1 │ nggak jadi mampus

Start from the beginning
                                    

"Well, kalau itu yang Mas khawatirin, aku nggak ragu sama sekali. I haven't had any doubts since day one, since I ask you if you see your future with me instead of just having fun. And I still believe your answer that time was genuine and not just to make a fool of me."

Lidah Mail kelu.

Kadang-kadang, smash pacarnya ini memang susah ditangkis. Apalagi dia tahu, setajam-tajamnya bacotan Trinda, tujuannya bukan untuk menjatuhkan, melainkan mencerahkannya.

Dan sekarang, saking cerahnya, sampai nembus ke sumsum Mail.

Trinda melanjutkan, lebih percaya diri. "You're 30 already. Masih belum puas main-mainnya?"

Mail tertampar lagi, tapi masih belum putus asa menggali dari perspektifnya. "My age doesn't matter. My concern is you. You're only 20. There's so many things you could do at this age instead of becoming someone's wife. I don't want you to regret it later."

Bukannya terharu, mata Trinda justru melotot lebar-lebar mendengarnya. "What's so wrong about becoming someone's wife? It is not like I will give up on my own life. I can always get married and still live my life to the fullest. How come you are now wife-shaming? Or... do we have different definitions of being husband and wife?"

Fuck. Mail menggigit lidahnya sendiri. Memangnya tadi dia ngomong apa, sampai-sampai ideologinya dipertanyakan? "I've told you, I left my brain in my office. The more you're forcing me to talk, the more I'm going to sound less like 30, and the more I'll annoy you. Please give mercy, Darl. I love you, but today I've reached my limit. No energy left. I promise we'll talk about this again at the first chance."

Trinda berdecih, masih nggak ikhlas mengakhiri hari dengan antiklimaks begini. "Kayak janji-janji manis caleg."

"Itu kan love language-mu, words of affirmation."

"Udah nggak lagi. Sekarang words of ijab kabul."

Mail speechless.

Ini bocah konyol adiknya Gusti kenapa tiba-tiba jadi pinter bersilat lidah? Perasaan belum lama ini Mail masih melihatnya pulang sekolah pakai seragam merah putih, lalu ngerjain PR matematika sambil nangis-nangis, eh sekarang udah berani ngajakin orang nikah aja! How fast time flies.

"I'm sorry that I haven't thought deeply about it yet." Mail mohon maaf dan menurunkan nada bicaranya biar adegan ngambek-ngambekan ini nggak berlarut-larut.

Sepasang bibir Trinda masih mencebik.

Dia lalu melanjutkan, "Bukan sengaja nggak diprioritasin. But even though we never set up a timeline, I believe that cleaning up my Bali project and waiting for your thesis to be finished before discussing marriage is an unwritten law."

Di luar dugaan Mail, Trinda terlihat terkejut mendengar counterback darinya. "Kenapa mendadak bawa-bawa kuliahku? Sebelum-sebelumnya nggak pernah dibahas!"

1-1. Mail tersenyum miring. "Karena kemarin-kemarin kamu nggak ngajakin bahas nikahan. Jadi ya kupikir emang belum mau buru-buru. You are well aware that you are still very young right? Not a single day I don't take us seriously, but to be fair the conversation tonight surprised me."

Kening Trinda berkerut-kerut penuh ketidaksetujuan, tapi nggak bisa memberikan sahutan yang masuk akal.

Sengaja menggoda karena gemas, Mail melanjutkan lagi, "Yakin bakal direstuin kalau sekarang aja seisi rumah kamu masih manggil 'Dek Trinda'?"

"Sampai kapanpun kalau ibu-bapakku nggak punya anak lagi ya bakal tetep dipanggil 'Dek'."

"Dek Trinda yang belum sarjana?"

Dated; Engaged [COMPLETED]Where stories live. Discover now