Hp dan Kunci

77 5 3
                                    

°°°°

Baru beberapa jam saja Dian di rumahnya, kini ia malah keluar lagi untuk menemui Zenan.

40 menit yang lalu, ia memasuki kamar Dion. Sekedar untuk melepas rindunya saja, ia mengitari kamar kembarannya itu dengan mata yang berkaca-kaca. Ia menghentikan langkahnya ketika mendekati meja belajar Dion yang tertata rapi, setetes air matanya pun jatuh. Ia mengusap mata dan pipinya kemudian beralih mengambil satu buku kesayangan Dion. Sama halnya dengan Dian, Dion juga sangat menyukai pelajaran Matematika.
Jari-jemari Dian membuka lembaran buku kesayangan Dion dengan hati-hati. Tak ada satu halaman pun dibiarkan kosong oleh Dion, semuanya penuh dengan oretan penyelesaian soal.

"Yon...lo kenapa ninggalin gue sih, mau pergi kenapa ga ajak gue?." tanya Dian di dalam hatinya.

Hatinya kembali sesak, tenggorokannya juga mulai mengering ketika baru menyadari...ada satu surat yang terselip di dalam buku itu. Dian menampar dirinya sendiri, menggerutuki kelalaian dirinya. Bukan pertama kali untuknya membuka dan membaca buku itu, namun kenapa baru sekarang ia menemukan surat itu?

Dian dan Dion, sepasang kembaran yang sempurna. Itu menurut orang-orang, mereka ga tau...betapa kurangnya kami. Terutama gue, ga seperti Dian yang bisa paham semua hal dengan mudah, gue harus berjuang keras...mungkin karena itu Mama dan Papa ga pernah banggain gue dihadapan semua orang. Ketertarikan gue cuma di Matematika, dan selebihnya di bidang Seni. Itu bukan sesuatu yang khusus, benar....
Segala sesuatu tentang gue ga pernah khusus. Gue iri sama Dian, dia selalu dilimpahkan rasa bangga dari Mama dan Papa. Gue iri, sampai-sampai gue terus berpikir...gimana untuk menghilang selamanya.

"Hiks...Yon, kenapa hikss kenapa lo iri sama gue?!!!!! Sedangkan gue selalu iri sama lo, hiks...Yon, gue min-minta maaafff..."

°

Dian terus mengingat kalimat panjang yang ada di dalam surat itu. Matanya terus saja mengeluarkan cairan bening itu, sesak dihatinya semakin bertambah. Ia baru menyadari jika mereka berdua sebenarnya sama-sama iri untuk satu sama lain.
Dion iri dengan rasa bangga Mama dan Papanya yang tercurah hanya untuk Dian, sedangkan Dian iri karena Dion selalu menjuarai pentas seni dan menjadi wakil sekolah.

"Min- lo nangis?." Zenan langsung mendekat dan meletakkan 2 gelas air putih yang ia bawa di atas meja.
"Dion...selama ini dia iri sama gue? Sedangkan gue juga iri sama dia...." ucap Dian lirih yang membuat Zenan bingung.
"Lo berdua kenapa bisa saling iri gitu?." tanyanya penuh kebingungan.

Dian menoleh ke arah Zenan dan menatapnya sambil tersenyum miring.

"Forget it. Gimana Mita?." rupanya Dian membelokkan arah pembicaraan mereka.

Paham akan situasi Dian, Zenan lantas menjelaskan bagaimana keadaan Mita sekarang. Ia harus merelakan Mita untuk dirawat di RSJ.

"Mungkin itu yang terbaik untuk Mita, Zen. Lo yang sabar ya." ucap Dian dengan senyum fake yang terlalu kentara.
"Lo sendiri sedih, sok sok an nyuruh gue sabar." balas Zenan yang membuat Dian diam.

"Assalamualaikum." ucap singkat seseorang yang tengah bersender di ambang pintu dengan kepalanya yang menempel di kusen pintu.

"Wa'alaikumsalam," sahut Zenan.
"Yok, ada seseorang yang katanya pernah lihat Dion...5 hari setelah kabar terakhir yang lo terima, ayo." Dian yang kaget mendengar ucapan Zenan barusan tak bereaksi apapun.

DianOù les histoires vivent. Découvrez maintenant