_ Happy Reading _
•¶¶•
Saat aku kembali dari dapur sambil menenteng nampan berisi pesanan Gracia, langkahku terasa ringan—atau mungkin aku hanya berusaha terlihat tetap profesional. Tapi baru beberapa langkah menuju meja mereka, ada sebuah dorongan keras dari belakang. Seseorang jelas-jelas menyengaja.
Tubuhku oleng, dan sebelum aku sempat menahan nampan itu, isi makanannya terlempar dan terciprat tepat mengenai seragam putih milik Aiden. Suara meja bergetar halus, napas orang-orang di sekitar terdengar menahan kaget.
Aiden sontak berdiri, wajahnya memerah, rahangnya mengeras.
“Lo bisa kerja yang bener enggak sih?!” teriaknya tajam, membuat beberapa pengunjung menoleh.
Aku langsung menunduk, tangan gemetar.
“Ma—maaf… aku beneran enggak sengaja,” ucapku terbata, berusaha menjelaskan walau tenggorokanku serasa tercekat.
Di sudut meja, Gracia hanya menyandarkan dagunya dengan senyum kecil yang penuh kemenangan.
“Mungkin Nayla mau balas dendam sama lo, Den,” katanya santai, seolah menikmati tontonan itu.
Aku bisa merasakan tatapan mereka menusuk, dan rasa bersalah—yang bahkan bukan salahku—kembali menekan dadaku.
“Aku enggak balas dendam sama siapa pun,” ucapku pelan, mencoba menahan suara agar tidak bergetar. “Sumpah, tadi ada yang dorong aku dari belakang. Aku aja enggak tahu siapa.”
Aiden langsung mengibas bajunya yang kotor dengan kasar, wajahnya makin merah.
“Bohong!” bentaknya. “Jangan ngeles.”
Aku hanya bisa menunduk, mencoba menata napas yang mulai berantakan.
Suara langkah pelan terdengar mendekat sebelum akhirnya pemilik kafe muncul dari arah kasir.
“Maaf, ini ada apa? Kenapa ribut-ribut?” tanyanya dengan nada tegas namun tetap sopan.
Aiden langsung menunjukku tanpa ragu, seperti menuduh seorang kriminal.
“Kenapa Bapak memperkerjakan pelayan kayak dia?” katanya ketus. “Kerja aja enggak becus. Masa makanan bisa tumpah kayak gitu.”
Aku merasakan tatapan pelanggan lain mulai mengarah ke kami, satu per satu. Rasanya seperti ribuan jarum menusuk kulitku. Jantungku berdebar makin kencang, sementara telapak tanganku sudah dingin sejak tadi.
“Sebenarnya ini ada apa?” tanya pemilik kafe itu lagi, kali ini nadanya terdengar lebih serius. Wajahnya mengeras, jelas ia belum paham maksud dari semua tuduhan yang dilontarkan.
Aiden langsung menunjukan bajunya, yang kini terkena noda saus.
“Lihat, Pak. Gara-gara dia, makanan yang saya pesan tumpah semua. Baju saya jadi begini.” Suaranya penuh protes dan amarah, seolah-olah aku sudah melakukan dosa besar.
Aku hanya berdiri mematung. Tidak ada kata-kata yang bisa keluar dari mulutku. Rasanya seperti seluruh dunia sedang menyorotku, menunggu aku melakukan kesalahan lagi.
Kenapa setiap kali mereka membuat masalah, akulah yang harus menanggung semuanya? Sejak pindah ke Jakarta, hidupku terasa seperti berantakan pelan-pelan. Tidak ada harapan atau ruang untuk bernapas.
Pemilik kafe itu menatapku sekilas, entah kecewa atau sekadar bingung. Lalu tanpa banyak bicara, ia menggenggam pergelangan tanganku dan menarikku menjauh dari kerumunan.
“Nayla, ikut saya,” katanya cepat dan tegas.
YOU ARE READING
Lost Between Names (REVISI)
Teen FictionSetelah mengalami bullying yang kejam di masa SMA nya, Nayla Angelina Franca mencoba untuk bunuh diri dengan harapan bisa lepas dari masalahnya. Ajaibnya, dia bertahan dengan hilangnya semua ingatan dan bangun dengan kehidupan barunya, Kayla Angel...
