Telepon Marla

202 8 4
                                    


Teleponku berbunyi. Meski kuacuhkan, dering itu tak kunjung berhenti juga. Kelopak mataku terlalu berat bahkan untuk sekedar melirik jam digital di atas nakas. Tirai jendela apartemen yang tebal tidak akan pernah menunjukkan waktu yang akurat. Dalam gelap, aku meraba-raba dan sesaat kemudian menemukan ponselku.

"Hello?" Gumam serak terbaik yang bisa kuberikan.

"Juan mutusin gue," ujar suara di seberang sana tanpa basa-basi.

Aku mendesah. Ini akan jadi percakapan panjang.

"Jam berapa sekarang?" tanyaku.

"Sepuluh. Di Jakarta."

Berarti masih jam tiga pagi di sini. Pantas kepalaku bagai ditabuh tangan-tangan kasat mata. Aku baru tidur selama tiga jam. Namun mengabaikan Marla adalah hal yang tidak mungkin.

"Kali ini bagaimana ceritanya?"

Lalu tumpahlah sebuah kisah panjang di telingaku. Melintasi benua. Biasanya aku akan mengaktifkan autopilot mode. Menyimak cerita Marla sambil membalas email atau memeriksa akun sosial media. Pagi ini aku terlalu lelah untuk melakukan hal lain selain berbaring dan mendengarkan. Karena alasan itulah aku menyadari sesuatu. Telepon Marla bermetamorforsis.

Tidak ada lagi tangis pecah di tengah-tengah cerita. Jeda untuk menyusut ingus pun tak ada. Bahkan ceritanya dituturkan nyaris tanpa emosi. Aku tidak mendeteksi secuil pun duka, sesal atau kemarahan. Yang ada hanya fakta. Fakta yang diceritakan secara kronologis.

"Kim, elu tidur ya?" tanya Marla.

"Aku sedang khidmat mendengarkan," jawabku. "Kamu kan paling benci disela kalau sedang cerita."

Marla menghela napas panjang.

"La, kenapa kamu telepon aku malam ini?" Pertanyaan itu terlontar begitu saja. "Kamu tidak membutuhkan solusi, dan tidak sedang butuh dihibur. Lalu kenapa?"

"Karena gue butuh didengerin mungkin."

Aku membayangkan Marla menjawab acuh sambil menggedikkan bahu sensualnya.

"Tidak adakah orang lain yang bisa kamu telepon dengan sambungan...ngg...lokal?" Hati-hati kupilih kata-kataku.

"Oh, gosh, here we go again!" keluhnya.

Sungguh, aku tidak sedang berusaha mengakhiri percakapan ini. Aku hanya benar-benar penasaran. Namun sebelum aku menjelaskan lebih lanjut, Marla berkata dengan suara letih,

"Good night, Kim. Thanks for listening."

"Good morning. It's four in the morning," ralatku.

Telepon selesai, dan kelas pertamaku masih akan dimulai lima jam lagi. Aku tahu, meski sendi-sendi tubuhku menjeritkan protes, otakku tidak akan membiarkan mereka beristirahat. Jadi kuputuskan untuk menyeduh kopi dan kembali duduk di atas kasur. Kalau saja angin di Wellington lebih bersahabat, aku akan memilih untuk menyesap kopi di balkon sambil memandangi cahaya samar dari pelabuhan.

Sementara kafein perlahan melakukan tugasnya, aku berusaha mengingat kapan tepatnya telepon Marla menjadi bagian dalam hidupku. Lima tahun? Ataukah lebih? Setiap kali ia menelpon, aku berharap itu akan menjadi telepon terakhirnya. Telepon yang mengabarkan akhir dari perjalanan cintanya. Namun sepertinya aku masih harus menunggu lama untuk itu.

Setiap telepon Marla memiliki satu tokoh pria utama. Meski berbeda karakter, pria-pria tersebut kurang lebih jatuh pada kategori yang sama. Payah. Dari mulai pria insecure yang pasif agresif, susah ditebak dan moodnya secara konstan serapuh perempuan yang sedang PMS, gemar menghilang tanpa kabar, hingga pria beristri. Setiap pria memulai episode mereka dengan lakon yang sama, sebagai pusat tata surya dalam galaksi Marla. Mereka juga mengakhiri episode dengan lakon yang kurang lebih sama, sebagai bajingan yang tidak bertanggung jawab.

Kumpulan Cerita Pendek - Hilang dan DitemukanWhere stories live. Discover now