~ Happy Reading ~
•¶¶•
Nayla melangkah menyusuri lorong sekolah dengan langkah pelan. Sepatu hitamnya beradu dengan lantai keramik, menghasilkan gema yang terasa terlalu jelas di telinganya. Semakin dekat ia menuju kelasnya, semakin kuat rasa sesak yang merambat di dadanya.
Begitu sampai di depan pintu, ia berhenti. Tangannya sempat ragu memegang gagang pintu. Dari ambang kelas, ia melihat semua murid yang tadi malam bersamanya di kafe. Mereka duduk seperti biasa—tertawa kecil, mengobrol, sibuk dengan ponsel masing-masing. Tidak ada satu pun yang menunjukkan rasa bersalah. Bahkan tidak ada satu pun yang menatap ke arahnya.
Apa mereka benar-benar melupakan kejadian semalam?
Atau memang… aku yang terlalu berharap?
Nayla menelan ludah, lalu melangkah masuk. Suasana kelas tetap sama—riuh kecil, dingin, acuh. Ia berdiri di depan kelas tanpa suara yang menyambut.
“Kenapa kalian semua… tadi malam meninggalkan aku di kafe sendirian?” tanyanya akhirnya.
Nada suaranya tidak meninggi. Tidak ada marah, tidak ada bentak. Hanya suara yang terdengar tenang, pelan, dan hampir bergetar. Nayla memang tidak pernah bisa marah, bahkan kepada orang yang menyakitinya. Sejak kecil, bundanya selalu bilang bahwa dia adalah anak yang lembut—terlalu lembut, kadang-kadang.
Ia menatap satu per satu wajah teman sekelasnya, berharap ada yang menjawab… atau setidaknya merasa bersalah.
Namun yang ia dapat hanyalah tatapan singkat yang kemudian menghindar, seolah-olah pertanyaannya tidak penting.
“Siapa suruh lama-lama di toilet,” celetuk seorang siswi berambut panjang sambil melirikku dari ujung mata. Nadanya santai, tapi sindirannya terasa jelas.
Aku menarik napas pelan, lalu melangkah mendekati sekelompok murid yang sedang duduk mengelilingi meja milik Gracia—gadis yang tadi malam paling lantang mengajak pergi ke kafe, tetapi juga yang paling cepat menghilang saat masalah muncul.
Mereka berhenti berbicara ketika aku berdiri di depan mereka. Entah kenapa, meski aku hanya berdiri, rasanya seperti sedang bertatap dengan tembok besar yang dingin dan tak bersahabat.
“Aku mau tanya…” suaraku keluar pelan, tapi cukup jelas terdengar. “Kenapa kalian semua selalu terlihat tidak suka sama aku? Sejak awal masuk sekolah ini… kalian selalu menatap aku seperti aku sesuatu yang menjijikkan. Apa ada yang salah sama penampilan aku?”
Selama beberapa detik, tidak ada yang menjawab. Lalu Gracia, dengan rambutnya yang disisir sempurna dan raut wajah angkuh, menegakkan punggungnya.
“Iya, ada salahnya,” katanya tanpa tedeng aling-aling. “Lo itu kampungan. Penampilan lo… enggak fashion banget. Dan, well… semua orang juga tahu kalau lo bukan dari keluarga berada.”
Tawa kecil terdengar dari sisi kiri. Jane menyilangkan tangan di dada, memandangi aku dari atas ke bawah seolah sedang menilai barang murahan.
“Intinya,” tambah Jane, “lo tuh enggak sederajat buat berteman sama kita.”
Kalimat itu menghantamku lebih keras dari yang mereka kira.
Tapi yang paling menyakitkan bukan kata-kata mereka—melainkan ekspresi puas di wajah mereka setelah mengucapkannya.
YOU ARE READING
Lost Between Names (REVISI)
Teen FictionSetelah mengalami bullying yang kejam di masa SMA nya, Nayla Angelina Franca mencoba untuk bunuh diri dengan harapan bisa lepas dari masalahnya. Ajaibnya, dia bertahan dengan hilangnya semua ingatan dan bangun dengan kehidupan barunya, Kayla Angel...
