“Assalamualaikum…” bisikku pelan, hampir seperti takut keberadaanku terdengar.
Begitu masuk, aku melihat tanteku sudah duduk di sofa ruang tamu. Sorot lampu dari televisi memantul di wajahnya. Aku tidak tahu apakah dia memang menungguku atau hanya kebetulan belum tidur. Tapi tatapan matanya—yang langsung terarah padaku—cukup membuat jantungku mengecil.
“Waalaikumsalam… bagus, ya. Anak perempuan pulang hampir jam dua belas malam.” Suara tanteku langsung memenuhi ruangan, keras dan tajam. “Kamu dari mana saja, hah?!”
Aku refleks menunduk, mataku melirik ke arah jam dinding. Jarumnya menunjuk pukul 23.47. Hampir tengah malam. Tidak heran tante marah.
“Maaf… Tante,” ucapku pelan, mencoba terdengar tenang meski suaraku sedikit bergetar. “Nayla habis dari rumah teman.”
Itu bohong. Dan entah kenapa aku sudah terbiasa melontarkan kebohongan kecil seperti itu.
Aku tidak bisa menceritakan yang sebenarnya—tentang sekolah, tentang Gracia dan gengnya, tentang hutang-hutang di kafe yang bukan salahku, tentang luka-luka yang harus kutahan sendiri.
Tidak kepada Tante. Tidak kepada Bunda. Tidak kepada Ayah.
Biarlah hanya aku yang menelan semuanya, sendirian. Mungkin memang begitu seharusnya.
Aku langsung naik ke lantai dua dan menuju kamar. Rasanya tubuhku sudah remuk, tapi aku tetap memaksakan langkah. Begitu masuk kamar, aku melempar tas ke atas meja lalu bergegas ke kamar mandi. Air hangat yang mengalir dari shower benar-benar membantu merilekskan pundakku yang tegang seharian.
Selesai mandi, aku duduk di tepi kasur sambil mengeringkan rambut, dan tiba-tiba saja sebuah kenyataan menampar kepalaku—tugas.
Astaga… tugas dari Pak Toni.
Dan parahnya lagi… bukan cuma tugasku sendiri. Aku masih harus mengerjakan tugas Gracia, Jane, dan Nara. Tiga sekaligus. Sementara jam dinding di kamar menunjukkan pukul dua belas malam lewat sedikit.
Mau tidak mau, sepertinya aku harus begadang malam ini.
Belum sempat membuka buku, ponselku tiba-tiba berdering. Nada deringnya memecah keheningan kamar yang sebelumnya hanya diisi suara kipas angin. Layar ponsel menyala terang, memperlihatkan nama yang langsung membuat dadaku terasa hangat.
Bunda Inah.
Aku menggeser tombol hijau dan menempelkannya ke telinga.
“Halo… assalamualaikum, Nayla,” suara bunda terdengar lembut, sedikit serak seperti orang yang baru bangun tidur.
“Waalaikumsalam, Bun,” jawabku pelan. “Bunda kenapa telepon Nayla malam-malam begini? Bunda belum tidur ya?”
Aku menyalakan lampu meja belajar, lalu membuka buku tugas yang menumpuk. Sementara jemariku menulis jawaban di kertas, ponsel yang kutaruh di antara buku-buku itu tetap menempel di telinga. Suara bunda terdengar jelas, meski sesekali bercampur dengan suara gesekan penaku.
“Harusnya bunda yang nanya seperti itu ke kamu,” suara bunda terdengar lembut tapi tegas, seperti biasa. “Kenapa kamu belum tidur jam segini, Nay?”
Aku menghela napas, mencoba menahan kantuk yang mulai menusuk mata. “Mungkin… karena aku lagi merindukan seseorang,” jawabku sambil terus menulis angka-angka yang rasanya makin membingungkan.
YOU ARE READING
Lost Between Names (REVISI)
Teen FictionSetelah mengalami bullying yang kejam di masa SMA nya, Nayla Angelina Franca mencoba untuk bunuh diri dengan harapan bisa lepas dari masalahnya. Ajaibnya, dia bertahan dengan hilangnya semua ingatan dan bangun dengan kehidupan barunya, Kayla Angel...
Part 5 'Undangan Ulang Tahun yang Tak Terduga'
Start from the beginning
