HAPPY READING
•¶¶•
Nayla baru saja memasuki kelasnya, suasana kelas 11 sudah cukup ramai. Suara tawa dan canda memenuhi ruangan, membuat suasana terasa sedikit riuh. Namun, aku tak terpengaruh. Aku lebih memilih untuk duduk di tempat dudukku dan membuka novel yang kubawa dari rumah.
"Guys, gimana kalo kita nanti malam pergi ke cafe, yang terkenal itu?" tanya Aiden, yang duduk di atas meja paling depan dekat pintu. Dia bersandar santai, kaki diangkat ke atas meja.
Jika kalian melihat penampilan Aiden, apakah ini yang dinamakan sebagai seorang pelajar? Kancing bajunya terbuka, hanya terlihat kaos putih polos di baliknya. Bajunya sengaja dikeluarkan, membuat penampilannya terlihat urakan. Duduk di atas meja, seperti tidak pernah diajarkan sopan santun. Rambutnya sedikit berantakan, menambah kesan bad boy yang melekat padanya. Apa itu yang dinamakan seorang pelajar? Aku menggeleng pelan dalam hati.
"Let's go!" teriak seluruh penghuni kelas, kecuali aku. Aku masih asyik membaca novelku, mencoba untuk mengabaikan hiruk pikuk di sekitarku.
"Apa perlu kita ngajak Nayla?" tanya Gracia. Suaranya terdengar sedikit ragu, seolah-olah meminta persetujuan dari teman-temannya.
Aku yang mendengar langsung menolak. Aku tak ingin ikut campur dalam kegiatan mereka."Eh... enggak usah, kalian semua saja yang pergi, aku tidak ikut," ucapku. Suaraku terdengar lirih, berharap mereka mengerti.
"Lo harus ikut. Gak ada penolakan," kata Aiden menghampiriku. Langkahnya berat dan penuh tekanan. Aku bisa merasakan aura intimidasi yang terpancar darinya. Aku menggigit bibir bawahku, merasa sedikit takut namun juga kesal.
Aiden duduk di bangku samping kananku. Tubuhnya besar dan tinggi menjulang, membuatku merasa sedikit terhimpit. Dia terus menatapku dari atas sampai bawah dengan senyum sinis yang membuat bulu kudukku merinding. Tatapannya tajam dan menusuk, seakan-olah ingin membaca isi hatiku. Aku tidak tahu kenapa dia menatapku seperti itu. Aku merasa tidak nyaman, bahkan sedikit takut. Aku langsung kembali membaca novelku, berusaha untuk mengabaikan kehadirannya. Namun, aku bisa merasakan tatapannya masih tetap tertuju padaku.
"Aiden, Lo mau ngajak dia? Apa Lo gak malu ngajak dia? Emang dia punya uang? Sedangkan cafe itu kan buat rata-rata harga makanannya mahal-mahal," kata Gracia heboh di tempat duduknya, yang sedang memakai bedak bersama teman-temannya. Suaranya lantang dan tanpa beban, menarik perhatian beberapa siswa di kelas.
Kalian tahu sendiri kan perempuan? Jika jam kosong, mereka selalu sibuk dengan penampilannya. Berbagai alat make up dikeluarkan; bedak, lipstik, maskara, foundation, dan masih banyak lagi. Bahkan ada yang membawa catokan rambut dan berbagai peralatan lainnya.
Bagiku ini bukan sekolah, tapi tempat salon. Aku menggelengkan kepala, mencoba untuk tidak terlalu memperhatikan mereka.
"Udah, Lo tenang aja, gue yang urus," kata Aiden. Dia mengambil pulpen temannya yang sedang menulis, lalu melemparnya ke arah bangku Gracia. Pulpen itu mendarat tepat di atas meja Gracia, membuat Gracia dan teman-temannya sedikit terkejut. Aiden tersenyum sinis, tatapannya kembali tertuju padaku. Aku semakin merasa tidak nyaman.
"Njir... Gue lagi nulis, Lo main rampas aja tuh pulpen," ucap Rizky, pemilik pulpen, dengan nada kesal. Wajahnya memerah menahan amarah. Dia menatap Aiden dengan tajam, jari-jarinya mengepal.
"Woyy... lempar pulpen gue ke sini!" teriak Rizky, suaranya menggema di kelas. Dia menunjuk ke arah gerombolan cewek yang sedang asyik berdandan. Mereka terlihat acuh tak acuh, malah semakin asyik merias wajah mereka. Bedak, lipstik, dan berbagai alat makeup lainnya berserakan di meja mereka. Bukannya menjawab, mereka malah semakin asyik berdandan.
VOUS LISEZ
Lost Between Names (REVISI)
Roman pour AdolescentsSetelah mengalami bullying yang kejam di masa SMA nya, Nayla Angelina Franca mencoba untuk bunuh diri dengan harapan bisa lepas dari masalahnya. Ajaibnya, dia bertahan dengan hilangnya semua ingatan dan bangun dengan kehidupan barunya, Kayla Angel...
