBD, elo udah menuai hasil. Coba spill, udah dapet nama yang keren buat mas bayi apa belum? Kalo belum, nanti sore biar gue mampir ke Gramed beli buku inspirasi nama Islami, gue bantuin ngarang nama yang artinya oke."

Nggak ada yang menggubris perihal nama-nama bayi.

Malah Ahmad menempeleng kepala Ridho untuk kalimatnya sebelumnya. "Mbak-mbak inceran lo bininya pak bos ya wassalam, pe'a!"

"Masa bininya pak bos? Muda amat? Anak pak bos, kali." Gusti berlagak sangsi.

"Ketahuilah, keriput nggak berlaku bagi mereka yang nggak ingin keriput dan mampu bayar perawatan apapun."

Mendengar omongan Ahmad itu, semuanya mengangguk-angguk sok iya, padahal sesembak yang lagi diomongin ini hanya ada dalam fatamorgana.

"By the way ...." Sambil membaca pesan yang baru masuk di handphone-nya, Ehsan menghentikan olok-olokan nggak berfaedah mereka. "Bimo balik, nih. Mau futsal besok malem nggak? Terutama Bapak Gusti, yang kelihatan butuh refreshing?"

"Butuh tidur dia mah, bukan futsal." Mail nyeletuk, berbarengan dengan Zane yang mengatakan kebalikannya.

"Ayo aja."

Sepakat dengan sohibnya, Gusti turut mengiyakan. "Yoi, dua minggu ini nggak keringetan sama sekali. Berasa jompo gue."

"Jalan kaki dari apart ke kantor nggak keringetan?" Mail berdecih. Tentu saja dia nggak lupa mengenai agendanya dengan Trinda. "Sorry, gue skip kalo besok. Malem ini okelah."

"Malem ini bocahnya baru nyampe, gila. Biar napas dulu, lah." Ehsan menolak mentah-mentah.

Satu alis Mail terangkat. "Napas di Skye?"

"Ya nggak apa-apa napas di mana juga, kan dia bukan jomblo ngenes kayak kita-kita. Emang lo mau ke mana, sih? Nggak bisa sekali-kali temen dapet jatah weekend lo juga?" Ehsan melotot.

Lama-lama backstreet capek juga, ya? Mail mengusap dahinya yang nggak berkeringat. "Ada acara, San. Temen gue bukan kalian doang. Lagian Iis bukannya udah menghitung minggu lahirannya? Nggak mending futsal di tempat Agus aja, nggak usah sewa lapangan, biar sekalian nemenin Iis?"

Yang sedang dikhawatirkan malah nggak tahu diuntung. "Gampang, ntar biar Trinda jalan ama Iis. Biar adek gue refreshing juga, sekali-kali dijajanin Mbak Ipar biar seneng."

Salah satu sudut bibir Mail tertarik. Dalam hati mau sesumbar mengatakan kalau niat buruk Gusti memanfaatkan Trinda nggak bakal tercapai. Lagian, kepedean amat bilang sekali-kali biar Trinda seneng? Woy, selama ada Mail, Trinda nggak pernah susah!


DIRECTOR'S CUT

"Terus, terus, ujungnya ke mana?"

"Nggak jadi ke mana-mana. Ke rumah abang lo doang paling."

"Hahaha, kapok. Lagian kok ya pede amat ngelabelin Ismail bin Mail 'jomblo kayak kita'. You can't even survive a day without seeing me."


PS. Scene di part 4 & 5 yang lama jadinya gw hapus dan ganti yang baru.

Dated; Engaged [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang