10 | tanggap darurat

Start from the beginning
                                    

Terpaksa Mail mengangguk-angguk sembari menandaskan isi gelasnya.

Trinda berjalan mendekat. Ekspresinya nggak jelas. "By the way, ganteng banget, Mas."

Mail nyengir. "Besok ngisi talkshow. Nggak pantes kalau gondrong."

"Kata siapa? Pertama kali aku lihat kamu di lamaran Mbak Iis pakai kemeja batik slimfit, rambut setengah gondrong, kumis sama jenggot tipis, ganteng banget kok. Kalau ada narasumber seganteng itu, talkshow tiga jam juga aku jabanin."

Cengiran Mail melebar. "For real? Why didn't you tell me earlier? Udah kadung klimis, nih."

"Klimis juga sama aja gantengnya, sih. Maksudku, you don't need to change your look if you don't want to. Rapi nggak harus potongan cepak gini, kecuali Mas pegawai bank."

"Kalau mau ketemu camer, gimana?"

Sebelah alis Trinda terangkat. Mukanya tersipu-sipu. "I never heard my parents bad-mouthed about someone's appearance. Gak usah dibawa pusing. Asal menutup aurat mah nggak bakal dikomen."

Mail ketawa suram. Teriris banget batinnya.

This girl clearly doesn't take her parents' concern seriously. First impressions do matter. Kalau nggak, Bu Hari nggak akan rajin ngomentarin penampilan Agus biar selalu rapi. Dan nggak akan menyebut Iis yang kalem dan berjilbab sebagai tipe mantu idaman saat pertama kali kenal sepuluh tahun lalu.

Lalu bagaimana dengan first impression-nya terhadap Ismail? Well it's a tough question. Bu Hari aja sampai harus super hati-hati ketika menasehati anaknya supaya nggak kelepasan menyebutkan sifat-sifat buruk Mail sebagai pembanding. Intinya, dia nggak melarang anaknya berteman dengan siapapun asal nggak ikut terbawa hal-hal negatif.

Akhirnya, siapa yang lebih dominan, negative trait Mail atau positive trait yang ditanamkan orang tua Gusti? Hanya Allah dan malaikat yang tahu. Seingat Mail sih, Gusti juga nggak alim-alim amat—terhitung sejak maba sampai sebelum nikah. Itu anak sering ngimamin geng mereka salat berjamaah, tapi tiap Sabtu sanggup menenggak 10 shots whiskey tanpa masuk IGD.

By the way, contoh di atas nggak patut ditiru. Mail aja, yang punya postur dan toleransi alkohol hampir sama dengan Gusti, pilih membatasi 3 sampai 4 shots saat minum-minum di hari kerja, dan maksimal 6 shots saat weekend. Serta dia nggak akan minum lebih dari tiga kali seminggu. Normalnya dia minum sekali seminggu. Lebih dari itu hanya saat special occasion atau saat patah hati.

Bayangin, kalau satu shot itu 50 ml, maka 10 shots kira-kira 2/3 botol. Satu shot aja bisa meningkatkan blood alcohol concentration (BAC) 0.016% untuk orang dengan bobot sekitar 70 kg macem Mail dan Gusti.

Menenggak 10 shots dalam kurun waktu sejam akan meningkatkan BAC 0.16%, dua kali lipat dari batas aman. Kalau nggak muntah-muntah dan semaput sih ajaib. Meski tentu saja hal itu nggak perlu dibanggakan.

"Oiya." Trinda meletakkan key holder dari sakunya ke stove island di depan Mail. "Aku abis test drive mobil baru kamu. Tadi Oscar ke sini nganter itu mobil, jadi aku gantian nganter dia balik ke kantormu. BPKB-nya udah aku taruh di brankas."

Mail mengangguk. "Kamu bawa aja kuncinya, biar nggak repot kalau butuh pake sewaktu-waktu."

"Jangan, aku masih jadi tahanan rumah. Ntar ketinggalan di tempat Mas Agus, repot lagi." Trinda memeluk dan mengecup singkat pipi pacarnya. "Mas aku masak ya."

"It's your kitchen in the first place."

Trinda ngakak, ingat kalau dialah orang pertama yang nggak sengaja ngobrak-abrik dapur Mail di saat Mail menjaga barang-barang di rumahnya tetap perawan sampai menemukan nyonya rumah.

"Ya udah, aku mau mandi dulu."

Baru juga Mail mau melangkah, Trinda mendahului.

"Wait, aku mau pake kamar mandi bentar."

Sedetik kemudian cewek itu sudah meluncur masuk kamar. Mail menyusul dengan langkah santai di belakangnya, menemukan si cewek sedang membuka-buka laci nakas.

"Nyari apa?"

"Lihat menscup-ku nggak? Perasaan aku taruh di sini."

"Yakin nggak kepake dan kebawa ke apart-mu?"

"Aku punya dua. Kayaknya yang satu di sini, satunya lagi yang harusnya ada terus di makeup pouch aku, nggak tahu ke mana juga."

Mail menghela napas panjang. "Tempatnya kayak gimana?"

"Segede case AirPods, bahannya silikon lentur. Warna pink."

Males mencari-cari, Mail menawarkan solusi lain. "Beli lagi aja. Jam segini pake pengiriman instant masih bisa kan?"

"Eung ... ini udah sore banget."

"Biasanya pake e-commerce apa? Apa nama tokonya?"

Trinda menyebutkan info yang diminta, dan Mail gercep mencarikan. "Ukuran apa?"

"Yang kecil. Cuma ada dua ukuran kan tuh."

"Udah aku pesenin. Tunggu beberapa jam lagi masih keburu, kan? Sekarang kamu pake apa?"

"Tampon. Tadi dikasih Mbak Tiffany di kantor."

"Nggak mau dibeliin pad dulu sementara?"

Trinda menggeleng. "Sampahnya itu lho. Pantatku sensitif juga, gatel kena pad."

Mail manggut-manggut aja.

Nggak sampai dua jam kemudian, setelah Mail kelar mandi dan mereka berdua kelar makan steak buatan Trinda, orderan yang ditunggu-tunggu tiba dan Mail turun ke lobby untuk mengambilkan.

"Maaf ya, ngerepotin." Trinda menerima paketnya dengan muka sok sungkan. Padahal dia memang hobi menjajah Ismail.

Cewek itu ngibrit ke kamar mandi, takut keburu bocor.

Sambil berberes dapur, Mail menghubungi Oscar, menanyakan di mana pakaian yang akan dia kenakan besok beserta merch yang dijanjikan Oscar yang akan dia bagi-bagikan untuk peserta talkshow-nya besok.

Baru juga dentingan tanda jawaban Oscar masuk ke ponselnya, Trinda keluar dengan muka horor, mengalihkan perhatian Mail.

"Kayaknya aku harus ke IGD," ucap cewek itu dengan wajah panik, hampir menangis.

Jelas saja Mail khawatir. "Kenapa? Dismenore? Sakit banget perutnya?"

Trinda menggeleng. Mukanya pucat pasi. "I lost my tampon ..."

"Kan udah dibeliin menscup baru."

"... inside my oo oo."


DIRECTOR'S CUT

"Oz?"

"Eh, hai, Nek. Gue cuma mampir buat nganter mobil baru yeiy. BPKB udah di brankas. STNK sama kuncinya tuh di island dapur. Kalo abis make, jangan dilempar-lempar ya, key holder-nya. LV asli, susah-susah gue jastip dari US."

"Mas Ismail mana? Kata anak-anak di kantor udah balik?"

"Lagi di Two Seasons."

"Perasaan baru banget dipotong."

"Ya kan rambut laki lo cepet gondrong. By the way, Nek, harus banget ya tattoo Bang Ismail bin Mail dihapus? Padahal deseu happy banget pas bikin. Berbulan-bulan kayak orang gila, senyum mulu ngelihatin tattoo sendiri. That tatts is his dream come true, Babe. Udah dari zaman masih miskin dia pengen banget bikin tattoo ke artist ini. Effort banget bikinnya. Begitu duit udah ada, masih harus masuk waiting list hampir dua tahun. Belom lagi biayanya 250 USD per jam. Mo nangis aja gue, Nek, kalo sampe beneran dihapus."

"Emang mau dihapus?"

"Yeiy nanya eike, eike nanya siapa?"

"Oke, ntar gue tanya."

"Pake lengan panjang juga cukup sih kalo mau ketemu camer. Eh tapi, ntar lu berdua nikahnya si Ismail musti telanjang dada ye? Au ah, gue mau istighfar dulu banyak-banyak. Sakit hati banget kerja keras gue sia-sia."

Dated; Engaged [COMPLETED]Where stories live. Discover now